HOK Tanzil ke Banda Aceh (5): Indahnya Balige Serupa Swiss

Birgitta Ajeng

Penulis

HOK Tanzil ke Banda Aceh (5): Indahnya Balige Serupa Swiss

Intisari-Online.com -H.O.K. Tanzil sebagai seorang penyelidik yang tekun, sudah diketahui dalam kalangan kedokteran. Pengalamannya sebagai orang yang suka berkelana dunia naik mobil, ditulis dalam Intisari bulan April 1977. Bulan Juli yang lalu ia berangkat lagi dengan copilot yang sama: Ny. Tanzil.Kali ini menuju ke Banda Aceh. Rekan perjalanan lain adalah sebuah mikrobus VW yang kali ini angkat bicara. Bahwa keindahan pemandangan di Sumatera bisa dibanggakan, kita semua sudah maklum. Yang dilaporkan sekarang terutama keadaan jalan di daerah itu yang belum banyak dilalui orang.--Saya sendiri diservice sampai jam 23.00. Shockbreker depan diganti, stabilisator diluruskan, knalpot bocor dilas dan pelbagai barang kecil diganti atau dibetulkan. Baru keesokan harinya jam 11.00 selesai. Sejam kemudian saya meninggalkan Padang dengan merasa lega ke arah Padang Panjang melalui jalanan yang baik dan sepi. Hanya sedikit mobil sedan yang terlihat. Setelah meliwati Lembah Anai yang indah sampailah saya di Bukittinggi.Dari kota pegunungan yang sejuk ini, perjalanan dilanjutkan ke Bonjol melalui jalanan yang berkelok-kelok. Beberapa jembatan sedang dibetulkan. Di Bonjol tampak sebuah tugu bertulisan "equator" yang menandakan bahwa khatulistiwa melalui tempat itu. Jalanan yang rusak tampak sedang dibetulkan.Setelah Lubuk Sikaping dilalui Rimba Panti, yaitu Cagar Alam yang benar-benar indah, rimbun dengan jalanan yang lurus dan mulus. Pelbagai Nagari (desa di Lampung, dusun di Sumatra Selatan) sambung-bersambung. Kira-kira 40 km sebelum Kotanopan mulailah jalan banyak berliku-liku, pendek dan tajam. Ketika itu hujan, sehingga saya lebih hati-hati.Hampir jam 18.00 sampailah kami di Kotanopan, setelah menempuh 270 km dan masuk di garasi sebuah Pasenggrahan yang baru saja di up-grade. Hawa tidak panas; Kotanopan terletak kl. 450 m di atas permukaan laut.Setelah istirahat semalam, pada hari ke 8 jam 6.30 berangkatlah saya menuju Prapat melalui jalanan seperti sebelumnya, yaitu berliku-liku lagi. Antara Sidoli dan Panyabungan, desa-desa agak rapat. Di sebuah desa yang agak ramai, Ibu Tanzil membeli pisang goreng yang nampaknya banyak dijual di daerah itu. Penganan yang enak itu harga hanya Rp. 5,- sebuah!Padang Sidempuan Ke Tarutung dapat dicapai dengan dua jalan. Yang pertama melalui Sibolga dengan liku-liku mautnya antara Sibolga – Tarutung. Kemungkinan kedua yang lebih pendek dan kurang baik yang saya lalui ialah via Sipirok, yang juga berkelok-kelok, lebih banyak dari yang ada di Jawa. Setelah 14 km, di Pargarutan dapat melalui Gunungtua dan Rantauprapat bila hendak ke Medan (jalan inilah yang saya lalui waktu pulangnya). 24 km kemudian sampailah saya di Sipirok dan mulailah jalan yang kurang baik di daerah pegunungan yang berliku-liku, turun-naik dan kira-kira sepanjang 2 km rusak sekali.Jam 12.00 setelah menempuh 220 km tibalah saya di Tarutung. Ramai juga kota ini. Tampak sado dengan kap yang khas! Jalanan selanjutnya ke Siborongborong (26 km) ternyata baik. Pemandangannya indah. Hal ini makin bertambah cantik mendekati Balige, yang tidak kalah dengan daerah Puncak, bahkan menurut bos saya mengingatkan pemandangan di Swis.Tapi sayang 2 km dari Balige, ban belakang saya kempes terkena paku. Terpaksa ditambalkan di Laguboti. Biayanya Rp. 200,-. Pemberian tip ekstra benar-benar dihargai. Jalanan ke Porsea harus melalui 4 buah jembatan rusak. Perjalanan ke Prapat dimulai lurus dan diakhiri dengan liku-liku di daerah pegunungan disertai dengan pemandangan danau Toba yang sangat indah.Maka jam 16.00 setelah menempuh 324 km sampailah saya di Prapat. Menurut bos saya yang pernah ke mari 6 tahun yang lalu, nampak kemajuan yang besar. Hotel-hotel baik dan banyak, begitupun restoran. Di kota yang sejuk inilah yang letaknya 941 m diatas permukaan laut, saya mengaso semalam.