Sekelumit Kisah Hidup dalam Selembar Batik Cirebon

Ade Sulaeman

Penulis

Sekelumit Kisah Hidup dalam Selembar Batik Cirebon

Intisari-Online.com - Cirebon, utamanya di Desa Trusmi, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, adalah salah satu sentra batik ternama. Menyusuri jalan aspal sempit desa itu, yang terlihat adalah bangunan mewah para pedagang batik.

Harga selembar kain di situ dari puluhan ribu hingga belasan juta rupiah. Ada proses panjang dan rumit untuk menghasilkan selembar kain batik yang lebih tepat dimasukkan sebagai karya seni.

Hesti (28) menggoyang-goyangkan canting berisi malam (lilin) pada selembar kain bermotif batik di dalam ruangan Sanggar Batik Katura di Desa Trusmi, Kecamatan Plered. Pada Sabtu (7/12/2013) siang yang panas itu, sesekali ia melepas tawa bersama rekannya yang juga melakukan hal sama.

”Di Malaysia bahasanya gampang, lihat saja itu (film) Upin dan Ipin. Yang bahasanya susah itu kalau di Hongkong,” kata Hesti. Ia seperti hendak menerangkan soal sejumlah peluang kerja selain membatik.

Perbincangan lepas, yang kerap bergonta-ganti topik, menjadi hal biasa dalam ruangan itu. Deretan canting tergantung di salah satu sisi dinding.

Selembar kertas bertuliskan agar para pebatik tidak lupa menaruh canting pada tempatnya ditempel pada salah satu sisi tembok. Sinar matahari menyeruak dari sedikit bagian atap.

Sehari-hari Hesti bekerja dari pukul 08.00 hingga 16.00 di dalam Ruang Tembok. Dalam ruangan itu, ia bersama sejumlah rekannya melakukan pekerjaan menembok, bagian dari pekerjaan membatik menutup pola yang bakal dibiarkan berwarna putih dengan menggunakan malam.

Bayarannya per minggu sekitar Rp 200.000, yang dibayarkan setiap hari Sabtu. Sementara pekerja laki-laki dibayar sekitar Rp 350.000 per minggu karena beban kerja yang dinilai lebih berat.

”Kesulitannya paling jika lilinnya mbleber (tumpah ke mana-mana). Tapi, itu bisa dibetulkan,” kata Hesti.

Sebelumnya, Hesti hanya melakukan aktivitas sehari-harinya di rumah. Setelah dua bulan belajar cara menembok, ia pun mulai ikut dalam proses produksi.

”Dari kecil, ya, membatik,” kata Hesti tentang kemampuannya membatik.

Tak jauh dari tempatnya bekerja, Rosa (30) tengah mengerjakan hal sama. Sebelumnya Rosa adalah seorang ibu rumah tangga sebelum memutuskan jadi salah satu perajin batik. ”Enak, di sini banyak temannya,” kata Rosa.

Sehari-hari Rosa tinggal bersama mertuanya. Anaknya, Firgi, baru berusia tiga tahun. Sementara suaminya, Anto (35), bekerja sebagai perajin mebel.

Sehari-hari ia datang dari Desa Wadali, sekitar dua kilometer dari Trusmi. ”Seharian ada di sini, kadang makan juga di sini karena disediakan makan,” katanya.

Selain orang-orang seperti Hesti dan Rosa yang melakukan proses menembok, ada pula perajin yang melakukan proses isen-isen atau mengisi gambar pelengkap ornamen utama pada batik.

Proses yang demikian panjang, sebelum akhirnya proses nglorod, yakni penghilangan malam (lilin) dengan air mendidih.

Sebelum di-lorod, masih ada tahapan lain pekerjaan, yakni pengecekan ulang atau pengendali mutu produk, semacam quality control. Untuk tugas ini, Mugiono (43), yang sudah berpengalaman sekitar 12 tahun, menjadi pekerja satu-satunya. Ia baru sekitar satu tahun bekerja di sanggar itu.

Kontrol kualitas

Berbekal kompor kecil dengan wajan berisi air mendidih, batang bambu berujung kain, batang besi, dan soda as, Mugiono menyisir dengan teliti setiap bagian kain. Ia bertugas memperbaiki kekurangan-kekurangan pada kain itu.

Jejak-jejak lilin yang mbleber, menjadi incarannya. Untuk memperbaiki satu atau dua tetes jejak lilin yang tumpah ke mana-mana itu, ia butuh waktu sekitar 1 jam. ”Pernah sampai 50 tetes,” kata Mugiono.

Hari itu Mugiono memeriksa batik motif pesisiran dengan gambar burung dan flora di atas kain ukuran 2,4 meter x 1 meter. Hingga tengah hari itu, sudah ada 10 tetes lilin ditemukannya dan diperbaiki.

Potongan-potongan kecil kertas pembungkus rokok keretek ditempelkan dekat hasil perbaikan itu. ”Agar diisi (isen-isen) lagi oleh orang lain,” kata Mugiono. Jika sudah selesai dan siap dipasarkan, ia memperkirakan harga jualnya ada pada kisaran Rp 15 juta.

Proses pemeriksaan kualitas dan perbaikan itu merupakan yang paling menuntut ketelitian dan ketelatenan. Pasalnya, inilah proses yang akan menentukan bagaimana kualitas akhir selembar kain batik.

Kualitas itu akan sepadan dengan harga jual yang ditawarkan. Sebab, kain batik bukanlah sekadar produk kerajinan. Ia adalah karya seni yang layak dihargai.... (Rini Kustiasih dan Ingki Rinaldi / KOMPAS Cetak)