Kisah Sebuah Cangkul

K. Tatik Wardayati

Penulis

Kisah Sebuah Cangkul

Intisari-Online.com – Seorang petani membajak tanah dengan cangkulnya, hari demi hari, tahun demi tahun. Pekerjaan itu sulit, tapi panen berlimpah. Namun, suatu hari ia tidak bisa bertani tetapi bertanya kepada dirinya sendiri, “Mengapa saya bekerja begit keras? Hidup ini tidak berarti dan membosankan! Ke mana sebenarnya tujuan hidup saya?”

Tak lama kemudian, seorang biksu datang ke rumahnya untuk meminta sedekah. Biksu itu tampak bebas dan bahagia, petani itu sangat terkesan. Menjadi seorang biarawan dan menjalani kehidupan yang tidak terbebani tampaknya mengagumkan. Ah, ide yang baik! Petani itu dengan riang memutuskan untuk melepaskan segalanya dan menjadi seorang biksu.

Setelah ia meninggalkan rumahnya, ia tiba-tiba merasa betapa kosong tangannya. Ia terbiasa memegang cangkul di tangannya. Kini, bekerja tanpa cangkul, ia merasa sedikit kehilangan. Oleh karena itu, ia kembali ke rumahnya, mengambil cangkul, dan berusaha keras memikirkan apa yang bisa dilakukannya dengan itu. Cangkul miliknya sangat bagus. Halus dan mengkilap karena penggunaan sehari-hari. Sungguh sayang bila dibuang.

“Oh, kalau begitu,” pikir petani itu, “Aku akan membungkusnya dan menyimpannya.” Ia menemukan tempat yang aman di rumah untuk menyembunyikannya. Sekarang semuanya dapat ia selesaikan. Dengan pikirannya yang tenang, petani itu akhirnya meninggalkan rumahnya.

Petani itu melakukan semua yang ia bisa untuk memenuhi persyaratan menjadi seorang biksu yang benar. Namun, ia tidak bisa berhenti memikirkan cangkul setiap kali ia melihat sawah hijau. Sesekali, ia akan buru-buru kembali ke rumahnya untuk merasakan cangkulnya dan kemudian kembali lagi ke kuil.

Waktu berlalu dengan cepat. Setelah tujuh atau delapan tahun, ia merasa ada sesuatu yang hilang. “Mengapa saya tidak memenuhi impian saya untuk menjadi bebas, biksu bahagia setelah berusaha keras menumbuhkan moralitas saya? Ada sesuatu yang belum saya lepaskan. Sekarang saatnya untuk menyingkirkan beban saya!”

Petani itu bergegas kembali ke rumah, mengambil cangkul, dan melemparkannya ke danau. Byurr, dan cangkul itu pun tenggelam! “Saya menang! Saya berhasil!” ia tidak bisa menahan tangis gembira dengan suara keras.

Tepat pada saat itu, seorang raja, yang memimpin tentara yang menang dari pertempuran, kebetulan lewat. Ia mendengar teriakan biarawan itu dan bertanya, “Apa yang Anda menangkan? Mengapa Anda begitu ceria?”

Biksu itu berkata, “saya telah mengalahkan setan dalam hati saya. Saya telah membiarkan semua beban saya pergi.”

Raja melihat bahwa biksu itu benar-benar bahagia dan bebas dari beban duniawi dan delusi. Raja berpikir, “Sekarang aku telah memenangkan perang. Kemenangan ini adalah milikku. Tapi apakah aku benar-benar bahagia? Aku mengambil tanah yang bukan milikku. Ini bukan kemenangan yang nyata.” Raja menyadari meskipun ia telah memenangkan perang, ia bukan pemenang nyata, tapi orang biasa yang dibebani dengan kejengkelan hidup. Ia menyadari bahwa untuk menjadi pemenang sejati, Anda harus menaklukkan setan dalam hati Anda.