Find Us On Social Media :

HOK Tanzil ke Banda Aceh (6) : 13 Jam Menempuh 608 KM

By Birgitta Ajeng, Sabtu, 19 Oktober 2013 | 18:00 WIB

HOK Tanzil ke Banda Aceh (6) : 13 Jam Menempuh 608 KM

Intisari-Online.com - H.O.K. Tanzil sebagai seorang penyelidik yang tekun, sudah diketahui dalam kalangan kedokteran. Pengalamannya sebagai orang yang suka berkelana dunia naik mobil, ditulis dalam Intisari bulan April 1977. Bulan Juli yang lalu ia berangkat lagi dengan copilot yang sama: Ny. Tanzil.Kali ini menuju ke Banda Aceh. Rekan perjalanan lain adalah sebuah mikrobus VW yang kali ini angkat bicara. Bahwa keindahan pemandangan di Sumatera bisa dibanggakan, kita semua sudah maklum. Yang dilaporkan sekarang terutama keadaan jalan di daerah itu yang belum banyak dilalui orang.--Esoknya hari ke 9 jam 07.30 dimulailah perjalanan ke Medan. Jalan Prapat – Pematangsiantar tidak kalah dari jalanan ke Puncak, mengenai baiknya. Jalan seperti ini tampak pula sampai Tebingtinggi melalui perkebunan-perkebunan karet dan kelapa sawit. Jalan agak sepi.Di Tebingtinggi sendiri terdapat jembatan dan jalan rusak yang sedang diperbaiki. Kini jalan mulai ramai. Setelah melalui Lubukpakam sampailah saya di Medan jam 10.30. Di sinilah saya hanya diberi tambahan oli, untuk melanjutkan tujuan terakhir, yaitu Banda Aceh.Hari ke 10 perjalanan dimulai dari Medan jam 6.30. Jalan ke Binjai baik dan mulai ramai, terutama banyak bis dan oplet. Dari kota ini ke Tanjungpura sejauh 39 km itu, walaupun aspalnya baik, tapi berombak hingga sukar juga melaju. Lagipula ia agak sempit sehingga pada saat mendahului atau meliwati kendaraan dari arah yang berlawanan, kedua kendaraan harus ekstra waspada dan mengalah sampai keluar garis jalan.Adakalanya sebuah kendaraan harus berhenti untuk memungkinkan saling meliwati. Dalam hal ini, patut kiranya dikemukakan bahwa pada umumnya pengemudi-pengemudi di Sumatra, bila tidak di kota-kota besar, sangat disiplin, toleran dan saling setiakawan, hal yang saya jarang jumpai di Jawa (sayang sekali!). jarak Pangkalanbrandan – Besitang yang 16 km itu, silih berganti terdapat jalanan yang rusak beraspal atau tidak.Dari Besitang sampai perbatasan Sumut – Aceh jalanan aspal baik sekali dan lebar. Selanjutnya jalanan mulus yang dibuat Pertamina, melalui perkebunan-perkebunan karet dan kelapa sawit, hanya terputus pada jembatan-jembatan yang rusak dan bagian yang sedang dibetulkan. Hal demikian berlangsung sampai Kualasimpang; Langsa, Peureulak dan Idi, jadi kira-kira 130 km.Dari Idi sampai Lhoksukon (65 km), terdapat jalan rusak, beberapa bagian tanpa aspal, bahkan di Pontonlabu jalan rusak parah dan ada bagian-bagian yang sedang dibetulkan.Mulai Lhoksukon sampai Lhokseumawe jalanan mulus lagi. Tampak sawah-sawah menghijau dan desa-desa yang saling susul menyusul.Keluar dari Lhokseumawe aspal jalanan 4 km bertambal dan 6 km telah rusak berat tapi dibetulkan. Jalan yang selanjutnya baik itu, di Gandapuro sepanjang 4 km sangat rusak, sedang dibetulkan juga. Lalu jalanan mulus berlangsung sampai 9 km sebelum Bireuen. Jalan rusak yang sedang dibetulkan berlangsung sampai Peudada. Dan jalanan Peudada – Meureudu – Sigli ternyata baik melalui sawah-sawah dengan padi yang menghijau dan desa-desa yang tampak cukup makmur.Dari Sigli ke Seulimeum jalanan aspal kurang baik, gelombang dan terdapat banyak jembatan rusak. Tahap - terakhir ke Banda Aceh yang 42 km itu banyak liku-liku di daerah pegunungan. Jam 19.30 setelah 13 jam menempuh 608 km dengan rasa syukur saya sampai di Banda Aceh, yaitu kota yang saya tuju. Dua jam kemudian barulah saya dapat beristirahat di garasi sebuah hotel.