Penulis
Intisari-Online.com -Suasana menjelang Imlek adalah suasana tegang-tegang menyenangkan. Ibu biasanya agak turun selera humornya pada masa-masa itu. Maklum saja, pada masa itu bisnis delivery belum menjamur seperti sekarang. Semua harus dibuat sendiri. Bagusnya, nyonya rumah benar-benar dituntut terampil di dapur. Karena saya membantu, maka saya pun mempunyai banyak kesempatan untuk mengamati banyak hal, dari tata-cara mengatur meja sembahyang sampai bagaimana membuat menu-menu khas resep keluarga kami.
Serba manual
Saya juga jadi tahu sulitnya membuat kue, baik cake maupun bolu, juga kue-kue kering. Karena masa itu semua bahan masih 100% alami (tanpa bahan-bahan kimia pengembang, pengempuk, penghalus adonan, dll.), sukses tidaknya kue tergantung penuh pada jumlah telur yang dipakai dan pada bagaimana baiknya telur dikocok. Pada saat mengocok telur, satu pertanyaan kecil pun bisa membuat Ibu naik darah. Padahal, saya gadis kecil yang senang bertanya. Jadi bayangkanlah saya tersiksa harus menahan diri dari bertanya pada saat-saat “genting’ seperti itu. Maklumlah, mengocok pun masih menggunakan pengocok manual tradisional, bukan mesin! Ibu sampai berkeringat deras saat mengocok itu. Dan ia tidak mau mempercayakan pekerjaan mahapenting itu kepada orang lain, apalagi kepada seorang anak seperti saya.
Panggangan yang dipakai juga masih sangat sederhana, memakai arang atas dan bawah, sehingga suhunya sangat tergantung pada kontrol penggunanya. Jadi membuat kue pada masa itu benar-benar hasil jerih-keringat dan kepandaian Ibu dan para asistennya.
Onde-onde tidak boleh kotak
Salah satu yang berkesan adalah membantu Ibu membuat onde-onde untuk Sembahyang Onde (https://smystery.wordpress.com/2012/12/20/makna-di-balik-tradisi-makan-onde-di-bulan-desember/), biasanya jatuh tanggal 22 Desember. Onde-onde kecil berwarna putih, merah dan hijau dibuat dari tepung ketan. Saya diperbolehkan membantu membuat bulatan-bulatannya. Tetapi karena cukup banyak, kira-kira setampah besar, saya sering kali sampai bosan dan mengantuk. Suatu kali saya untuk mengobati kebosanan, saya mempunyai ide membuat onde-onde dengan ukuran berbeda-beda dan bentuk kotak. Tapi yang namanya tradisi tentu saja tak ada tawar-menawar. Usulan saya ditolak mentah-mentah.
Semua anak pasti senang pada hari Raya Imlek, karena .... angpao. Dengan berpakaian baru kami pergi ke rumah Nenek dari pihak Ibu. Karena Ibu bersepuluh saudara, maka kami “panen” lumayan banyak.
Toapekong, barongsai dan Gus Dur
Masih dalam rangkaian Imlek, mungkin pada hari Capgo meh, toapekong-toapekong di Kelenteng Po An Thian, Pekalongan, diarak keliling kota. Satu toapekong bisa diangkat oleh dua puluh pria dewasa, dan itu pun mereka masih tampak keberatan. Konon yang ikut mengangkat akan kebagian rezeki. Seingat saya, tak ada batasan siapa yang boleh mengangkat sehingga siapa pun, meskipun bukan keturunan Tionghoa dan penganut kepercayaan kelenteng, juga ikut mengangkat.
Kami memasang angpao setinggi mungkin di atas pintu rumah, mengharapkan tim barongsai akan mempertontonkan keahlian akrobatnya untuk meraih angpao-angpao itu. Barongsai yang masa itu masih disakralkan, hanya dimainkan dalam rangka Imlek. Tontonan langka tersebut biasanya menarik minat segala komunitas sehingga suasananya ramai sekali.
Begitulah ceritanya, mengapa ketika pertama kali saya melihat lagi barongsai melewati rumah saya sendiri di Jakarta, pada masa kepresidenan Gus Dur, air mata saya sampai berlinang. Barongsai membawa kembali semua kenangan manis masa kecil kami. Saya yakin anak-anak kami kini pun merajut kenangan manis mereka sendiri, yang pasti akan terjalin dengan kenangan-kenangan yang tak begitu manis. Hidup selalu mengandung unsur yin dan yang, bukan?