Penulis
Inilah cerita H.O.K. Tanzil saat pergi ke Kalimantan yang dia tulis di Intisari edisi Agustus 1979 dengan judul asli "Melancong ke Kalimantan".Intisari-Online.com - Pada hari Minggu, 29 April 1979, Ir Yahya mengajak kami berjip ke Muara Badak sejauh lebih kurang 50 km dan bila mungkin akan diteruskan ke Bontang (Proyek LNG).Kami lewati L.U. Temindung ke jurusan Utara. Jalan pada permulaan beraspal namun rusak. Mulai dari Talangsari makin parah.Kami minta izin agar dapat melalui jalan swasta. Kami lewati hutan yang sedang/telah dibuka. Jarak 25 km ditempuh dalam 1,5 jam. Setelah itu jalan sangat berlumpur karena sehari sebelumnya hujan. Sebuah traktor sedang meratakan jalan yang rusak itu, sehingga kami terhalang. Untung juga jip "4-wheel drive" dapat melintasi gundukan lumpur dengan cukup mudah.Walaupun kerusakan sangat parah, hal ini tidak separah dan mengerikan yang pernah kami alami di Jambi dan Lampung Selatan dengan VW kami 2 tahun yang lalu.Dalam perjalanan kembali, di sebuah simpang tiga, kami membelok ke kanan ke Proyek Transmigrasi Lempake yang sebenarnya hanya 12 km dari Samarinda.Karena jalan kurang baik, hubungan taxi (oplet colt) antara Lempake dan Samarinda agak jarang: biayanya Rp 200,—Pada sebuah rumah batu yang lebih besar dari rumah di sekitarnya terpancang papan-papan dengan tulisan-tulisan. Pak Harjowikarta, penghuninya adalah ketua para transmigran. Isterinya sedang mengayun bayinya di antara 6 anaknya. Menurut keterangan mereka, mereka meninggalkan kampungnya di Magelang 9 tahun yang lalu bersama 175 keluarga terdiri dari 755 jiwa.Di Lempake ini kini terdapat 213 keluarga dengan jumlah 886 jiwa. Di situ ada sebuah SD, sebuah SD Iripres, sebuah mesjid, sebuah gereja dan sebuah Puskesmas (di Kebon Agung, tak jauh).Keadaan kesejahteraan keluarga Pak Harjowikarta ini memuaskan. Rumahnya dari batu, luas dengan perabotan baik, termasuk sebuah alat TV.Rumah pertamanya yang sederhana berada tak jauh dari situ. Setelah keadaan membaik, ia membangun rumah batu ini. Di halaman yang luas tampak pohon-pohon kelapa gading yang berbuah walaupun baru setinggi 1.5 meter, pepaya, pisang, singkong, bayam dan sawi.Dari percakapan kami ambil kesimpulan bahwa para transmigran di Lempake ini tingkat hidupnya menaik sekali, bila dibandingkan dengan dahulu di daerah Magelang. Mereka hidup bertani.Ketika ditanyakan apakah kekurangan di sana dan keluhan mereka? Ia jawab hanya satu: yaitu hiburan, khususnya gamelan! Rupanya ia penggemar gamelan benar, karena di ruang depan tampak tiga buah gambang.Kami sempatkan berkeliling di kampung itu. Seolah-olah kami berada di Jawa Tengah dengan rumah-rumah yang pagarnya dihiasi kembang sepatu dan kembang soka. Di halaman berdiri pohon-pohon pisang, pepaya dan nangka.Di samping beberapa rumah tampak lembu sedang istirahat. Di rumah-rumah papan sederhana yang terpelihara baik, tampak para bapak duduk merokok dengan santai.