Penulis
Intisari-Online.com – Ju ketika masih anak-anak disiksa secara fisik. Ia tinggal dengan ibunya yang didiagnosis depresi, dan seorang ayah yang selalu berlaku kasar pada istrinya.
Orang tuanya bercerai dengan meninggalkan enam bersaudara itu dengan Ibunya. Ia meninggalkan sekolah pada usia 15 dan mulai bekerja untuk membantu ibunya memberi makan mereka semua.
Pada umur 18 tahun, ia jatuh cinta dan menikah setelahnya. Kemudian ia menemukan bahwa suaminya terlalu banyak minum, tidur dengan wanita lain, berlaku kasar pada istrinya, dan minum obat-obatan terlarang. Ia bercerai pada usia 20 dengan dua anak. Suaminya mengambil anak mereka pergi dan menyerahkan pada temannya. Namun akhirnya suaminya dikirim ke penjara atas tindak pidana.
Teman suaminya itu tidak mau menyerahkan anaknya itu kepadanya dan meminta uang untuk pertukarannya. Anaknya memiliki bekas luka di dadanya karena terbakar dari puntung rokok. Itu yang membuatnya menangis bila tidak memiliki makanan.
Ia akhirnya berhasil mendapatkan anaknya kembali. Namun, ia meninggalkan anak-anaknya dalam perawatan ibunya, sementara ia pergi untuk mencari pekerjaan.
Pada umur 28 tahun, ia mengalami kecelakaan. Gaunnya terbakar dan ia menderita luka bakar tingkat 2. Rasa kepercayaan dirinya pun hilang. Ia tertekan. Ia mencoba bunuh diri beberapa kali dan diberi perawatan kejiwaan.
Setelah operasi besar dan banyak konseling serta dukungan dari keluarga dan teman-teman, ia memulai hidupnya dengan satu tangan dan jari yang cacat. Namun, kecemasannya sepanjang waktu masih ada. Ia sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Kini ia merasa benar-benar seperti orang cacat.
Satu hal yang membuatnya senang akhirnya ia dapat menghidupi dirinya dan mengirim uang untuk anak-anaknya. Ia tidak ingin meminta bantuan keuangan pada orang lain.
Pada umur 38 ia didiagnosis menderita kanker serviks. Itu adalah pukulan besar baginya. Ia pun mencoba melalui episode depresi ini.
“Mengapa saya?” Itu adalah pertanyaan yang berulang kali ditanyakannya. Tentu saja ketika ia bertanya itu, ia mendapatkan semua jawaban yang salah. Ia merasa lebih tertekan. Ia menyalahkan ayahnya, ibunya, dan semua orang atas penderitaannya. Yang paling buruk, ia pun menyalahkan dirinya sendiri. Ia pun setuju untuk menjalani perawatan, kemoterapi, karena ia tidak ingin memendam rasa sakit.
Saat itu ia berpikir mungkin hidupnya tidak cukup lama sehingga ia memutuskan untuk berhubungan kembali dengan anak-anaknya. Itu tidak mudah karena anaknya telah melalui trauma masa kecilnya sendiri. Ia pun berpaling ke keluarganya untuk mendapatkan dukungan moral dan berbalik kepada Tuhan.
Delapan tahun telah berlalu, ia masih hidup. Bisa bangun dan bernapas untuk hari ini adalah hadiah untuknya.
Kini, ia memiliki dua cucu yang menyenangkan dan memberinya banyak sukacita. Ia memiliki beberapa pekerjaan sekarang, dan kesehatan.
Pertanyaannya kini berubah. Ia sekarang bertanya, apa yang bisa dilakukannya untuk mendapatkan yang lebih banyak dari usianya yang tersisa?
Sesuatu terjadi dan terjadi pada kita semua. Hidup tidak memilih. Setiap orang memiliki ceritanya sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalaninya. Kita tidak harus menunggu sampai bencana besar menimpa kita baru memikirkan apa yang harus kita lakukan dengan hidup kita.
Terserah kepada kita untuk membuat lebih baik atau menghancurkan diri sendiri. Tidak ada yang dapat memberitahu otak kita dan pikiran kita apa yang harus dilakukan. Tidak ada yang bisa memberitahu kita apa yang harus dipikirkan dan apa yang akan dimasukkan dalam kepala kita.
Kita memiliki kekuatan untuk berpikir apa yang ingin kita pikirkan. Untuk melupakan masa lalu yang menyakitkan atau berlama-lama dengannya.
Kita bisa memutuskan, merencanakan, dan mengambil tindakan pada apa yang ingin kita miliki, lakukan atau jadikan. Setidaknya ketika alam semesta mengintervensi, kita tahu bahwa kita telah melakukan yang terbaik. (life of hope)