Find Us On Social Media :

Catatan Irawati (4): Napak Tilas ke Masa Lalu

By Ade Sulaeman, Sabtu, 16 November 2013 | 13:00 WIB

Catatan Irawati (4): Napak Tilas ke Masa Lalu

Intisari-Online.com - Berikut ini bagian keempat dari sebagian catatan dari kisah perjalanan pilihan mantan Pjs Pemimpin redaksi Intisari, Irawati, yang setelah purnakarya banyak menghabiskan waktu dengan melanglang.

--

Memilah-milah tumpukan naskah wisata Intisari seperti memutar film lama. Bagi yang pernah mengunjungi tempat yang ditulis di sana, cerita-cerita itu bagai kegiatan napak tilas ke masa lalu. Lebih dari itu, catatan perjalanan juga membangun nama dan reputasi penulisnya.

Nama-nama penulis yang sudah mendahului kita, ada yang rutin mengirim karangan seperti HOK Tanzil (pembaca setia generasi tua pasti ingat). Harris Otto Kamil Tanzil ialah seorang dokter yang berkelana bersama istrinya yang pandai memasak.

Saya menemukan cerita pengalamannya ke Toraja dan jalan-jalan ke Gunung Tengger di Jawa Timur. Namun ia juga sering ke luar negeri. Sampai tidak lagi aktif menulis, akhir 1990-an, tinggal segelintir negara yang belum dia kunjungi: Irak, sebagian negara Baltik, dan pecahan Uni Soviet. Pada zaman itu belum lazim orang jalan-jalan ke banyak negara, lebih-lebih yang masih aktif.

Selain Tanzil, ada juga Oei Hong Kian, dokter gigi Bung Karno, yang keliling dunia dan menulis. Namun yang paling berkesan bagi saya selaku editor adalah tulisan Iwan Sagi, pemuda yang berwisata atas biaya sendiri. Belum umum waktu itu. Iwan adalah perintis wisata murah gaya backpacker yang belakangan marak.

Salah satu tulisan Iwan ialah pengalaman menjelajahi 16 negara dengan bekal AS$355 dalam 6 bulan. Selama perjalanan ia pernah tidur di bawah kolong jembatan di Prancis. Juga menumpang kendaraan (liften). Ia berangkat tanggal 5 april 1968 dari Kemayoran naik JAL (Japan Air Lines) ke Singapura dengan ransel, empat setel pakaian, dan uang AS$57.

Saat itu AS$1 = S$3. Sayang tidak disebut dalam nilai rupiah. Semua pengeluaran dan nama orang-orang yang dijumpai dicatat dengan cermat. Juga cara Iwan bisa sampai ke tujuan. Rangkaian tulisannya dimuat tahun 1969.

Dalam perjalanan ia juga mencoba bekerja sambilan yang waktu itu tidaklah mudah. Di Jerman misalnya. Untung ada temannya yang menolong mencarikan pekerjaan lewat Hillfix dengan kartu mahasiwa pinjaman dengan nama berbeda.

Bekerjanya mulai pukul 7 pagi dan ia harus mengingat betul bahwa nama dan tanda tangannya berubah. Sepuluh persen gajinya harus diserahkan kepada Hillfix dan ia mendapat DM3,30 (Mark Jerman) setiap jam. Waktu itu AS$1 = DM3,99.

Iwan juga mampir di Afghanistan yang waktu itu masih banyak dikunjungi wisatawan dari Eropa. “Afghanistan yang tanahnya tandus dengan bantuan Russia berubah menjadi kebun jeruk, sayuran dsb.,” tulisnya.

Di Kabul uangnya tinggal AS$60 yang dipakai untuk sampai Belanda dan bekerja sebagai pelayan hotel untuk mengumpulkan uang bekal pulang.

Dari Tanjung Pinang ia naik kapal. Namun sampai Surabaya uangnya betul-betul ludes. Biarpun beberapa awak kapal memberinya Rp200 dan ada yang Rp50, namun itu tidak cukup untuk membeli karcis pulang sehingga ia menginap di Stasiun Semut. Untung ada tentara yang membantu membeli- kan karcis ABRI setengah harga.  (Majalah Intisari Edisi Khusus 50 Tahun, September 2013)