Ajip Rosidi: Idul di Tokyo, Tak Ada Takbir Seperti di Indonesia

Birgitta Ajeng

Penulis

Ajip Rosidi: Idul di Tokyo, Tak Ada Takbir Seperti di Indonesia

Intisari-Online.com - Bagaimana menjalankan dan merasakan Idul Adha di Tokyo, Jepang, di mana masyarakat Muslim merupakan minoritas? Ajip Rosidi imengisahkan pengalamannya.Sidang Asian Cultural Centre for UNESCO yang saya hadiri kali ini berlangsung sampai tanggal 10 Nopember 1978, padahal tanggal 11 November itu hari Idul Adha. Biasanya saya segera meninggalkan Tokyo sehari setelah sidang selesai; tetapi karena saya ingin berjamaah salat sunat Idul Adha, maka saya putuskan untuk menunda waktu pulang dan berniat untuk bersembahyang sunat di MesjidTokyo.Saya segera mencari keterangan, maka dapatlah saya ketahui bahwa salat sunat akan dimulai pukul 08.30 pagi. Agak siang, karena biasanya diIndonesiasalat Id dimulai pukul 07.00; atau pukul 07.30. Tetapi, sekarang musim gugur, sehingga pukul 08.30 di Tokyo masihlah pagi.Meskipun saya sudah beberapa kali ke Tokyo, tetapi untuk bepergian sendirian dengan subway, yaitu kereta bawah tanah, masih juga ngeri. Begitu banyak jaringan jalan kereta, naik turun tangga, dengan petunjuk dalam huruf Jepang. Hanya di stasiun-stasiun besar di pusat kota saja ada petunjuk dengan huruf Latin. Di jalan-jalan yang menuju ke arah luarkota, kita hanya melihat huruf-huruf kanji saja. Dan saya tidak dapat membaca kanji!Karena itu kalau bepergian dengan subway, saya selalu minta dikawani oleh orangTokyoatau yang sudah lama tinggal diTokyo. Tetapi untuk meminta dijemput pukul 6 pagi, niscaya tidaklah mungkin. Dari tempat mereka ke hotel tempat saya menginap akan memakan waktu kurang lebih satu jam, rata-rata. Jangankan pada musim gugur (waktu jam kantor mulai dibuka diundurkan setengah jam), pada musim panas sekalipun tidak mungkin meminta dijemput sepagi itu. Orang Jepang biasanya tidur larut, dan terbangun lambat. Maka itu mereka jarang mandi pagi, karena harus bergegas ke kantor. Umumnya orang Jepang hanya mandi malam hari sebelum tidur.Supaya saya dapat tiba di mesjid Tokyo yang jaraknya kurang lebih satu jam dari hotel tempat saya menginap pada waktunya, maka saya harus berangkat jam setengah tujuh dari hotel — sendirian. Untuk itu sehari sebelumnya saya telah meminta petunjuk dan peta kepada seorang Jepang, yang memberikan keterangan bagaimana caranya supaya saya bisa sampai di Yoyogi Uehara, setasiun subway yang terdekat letaknya dengan mesjidTokyo. Darisanasaya tinggal berjalan kaki beberapa menit.Sebelumnya saya sudah mendapat keterangan juga bahwa masyarakatIndonesiapun – yang biasanya menyelenggarakan sembahyang'id bersama di BalaiIndonesia– konon sekali ini akan sembahyang bersama-sama dengan ummat Islam lainnya di mesjidTokyoyang terkenal juga dengan nama Mesjid Turki, karena didirikan dan dikelola oleh orang-orang Turki. Jadi disanasaya akan bisa bertemu dengan orang-orangIndonesiapula. Kesempatan itu saya anggap baik; selama beberapa hari diTokyosaya tak sempat ke KBRI, karena acara yang harus saya ikuti sangatlah padat.Tiba di Mesjid TokyoKetika saya tiba menjelang pukul 08.00 pagi, mesjid sudah setengah penuh. Saya lihat beberapa orangIndonesia, kelihatan dari peci dan baju batik yang dipakainya, sudah duduk. Tetapi yang lain tampaknya terdiri dari berbagai bangsa, di antaranya juga kelihatan banyak orang Jepang.

Berlainan dengan suasana sebelum sembahyang Id yang biasa kita temui diIndonesia, maka di situ tidaklah saya dengar orang takbir: Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar. La ilaha ilallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar walillah ilhamd; yang tak putus-putus. Yang terdengar adalah takbir, tahmid, salawat. Tak berlagu syahdu.Setelah saya selesai sembahyang sunnatul masjid, seseorang berdiri di depan mikrofon yang tersedia, lalu berkata-kata dalam bahasa yang sama sekali asing buat saya. Tetapi saya tahu bahwa itu mestilah bahasa Turki. Setelah itu seorang lain berdiri dan berbicara dalam bahasa Inggris, agaknya mengulangi keterangan pembicara pertama, tetapi ditujukan kepada publik berbahasa Inggris. Dia menerangkan tentang arti sembahyang Idul Adha, tentang tauhid, tentang pengurbanan Ibrahim dan Ismail, tentang ibadah haji, tentang kurban, dan diakhiri dengan keterangan bahwa mesjid tersebut akan diperbaiki, diperluas. Panitia telah menerima banyak sumbangan tetapi belum cukup juga, karena itu panitia menyatakan kegembiraannya bahwa berbagai negara Islam akan membantu usaha perbaikan mesjid itu.Setelah itu berdirilah seorang lain lagi. Kali ini pasti orang Jepang. la segera bicara dalam bahasa matahari terbit itu. Niscaya mengulangi keterangan yang sama juga. Sebelum sembahyang dimulai, masih ada seorang pembicara pula, yaitu Ketua Panitia Perbaikan mesjid. Dalam bahasa Inggris, dia menyatakan bahwa mesjid itu sekarang tidak mencukupi lagi untuk menampung minat dan hasrat ummat Islam yang kian bertambah diTokyo. Lagi pula mesjid itu akan menjadi pula sebuah Pusat Kegiatan Islam (Islamic centre). Saya tidak mengenal pembicara itu, tetapi tentu ia seorang tua pandai yang dihormati. Kelihatan keseganan orang kepadanya. Dia orang Jepang.Imam sebelum mulai bersembahyang berjemaah, mengingatkan jemaah bahwa cara salat 'id yang akan diikuti adalah cara seperti yang diterangkan oleh Imam Syafii. Pada rakaat pertama, takbir diulangi tiga kali; kemudian juga dalam rakaat kedua. Sama juga dengan kebiasaan kita di Indonesia – meskipun akhir-akhir ini ada juga yang memperkenalkan faham baru, yaitu bahwa dalam salat 'id orang cukup membaca takbir satu kali saja.Tetapi pada rakaat kedua, ternyata takbir hanya satu kali sebelum imam membaca fatihah dan surah. Saya mula-mula agak terkejut, tetapi sebagai ma'mum saya ikuti saja.Ternyata setelah ruku', baru takbir ulangan tiga kali dilakukan! Ah niscaya dia salah baca hadis! saya fikir dalam hati.Setelah selesai sembahyang, khutbah dimulai. Oleh Imam yang bicara pertama kali. Jadi dalam bahasa Turki. Saya tak dapat mengerti khutbah itu – tentu saja. Tetapi ingatan saya terkenang ke rumah. Anak-anak tentu pada waktu itu pun sedang mendengarkan khutbah di Jakarta – salat 'id di Tokio pukul 08.30, di Jakarta biasanya pukul 07.00, tetapi antara Jakarta dan Tokyo ada perbedaan waktu dua jam. Lalu saya pun teringat kepada ibu dan adik saya yang pada saat ini niscaya sedang dalam perjalanan dari Arafah ke Musdalifah, menuju Mina; karena di Arab pada waktu itu niscaya baru sekitar tengah malam. Entah apakah mereka bersama rombongannya tidak menjumpai kesulitan. Ketika dua tahun yang lalu saya bersama istri saya dan rombongan menunaikan ibadah haji, banyak nian kesulitan yang kami hadapi.Istri saya sakit keras, sehingga pada saat-saat itu muncul pikiran yang bukan-bukan, khawatir kalau-kalau yang akan pulang bersama saya hanyalah namanya saja. Alhamdulillah akhirnya kami pulang dengan selamat, walaupun setiba di rumah istri saya harus berbaring sebulan lebih di kamar, sampai bronkhitisnya baik benar.Maka terbayang pula kepada saya saat-saat ketika melontar di Mina, ketika berdesak-desakan mencari Jabal kurban untuk mencari kambing, kemudian bergegas menuju Mekah untuk melakukan thawaf ifadah, pada saat mana istri saya berkali-kali pingsan, tetapi tetap keras hatinya untuk melaksanakan ibadah itu dengan sabar dan tekun di tengah gelombang lautan manusia yang berdesakan.Ketika saya sedang membayangkan kembali adegan demi adegan itu, tiba-tiba terdengar oleh saya ada sedu tertahan di sebelah. Saya membuka mata dan menoleh kepada orang yang berada di samping kiri saya. Terlihat bahwa ia mencoba menahan sedu-sedannya, dan tangannya menghapus air mata yang deras mendesak ke luar.Saya tiba-tiba merasa heran, mengapa saya sendiri tidak mengalami emosi yang mendera air mata saya ke luar, padahal biasanya pada saat-saat seperti itu saya tak dapat menahan luapan emosi yang mendesak dada. Saya merasa wajar saja kalau menangis pada saat-saat seperti itu. Karena itu saya merasa heran – dan menyesal pula – bahwa di Tokyo ketika pertama kali bersembahyang 'id di negeri asing, saya malah tidak merasakan emosi itu.Layaknya keluarga yang sudah lama tidak bersuaSetelah khutbah selesai, masih diikuti oleh tiga orang mengaji beberapa surat pendek. Setelah itu barulah orang bergerak untuk saling bersalaman, saling mengucapkan selamat. Orang-orang Indonesia mengucapkan "Minal aidin walfaizin".Orang-orang yang berasal dari negara dan terdiri dari berbagai macam bangsa, yang mempunyai bahasa yang berlain-lainan itu, saling tegur dengan ramah. Saling ucapkan selamat. Mereka semua betul-betul kelihatan sebagai sebuah keluarga yang sudah lama tidak bertemu. Percakapan antar-bangsa dilakukan dalam bahasa Inggris atau bahasa Jepang.Para jemaah disilahkan untuk minum dan makan-makan sekedarnya di halaman mesjid, di mana sudah dipasang beberapa meja yang menyediakan roti, jeruk, pisang dan air teh susu. Semua orang, laki perempuan, orang tua dan anak-anak, dengan sabar dan gembira mengambil penganan yang diingininya sambil mengisi gelas-kertas dengan teh-susu. Tadi pagi saya belum sarapan. Karena memang dianjurkan untuk berpuasa dari rumah kalau mau sembahyang 'idul adha; berlainan dengan sembahyang 'idul fitri: dianjurkan untuk jangan berpuasa.Maka saya pun segera mengambil sepotong roti, segelas air dan kemudian ditambah dengan sebuah jeruk. Saya mensyukuri nikmat ini sambil bercakap-cakap dengan saudara Anas Makruf, yang juga sejak beberapa lama tinggal diTokyo. Di samping itu saya bertemu dengan kawan-kawan lain dari KBRI. Dari mereka saya mendengar bahwa di Balai Indonesia akan diselenggarakan pemotongan kambing kurban.Mendengar kambing disebut, maka saya jadi teringat akan kekurangan yang sejak semula saya rasakan, yaitu tak melihat ketupat dan gulai – penganan "tradisional" yang harus ada pada hari lebaran di rumah, baik lebaran puasa maupun lebaran haji. Tetapi bagaimana pula akan mengharapkan ketupat dan gulai di Tokyo! Bahwa sehabis sembahyang saya bertemu dengan sesama ummat, dan bahkan dengan kawan-kawan yang saya kenal, sambil mendapat pula minuman yang hangat dan penganan yang lezat, sudah merupakan suatu nikmat yang perlu disyukuri.--Inilah cerita Ajip Rosidi saat merayakan Idul Adha yangdia tulis di Majalah Intisariedisi Januari 1979 dengan judul asli "Salat 'Idul Adha di Mesjid Tokyo".