HOK Tanzil ke Banda Aceh (2) : Suasana Ala Amerika Serikat

Birgitta Ajeng

Penulis

HOK Tanzil ke Banda Aceh (2) : Suasana Ala Amerika Serikat

Intisari-Online.com -H.O.K. Tanzil sebagai seorang penyelidik yang tekun, sudah diketahui dalam kalangan kedokteran. Pengalamannya sebagai orang yang suka berkelana dunia naik mobil, ditulis dalam Intisari bulan April 1977. Bulan Juli yang lalu ia berangkat lagi dengan copilot yang sama : Ny. Tanzil. Kali ini menuju ke Banda Aceh. Rekan perjalanan lain adalah sebuah mikrobus VW yang kali ini angkat bicara. Bahwa keindahan pemandangan di Sumatera bisa dibanggakan, kita semua sudah maklum. Yang dilaporkan sekarang terutama keadaan jalan di daerah itu yang belum banyak dilalui orang.--Dua hari di sini diisi dengan melihat kota Plaju dan Sungai Gerong dengan kompleks Pertaminanya yang bersih dan teratur. Suasana seperti dalam sebuah kota kecil di Amerika Serikat.Hari keempat tour dilanjutkan dari Palembang jam 08.00 dengan tujuan Lubuk Lingau sejauh kl. 360 km. Untuk keluar kota jalanan agak sempit. Karena ada sebuah truk mogok, dan pemakai jalan kurang disiplin, maka timbullah kemacetan yang baru dapat diatasi setelah setengah jam.Jalanan ke Prabumulih (96 km) beraspal baik, licin, namun bergelombang. Karena sepi sekali saya dapat berjalan dengan kecepatan 80 km per jam dengan santai. Setelah hampir 2 jam sampailah saya di kota minyak Prabumulih yang terkenal pula dengan buah-buahannya. Sayang bukan musim duku. Nenas yang manis dan cukup besar 3 buah harganya hanya Rp. 125,-.Jalanan Pertamina yang baik diakhiri dengan 2 km rusak, dan selanjutnya bertambah melalui Hutan.Setelah 80 km, jam 12.00 tibalah kami di Muara Enim. Dari sini ke Lahat yang 40 km itu, 7 km jalanan berlubang-lubang besar. Sebagian telah ditambal dan sisanya cukup baik melalui hutan. Kadang-kadang tampak pohon-pohon durian, duku dan kopi yang selalu disertai dengan bau luwak.Dari Lahat ke Tebingtinggi yang berjarak 76 km itu, yang ditempuh dalam 2 ½ jam diawali dengan jalanan aspal di daerah pegunungan, berliku-liku, turun-naik, melihat tanaman karet dan kopi. Setelah 33 km jalanan sebagian besar tidak beraspal, rusak bahkan di Gunung Karta sepanjang 15 km parah sekali. Hawa panas sekali (jam 13.00) dan berdebu.Kami menjumpai sedikit sekali kendaraan.Dari Tebingtinggi jalanan berliku-liku, turun-naik beraspal yang berlobang-lobang. Ini pun hanya kl. 10 km, lalu jalanan tidak beraspal bahkan sebagian besar rusak berat. Setelah 36 km dari Tebingtinggi saya mogok. Bos saya menduga bahwa saluran bensin tersumbat oleh kotoran karena membeli bensin dari jerrycan.Karena ia tidak mengerti perihal mesin maka tidak ada jalan lain daripada menunggu pertolongan dari kendaraan lain sebab dusun terdekat 5 km jaraknya dari sana.Memang setelah 20 menit nampak sebuah truk dari pabrik rokok "Djarum" ke jurusan yang sama dengan kami. Dua orang, pengemudi dan pengawal telah membantu. Setelah mesin dapat dihidupkan, bos saya memberi tip uang, tapi ditolak dengan ramah. Kami disuruh berjalan lebih dahulu agar mereka nanti dapat membantu bila perlu.Benar juga, setelah beberapa km, karena harus melintasi sebuah jembatan kayu yang sempit sehingga harus memakai versnelling I, maka saya mogok lagi di atas jembatan. Sekali lagi kami ditolong. Jalanan rusak tanpa aspal itu berlangsung sampai Muara Beliti. Setelah itu dengan merasa lega jalanan aspal yang cukup baik saya rasai sampai Lubuk Lingau jam 18.00.