Find Us On Social Media :

HOK Tanzil: Minus Satu Derajat Celcious di Gunung Bromo

By Verena Gabriella, Sabtu, 21 September 2013 | 12:51 WIB

HOK Tanzil: Minus Satu Derajat Celcious di Gunung Bromo

Intisari-Online.com - Inilah kisah perjalanan H.O.K. Tanzil bersama keluarganya ke Gunung Tengger yang dia tulis di Intisari edisi Desember 1977 dengan judul asli "Bertigabelas Naik Gunung Tengger".--

Sore itu pukul 16.30 sampailah kami dengan selamat di penginapan Wonokitri. Penginapan Wonokitri terletak di sebelah Balai Desa yang mewah, sebagai bangunan kembar yang lainnya dihuni oleh Kepala Desa.

Malam itu semua dianjurkan untuk cepat-cepat tidur, karena harus bangun dini hari. Ternyata pukul dua sudah ada yang bangun untuk menyiapkan sarapan pagi. Sejak dari Jakarta memang sudah dipersiapkan pakaian-pakaian untuk dapat menahan dingin, yang menurut koran, suhu di Gunung Penanjaan mencapai 8°C.

Agar lebih aman, untuk anak-anak yang belum pernah mengalami sedingin itu, dipinjamlah semua selimut dari penginapan. Pukul 3.30 pagi berangkatlah kami 13 orang dalam gelap gulita melalui jalanan yang terus terjal. Versnelling I yang sedari permulaan dipakai nyatanya tidak memungkinkan mobil mendakinya.

Tenaga mobil benar-benar habis waktu itu. Bagian yang terjal itu baru bisa dilampaui setelah sebagian besar muatan turun. Di tempat yang kurang curam mobil sanggup mengangkat kembali semua penumpang. Jarak 10 Km sampai puncak Gunung Penanjaan yang tingginya 2780 m, jadinya naik 1000 m tingginya dari Wonokitri, ditempuh dalam 50 menit. Cuaca baik, tidak berawan.

Walaupun hampir tidak berangin, hawa sangat dingin. Setelah diukur maka ternyata suhu adalah -1°C, di luar dugaan semula! Memang pasir yang tidak terinjak nampak berlapis putih karena es!

Pada hawa yang sangat dingin itu di puncak gunung, saya dan sekeluarga berdiri kira-kira 1,5 jam, hanya berniat untuk melihat keindahan alam. Untuk mengurangi menggigil dilakukan gerak badan dan berjalan mondar-mandir, dan ini mengakibatkan debu!

Pada jam 5.15 tibalah waktunya yang dinanti-nantikan. Sinar mulai terang dan makin merah. Sampai nampak pinggiran matahari yang makin lama makin timbul membesar, sampai seluruh bulatannya terlihat. Pada saat-saat itu banyaklah dibuat foto-foto yang melukiskan bagaimana indahnya alam di situ. Pemandangan ke bawah menakjubkan.

Jauh di bawah nampak lautan pasir, puncak-puncak gunung Widodaren, Gunung Batok, dan di tengah gunung ini nampak Gunung Bromo yang berkawah luas. Di arah selatan terlihat puncak Gunung Semeru yang sewaktu-waktu mengeluarkan asap hitam tebal secara mendadak.

Waktu meninggalkan tempat tujuan utama kami pukul 6 pagi itu, suhu tetap masih rendah ialah 0°C. Kembali ke penginapan Wonokitri hanya memakan waktu 30 menit, turun juga dengan versnelling I.

Dalam perjalanan pulang melalui Pasuruan, Mojosari, Jombang, Kertosono, Caruban, Ngawi, Solo, Bawen, Ambarawa dan berhenti di Bandungan pukul 8 malam. Perlu diceritakan bahwa jalanan itu di banyak tempat mengalami kerusakan, yang sedang dibetulkan sehingga memerlukan waktu lebih lama.

Setelah menginap di Bandungan dua malam, paginya pukul 7 dimulai perjalanan pulang. Cerita yang kurang menyenangkan saya sebagai penutup terjadi di desa Klenggenan, 17 Km setelah Cirebon. Waktu itu pukul 14.30 mesin mobil mulai jalan tidak teratur. Di depan sebuah toko alat-alat mobil saya berhenti. Saya belikan 4 buah busi baru. Namun tidak ada alat untuk dapat menggantikannya.

Setelah sejam lebih diperolehlah alat yang diperlukan. Memang benar, setelah diganti mesinnya berjalan! Untuk semua ini hilanglah waktu tiga jam. Kemudian sampailah saya di Jakarta dengan selamat dengan pengalaman baru, yaitu perlunya alat-alat serep bila bepergian.