HOK Tanzil ke Banda Aceh (1) : Kisah Perjalanan Sebuah Microbus

Birgitta Ajeng

Penulis

HOK Tanzil ke Banda Aceh (1) : Kisah Perjalanan Sebuah Microbus

Intisari-Online.com -H.O.K. Tanzil sebagai seorang penyelidik yang tekun, sudah diketahui dalam kalangan kedokteran. Pengalamannya sebagai orang yang suka berkelana dunia naik mobil, ditulis dalam Intisari bulan April 1977. Bulan Juli yang lalu ia berangkat lagi dengan copilot yang sama: Ny. Tanzil.Kali ini menuju ke Banda Aceh. Rekan perjalanan lain adalah sebuah mikrobus VW yang kali ini angkat bicara. Bahwa keindahan pemandangan di Sumatera bisa dibanggakan, kita semua sudah maklum. Yang dilaporkan sekarang terutama keadaan jalan di daerah itu yang belum banyak dilalui orang.--Saya adalah sebuah Microbus VW. Saya lahir di Jakarta tahun 1973. Oleh majikan saya, Bapak Tanzil, saya sehingga kini dirawat dengan baik. Bahkan saya dilengkapi dengan alat pendingin, radio, tape, dan TV-pun dapat dipasang untuk menyenangkannya.Menurut pengalaman Pak & Ibu Tanzil, kakak saya yang lahir di Eropa pada tahun 1972, dalam usia 3 tahun pernah dibawa keliling Eropa, Amerika-Utara dan Amerika-Tengah sejauh 44000 km, tanpa mengalami kerusakan yang berarti, kecuali pecah ban dua kali.Kepercayaan kepada kami inilah yang memberanikan majikan saya berdua untuk membawa saya ke Sumatra, yang mereka angan-angankan.Pelbagai keterangan telah dicari perihal keadaan jalanan di pulau itu. Setelah hujan di sana mereda maka mereka mengambil keputusan memulai tour Jakarta– Banda Aceh pp. tg. 23 Juli yang lalu.Perlengkapan masak, makanan, minuman dan perlengkapan untuk tidur telah mereka bawa agar dapat mempertahankan diri bila terpaksa harus berhenti lama di rimba karena sesuatu hal, menurut cerita pengalaman orang lain.Untuk saya sendiri hanya disediakan 4 buah busi, sebuah platina, sebuah kondensor, 2 galon minyak Mesran dan yang terpenting seutas kabel. Lain-lain tidak disediakan untuk saya. Bos saya berpendirian, tidak ada gunanya membawa macam-macam perlengkapan kalau ia tidak mengetahui sama sekali tentang mobil.Berangkat "bertiga"Begitulah pada hari yang ditetapkan Pak & Ibu Tanzil jam 5 pagi mengendarai saya dengan santai untuk berpetualang di pulau Sumatra. Setelah 3 jam sampailah kami di Merak.Untuk orang yang belum pernah menyeberang ke Srengsem dengan ferry, membawa mobil urusannya rumit. Harus mondar-mandir sehingga calo-calo yang berkerumunlah yang disuruh menanganinya. Walaupun surat-surat belum selesai, saya diperbolehkan masuk Ferry "Merak".Pembayaran karcis bagasi : Rp. 31.500 (untuk microbus; untuk sedan/jeep Rp. 21.000,), asuransi Rp. 300,- Bea pelabuhan Rp. 300,- Karena dilayani dengan baik, bos saya meninggalkan uang Rp. 2.000,- sebagai persen. Ini ditolak dengan ramah, namun diberikan kepada sang calo untuk diteruskan. Setelah 45 menit bereslah semua.Ferry berangkat pada jam 09.30. Pelayaran ke Srengsem berlangsung selama 4 jam. Sesampainya di Pelabuhan tersebut, surat perintah Angkut Barang di-fiat keluar oleh BC dan meluncurlah saya ke Telukbetung. Hari pertama di Sumatra tidak banyak tugas saya.Keesokan harinya jam 05.30 mulailah tour yang sebenarnya dan hari itu bertujuan ke Palembang sejauh kira-kira 450 km. Waktu mau keluar kota jalanan kurang baik. Hal serupa ini banyak saya lihat di kota-kota pulau Jawa.Namun sebagian terbesar jalanan ke Kotabumi yang 95 km itu, lebar beraspal kasar yang rata sehingga saya dapat meluncur dengan kecepatan 80 km per jam. Memang asyik benar jalan di sini, lagi pula tidak banyak kendaraan lain yang dapat menghambat saya.Setelah Kotabumi ke Bukitkemuning (43 km) kwalitas jalanan berubah menjadi kurang baik. Bahkan beberapa bagian jalanan selanjutnya ke Martapura (85 km) yang berliku-liku, turun-naik dalam keadaan rusak berat, berbatu, berlobang besar dan harus jalan versnelling I dengan hati-hati.Untunglah tanahnya kering, kalau musim hujan tentu lebih berabe. Yang menggembirakan ialah bahwa di beberapa tempat tampak sedang dalam perbaikan, dan di pinggir jalan tampak tumpukan batu yang diperlukan, yang memakan tempat setengah dari lebar jalanan yang sudah sempit itu.Dari Martapura yang ditempuh dalam 5 jam saya menyelusuri jalanan aspal agak sempit dan sepi sejajar Sungai Komering. Setiba di Riang Bandung (43 km setelah Martapura) saya perlu diberi bensin yang harus dibeli di kakilima karena tak ada pompa Pertamina.Menurut keterangan, jalanan terpendek dari sini ke Palembang (175 km) adalah melalui Kayu Agung (110 km) jalanan ini adalah kelas II, kurang baik, sempit, sepi, truk dan bis dilarang melalui jalan ini (mereka harus melalui Baturaja). Untuk memastikan hal ini telah dipasang portal.Saya tertahan di tempat ini oleh sebuah bis mini, yang sedang menurunkan barang bawaan yang bertumpuk lebih tinggi dari portal. Setelah bis mini lolos barulah saya melaluinya.Jalanan yang kurang baik ini (110 km) ditempuh dalam 2¼ jam. Di Kayu Agung jalanan tanpa aspal, rusak berat sampai barang-barang dalam mobil kucar-kacir. Hal ini berlangsung sepanjang 10 km. Sampai Tanjung Raya.Selanjutnya jalanan mulus, licin sepanjang lebih dari 50 km, dibangun Pertamina. Cuma terputus-putus pada jembatan-jembatan saja. Suatu pelipur lara setelah mengalami kocokan hebat.Jam 15.30 tibalah saya di Palembang dengan melintasi jembatan Ampera yang megah itu.