Find Us On Social Media :

Kisah Imlek 3: Ketika Dilarang Pak Harto

By Lily Wibisono, Sabtu, 21 Februari 2015 | 15:00 WIB

Kisah Imlek 3: Ketika Dilarang Pak Harto

Intisari-Online.com - Kebetulan saya termasuk generasi yang mengalami masa pemerintahan Bung Karno, di mana Imlek dirayakan secara bebas dan besar-besaran, dan saya juga merasakan masa Imlek ditabukan oleh Pemerintahan Soeharto. Mengenang itu semua, yang saya rasakan adalah identitas kami sendirilah yang ditabukan.

Boleh dibilang, begitu orde baru berkuasa, aturan-aturan diberlakukan untuk menghapus budaya Tionghoa dari komunitas orang-orang peranakan. Karena dipaksakan, terjadi hal-hal lucu sekaligus tragis. Dalam soal ganti nama, muncul nama-nama aneh yang sangat artifisial. Upaya untuk tetap mengelayut pada identitas asli melahirkan nama-nama yang masih mirip-mirip dengan nama marga asli. Beberapa pilihan segera menjadi hit, misalnya banyak marga Oey/oei (dibaca: ui) memilih: wijaya, wibowo, dan wi ... yang lain. Orang marga Tan memilih nama baru a.l. Tandiono, Tanudibyo. Yang she Liem (baca: lim) menggantinya dengan Limawan atau lainnya. Ayah memilih Wijaya.

Nama baru yang bikin malu

Namun, sebagai orang Timur, Ayah tidak memandang enteng soal perubahan nama ini. Maka Ayah mendatangi seorang sinshe. Sang sinshe menghitung-hitung dan mengusulkan nama baru apa yang cocok bagi Ayah, Ibu, dan anak-anak mereka. Saya menurut saja ketika ditentukan sebuah nama baru yang menurut perhitungan baik buat saya. Saya tak terlalu memikirkannya, sampai ketika tiba-tiba Ibu Guru mengumumkan nama-nama baru para siswanya di kelas. Ternyata betapa pun bagus hasil hitungan sinshe, di telinga saya nama itu aneh banget! Malunya .... Saat itu barulah saya menyadari bahwa soal nama ini soal seumur hidup. Oh! Beruntung ketika menikah, saya dapat meminjam nama suami yang kemudian saya pakai sebagai nama pena saya.

Bagi generasi kami, bertambahlah tugas untuk mengingat nama baru teman-teman, meskipun sampai hari ini kami masih saling memanggil dengan nama asli kami. Nama baru tersebut kemudian diurus oleh Ayah begitu ia memperoleh Surat Kewarganegaraan Indonesia. Namanya Surat Pernyataan Ganti Nama. Untuk mengurusnya, Ayah menghabiskan waktu berbulan-bulan. Mungkin sampai setahun. Kedua surat itu kemudian menjadi surat paling penting bagi keluarga kami yang harus dijaga layaknya menjaga nyawa. Karena itu surat-surat tersebut oleh Ayah dibungkus plastik, sebelum akhirnya ada teknologi laminating. Ke mana pun kami pergi dan setiap kali kami harus berurusan dengan formalitas dan legalitas, kedua surat tersebut mesti ditunjukkan dan fotokopinya mesti diserahkan, beserta surat akta lahir (yang tentu masih menerakan nama asli kami) baik saat mendaftar sekolah, mengurus KTP, SIM, Paspor, atau mengurus surat-surat kontrak kerja sama, kepemilikan, dll.

Bullying dan diskriminasi

Dunia anak-anak adalah dunia yang jujur sekaligus kejam. Bullying terhadap anak-anak keturunan Tionghoa mulai biasa terjadi. Kakak laki-laki saya, suatu hari dikeroyok oleh segerombolan anak-anak keturunan asing bukan Tionghoa, karena ia Tionghoa. Padahal, keluarga kami sudah biasa bergaul dengan berbagai kalangan, tak terbatas etnik Tionghoa.

Pada zaman di mana bahasa Belanda masih menjadi bahasa pergaulan yang paling umum, tamu-tamu Ayah ada yang orang Jawa, Ambon, Arab, dll. Mereka datang bertamu dan tak jarang makan bersama kami. Sedangkan mereka sendiri saling menyapa dengan menyebut “Meneer dan Mevrouw”. Ayah biasa disapa sebagai Meneer Oey, dan ibu, Mevrouw Oey.

Ketika saatnya kami masuk ke universitas, kami harus berjuang ekstra keras kalau ingin diterima di universitas negeri. Bagi siswa keturunan Tionghoa, tersedia tempat hanya sekitar 10% dari semua kursi yang ada. Dengan demikian mereka harus melewati filter rangkap, angka kelulusan tes dan jatah 10% tersebut. Kondisi yang keras ini di sisi lain menjadi blessing in disguise, karena anak-anak Ayah terbiasa bekerja keras untuk survive. Meskipun saya tidak berhasil, kedua kakak saya berhasil diterima di salah satu universitas negeri unggulan.

Seperti apa perayaan Imlek di masa Bung Karno?