Penulis
Intisari-Online.com - Merenungkan kecelakaan maut yang terjadi Selasa, 20/01, di Arteri Pondok Indah, Jakarta, timbul sederet pertanyaan. Mengapa Christopher Daniel Sjarif (23), pemuda yang konon mahasiswa di San Francisco, sampai berebut kendali kendaraan (Mitsubishi Outlander) dengan sopir bernama Sandi? Dikabarkan, Christopher baru saja ngobrol-ngobrol dengan teman lamanya saat SD di San Fransisco, M. Ali Riza, pemilik mobil.
Sepertinya semua orang dapat memahami mengapa Sandi menolak menyerahkan kemudi kepada Christopher. Bukankah kendaraan itu adalah tanggung jawabnya? Apalagi, pengemudi di AS belum tentu piawai mengemudi di jalanan kita karena perbedaan sistem. Di AS orang berkendara di sebelah kanan jalan dengan tempat duduk pengemudi ada di sebelah kiri kendaraan. Manapula situasi jalan raya di Jakarta jauh lebih padat dan semrawut ketimbang jalan-jalan di AS. Itu pertimbangan yang paling masuk akal untuk kondisi biasa, tanpa memasukkan kemungkinan adanya pengaruh minuman keras atau obat-obatan lain.
Betapa pun akibat kecerobohan Christopher berkendara, sudah ada empat keluarga yang menangis sedih karena kehilangan anggota keluarga untuk selamanya; tanpa salah apa pun, seperti mimpi di siang bolong. Bila mereka kepala keluarga, setidaknya ada tiga atau empat nyawa yang kehilangan pencari nafkah keluarga.
Kisah sedih ini sebenarnya bukan kisah baru bagi Indonesia. Menurut sumber kepolisian, terjadi penurunan korban tewas akibat kecelakaan dari tahun 2010 ke 2013: jumlah korban meninggal sebanyak 31.234, dan pada 2013 menjadi 26.484 (artinya72 jiwa/hari) berkat adanya rencana umum nasional keselamatan sebagai pedoman semua pihak korban kecelakaan (sumber: Kakorlantas Mabes Polri, Irjen Condro Kirono, seperti dikutip oleh OkeZone 29/10/14).
Pembunuh ketiga di Indonesia
Namun Global Status Report on Road Safety 2013 yang dikeluarkan oleh WHO mengeluarkan data jauh lebih seram: Indonesia mengalami kenaikan jumlah kecelakaan lalu lintas hingga lebih 80% dengan jumlah kematian 120 jiwa per hari! (Republika 7 /11/14) Bahkan situs Badan Intelijen negara mengutip dalam 2011 – 2012 kecelakaan lalu lintas di Indonesia oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dinilai menjadi pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis/TBC.
Yang semakin bikin hati miris, data WHO tahun 2011 menyebutkan, sebanyak 67% korban kecelakaan lalu lintas berada pada usia produktif , yakni 22 – 50 tahun. Bahkan, kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab utama kematian anak-anak di dunia, dengan rentang usia 10-24 tahun.
Bagaikan kecelakaan pesawat tiap tiga hari
Dengan memakai data korban jatuh 72 jiwa/hari, hanya dalam tiga hari di jalan-jalan raya kita berjatuhan korban tewas yang melampaui jumlah korban Air Asia QZ 8501 (162 jiwa) akhir Desember 2014. Tapi bila kita gunakan data WHO, dalam dua hari saja jumlah korban Air Asia sudah jauh terlampaui. Bisalah dikatakan kecepatan jatuhnya korban di jalan raya Indonesia seperti terjadi kecelakaan pesawat macam Air Asia setiap dua atau tiga hari!
Ironisnya berita kecelakaan lalu lintas sudah menjadi makanan sehari-hari sehingga kita terima dengan wajah biasa-biasa saja. Kita menangisi pohon mangga yang tersambar petir sementara bangunan rumah kita sedang diserbu rayap dan tinggal menunggu runtuhnya. Berapa penduduk usia produktif yang dapat membangun negeri ini akan kita biarkan mati sia-sia karena salah urus atau ketidakdisiplinan kita sendiri dalam berlalu lintas.
Masalah lalu lintas memang masalah multidisiplin dan antardepartemental. Ada masalah sistem, masalah perizinan, disiplin berkendara, fasilitas dan prasarana, pokoknya bejibun deh, kata orang Betawi. Namun seperti semua masalah, jika tidak kunjung dibenahi, kerugiannya akan semakin menggelembung. Sudah saatnya, masalah-masalah negeri ini dipecahkan dengan kecerdasan. Bukan demi kekuasaan, namun demi solusi yang mengandalkan kecerdasan.