Penulis
Intisari-Online.com – Alkisah, seekor singa tinggal di sebuah hutan. Ia tinggal bersama dengan hamba setianya, rubah. Singa akan berburu untuk dirinya sendiri, setelah ia makan bagian terbaik dari mangsanya, ia akan memberikan rubah sisa-sisa makanan.
Keduanya hidup bahagia bersama dalam damai selama bertahun-tahun sampai mereka berdua tua dan semakin lemah. Suatu hari singa terluka dalam perkelahian dengan gajah. Ia merasa sulit untuk bergerak dan berburu makanan.
“Rubah sayang, kita berdua akan mati kelaparan bila seperti ini,” katanya kepada rubah suatu malam. “Aku tidak bisa pergi keluar untuk berburu lagi. Sudah saatnya bagimu untuk membawakan saya seekor binatang.”
Keesokan paginya rubah mengatur diri dalam mencari mangsa. Ketika itu ia melihat seekor keledai sedang merumput di tepi hutan.
“Halo,” kata rubah kepada keledai. “Kau nampak sangat sedih. Apa yang terjadi?”
“Saya muak hidup sebagai binatang pembawa beban,” jawab keledai. “Saya membawa pakaian tuanku, tukang cuci, setiap hari, namun ia tidak pernah bersyukur. Sebaliknya, ia memukul saya dan berbicara kasar kepada saya. Saya tidak pernah bisa berbicara karena saya tidak pernah bebas. Saya sangat lelah.”
“Menyedihkan sekali,” kata rubah. “Tidak adil bila tuanmu seperti itu. Engkau tidak bisa menjadi budak bagi pria itu selama hidupmu. Datanglah kepada saya, dan temukan kebahagiaan di hutan. Setiap hewan bebas dan damai. Engkau bisa mendapatkan banyak makanan, tempat tinggal yang lebih baik, dan jika engkau inginkan, pasangan.”
Keledai memandang rubah dengan berbunga-bunga, “Pasangan?” serunya dengan berbinar-binar.
“Ya, pasangan juga,” kata rubah. “Aku tahu seekor keledai betina yang akan menjadi pasangan terbaikmu. Dia juga kesepian dan mencari pasangan. Ia ingin membesarkan keluarga. Ini bukan hidupmu,” tambahnya.
“Ah, saya pikir kau benar juga,” jawab keledai serius. “Saya akan datang kepadamu dan mengajarkan tuanku sebuah belajaran. Saya berhak memiliki kehidupan yang lebih baik.”
Maka keledai itu pergi bersama rubah ke hutan dan mereka datang ke kandang singa. Sebelum ia tahu apa yang terjadi, singa melompat dan menerkam keledai. Tetapi karena singat cedera dan usianya sudah tua, ia tidak berhasil. Keledai yang ketakutan, lari secepat ia bisa dari sarang itu.
“Makhluk tidak sabar!” teriak rubah marah kepada singa. “Mangsa lolos karena kebodohanmu. Tidak bisakah engkau menunggu sebentar saja, baru kemudian menerkamnya?”
“Yah,” jawab singa, “itu bukan kesalahanku. Kau tidak membawanya cukup dekat denganku. Aku terlalu lapar, jadi aku melompat ke arahnya dengan terburu-buru.”
Rubah menggeleng putus asa dan berkata, “Oke, aku akan membawanya kembali. Kali ini, siapkan diri untuk menerkam dan membunuhnya, sebelum ia melarikan diri.”
Rubah mengejar keledai, yang sedang menuju kembali ke kota. “Hei, tunggu,” seru rubah. “Apa yang terjadi? Mengapa kau lari?”
Keledai berhenti dan menatap rubah. “Siapa tadi dengan mata yang menyala itu?” tanyanya. “Mengapa ia melompati ke saya seperti itu?”
Menyadari bahwa keledai tidak tahu itu singa, rubah dengan pintar menjawab, “Keledai sayang, itu pasangan wanitamu. Ia telah melakukan banyak puasa dan doa untuk menemukan pasangan yang baik. Puasa yang dilakukannya membuatnya tak terlihat, kecuali matanya yang cerah. Ia senang melihatmu, karena bertahun-tahun memimpikan pasangan, makanya ia melompat ke arahmu. Tetapi, engkau malah kabur.”
“Oh, saya sangat menyesal,” kata keledai. “Saya akan kembali dan melihatnya lagi.”
Mereka kembali ke sarang singa. Kali ini singa berhati-hati dan berkata dengan suara lembut, “Mendekatlah, sayangku. Aku mencintaimu.”
Keledai tersipu dan melangkah lebih jauh ke dalam ruangan yang gelap, berpikir pasangannya menunggu. Singat mengangkat cakar, dan membunuh keledai itu seketika.
Rubah senang. Tuannya telah membunuh mangsanya, dan mereka akan menikmati makanan yang lezat setelah terlalu lama kelaparan. Ia punya ide dan berkata kepada singa, “Tuan, Anda lelah. Anda harus pergi dan menyegarkan diri dengan mandi di sungai sebelum makan makanan lezat ini.”
“Itu benar,” kata singa. “Saya merasa panas dan sudah kelelahan. Berjaga-jagalah di atas tubuh ini sampai aku kembali.” Lalu singa meninggalkan sarang dan pergi ke sungai untuk berenang.
Namun, rubah lapar. Ia melihat keledai mati, dan berpikir, “Saya telah memenangkan permainan ini dengan kecerdasan saya. Singa pasti akan mengambil bagian terbesar dari makanan untuk dirinya sendiri, seperti biasa. Ini tidak adil. Nah, kali ini saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Saya akan menyelesaikan makan sebelum dia kembali. " Maka rubah makan otak dan telinga keledai itu dengan lahap. Ketika singa kembali, dia melihat keledai mati itu dan bertanya dengan marah, "Apa yang terjadi dengan telinga dan otaknya? Siapa yang memakannya? Saya meminta kau untuk berjaga-jaga sementara aku pergi mandi." "Tuanku," jawab rubah, "keledai tidak punya telinga atau otak. Jika dia punya, apakah Anda pikir dia akan datang ke sini lagi untuk kedua kalinya?" "Tentu saja dia tidak akan, kau sangat benar," kata singa. "Aku akan makan lebih dulu, kemudian kau sisanya. Engkau sudah bekerja keras u ntuk ini. Kau juga layak makan.” Rubah duduk di salah satu sudut dan tertawa sendiri sementara singa makan apa yang tersisa pada tubuh keledai. Ia telah menipu singa perkasa itu denagn kecerdasan dan kecerdikan.