HOK Tanzil Mengunjungi Tana Toraja

Verena Gabriella

Penulis

HOK Tanzil Mengunjungi Tana Toraja

Intisari-Online.com -Inilah kisah perjalanan H.O.K. Tanzil ke Tana Toraja yang dia tulis di Intisari edisi Oktober 1978 dengan judul asli "Mengunjungi Tana Toraja". -- Ketika masih belajar di MULO, dalam salah sebuah buku Ilmu Bumi terdapat gambar kuburan Toraja di gua-gua batu yang "menyeramkan" bagi saya. Saya belum pernah ke Sulawesi, tapi berniat suatu ketika untuk mengunjungi Tator (Tana Toraja).

Tanggal 19 Juli 1978 saya disertai dengan istri menuju ke Ujung Pandang dengan DC-9 Garuda yang berangkat pukul 10.15 dari Kemayoran. Penerbangan berlangsung selama 2 jam. Kami tiba di Lapangan Udara Hasanuddin pukul 12.15 WIB atau 13.15 WIT. Jarak LU ke Ujung Pandang 25 km. Langsung kami dijamu di sebuah rumah makan yang menghidangkan makanan laut bakar khas Ujung Pandang. Nikmat sekali!

Di Ujung Pandang hampir sama panasnya dengan Jakarta, namun nyamuknya banyak dan ganas sekali di ruang terbuka. Di ibu kota Sul-Sel ada beberapa obyek pariwisata, sesering lewat sana tanpa melihat-lihat ke dalamnya. Yang kami pentingkan hanya masakannya yang khas saja.

Pada hari ke-tiga, pukul 06.30 pagi kami dijemput bus. Suatu keunikan dalam peraturan naik bis di Sul-Sel ini ialah bahwa karcis tempat duduk di bus terjual habis (dan tidak dijual lebih), namun jumlah penumpang kurang dari jumlah karcis. Hal ini disebabkan karena ada penumpang yang membeli karcis untuk dua tempat duduk, tapi hanya ditempati oleh seorang saja agar tidak terlalu berdesak-desakan. Dijamin tempat yang luang ini tidak akan diserobot orang.

Pukul 7.30 bis keluar Terminal menuju ke Utara. Jalan ramai sekali dengan kendaraan, manusia yang akan pergi ke tempat kerja dan anak-anak sekolah. Sampai Maros (30 km) dan Pangkajene (51 km) lalulintas masih ramai. Setelah itu mulai berkurang. Pukul 9.30-10.00 bus pertama kali berhenti di Barru (102 km) di depan sebuah rumah makan, untuk memberi kesempatan istirahat dan makan pagi.

Yang khas di rumah makan ini ialah ikan bandeng bakarnya yang sedap untuk sarapan. Sepanjang perjalanan antara Ujung Pandang sampai Pare-Pare (155 km) tampak desa Bugis tidak putus-putusnya. Rumah rakyat berbentuk khas yaitu berdiri dicagak-cagak kayu. Untuk masuk pintu orang perlu memanjat tangga di samping. Terdapat 3 buah jendela menghadap depan.

Perbedaan rumah yang satu dengan yang lain hanya dalam warna dan kualitas bahan bangunan tersebut yang tergantung dari kemampuan pemiliknya. Jumlah sedan yang ditemui dapat dihitung dengan jari. Kendaraan bermotor sebagian besar terdiri dari bus mini, bus dan jeep. Nampaknya bis yang berjalan paling laju.

Di Pare-Pare bis kami berhenti di Terminal untuk kedua kalinya, namun tidak lama. Dari kota pesisir ini kemudian kami menuju ke pedalaman, ke arah timur yaitu ke Sidrap. Jalan mulai berliku-liku turun naik bukit. Daerah pegunungan memberi pemandangan seperti daerah lain di Indonesia.