Find Us On Social Media :

Blusak-blusuk Kampung Kotagede Pakai Onthel

By Agus Surono, Sabtu, 4 Januari 2014 | 14:00 WIB

Blusak-blusuk Kampung Kotagede Pakai Onthel

Intisari-Online.com - Pada masanya Yogyakarta pernah dikenal sebagai kota sepeda. Belakangan, melalui gerakan Segosegawe (sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe – sepeda untuk pergi ke sekolah dan bekerja), predikat kota sepeda itu ingin diraih kembali. Namun, ada gerakan lain yang coba memadukan sepeda dengan pariwisata. Susur sepeda!

Salah satu susur sepeda yang ada di Yogyakarta adalah menyusuri lorong-lorong di wilayah Kotagede dan tilik desa ke Imogiri. Sepeda yang digunakan untuk susur sepeda ini adalah sepeda onthel. Menggowes onthel sedikit berbeda dengan sepeda-sepeda masa kini. Selain rangkanya yang terbuat dari besi sehingga berat, onthel kebanyakan hanya dipersenjatai dengan satu gir di belakang. Alhasil, kalau bertemu dengan jalan menanjak harus mengeluarkan tenaga ekstra. Sedangkan bentuknya yang kokoh dan berat membuat perlu adaptasi yang cukup untuk melakukan manuver menggunakan sepeda ini.

Kotagede dipilih menjadi lokasi susur sepeda sebab menyajikan banyak pemandangan dan pengalaman yang berkesan. Di Kotagede kita bisa menyaksikan kehidupan di balik dinding-dinding yang tinggi, lorong-lorong sempit, dan hiruk pikuk pasar. Terlebih kota ini merupakan ibukota Kerajaan Mataram Islam di bawah pimpinan Panembahan Senopati.

Sisa-sisa bangunan kota kerajaan Islam masih dapat kita rasakan dengan mengunjungi beberapa situs budaya. Misalnya Komplek petilasan Kerajaan Mataram, makam Panembahan Senopati, makam para kerabat Raja (Hastorenggo), padepokan, Sendang Selirang, Watu Gilang (tempat duduk Panembahan Senopati yang terbuat dari batu hitam), serta Watu Gatheng (tiga batu berwarna kuning berbentuk bola yang menurut legenda merupakan alat permaianan Raden Ronggo, putra Panembahan Senopati).

Tak hanya peninggalan Kerajaan Mataram Islam yang memikat. Semasa jayanya kerajinan perak, Kotagede juga meninggalkan bangunan menarik lainnya. Rumah Kalang misalnya. Banyak aristektur bangunan bercorak khas Kotagede ditemui di sini. Meski gempa tahun 2006 meluluhlantakkan sebagian bangunan, beberapa bangunan masih menampakkan sosok aslinya. Menyusuri lorong-lorong Kotagede seperti kembali mengagumi masa lalu.

Beberapa operator langsung melakukan gowes dari dalam wilayah Kotagede. Namun ada juga yang menjadikan Kotagede sebagai “terminalnya”. Berawal dari Alun-alun Kidul misalnya. Lebih banyak pemandangan yang bisa dilihat dan merasakan enaknya naik onthel. Gaya bersepeda onthel adalah gaya aristokrat dengan punggung lurus dan dada membusung. Amat berbeda dengan sepeda sekarang yang kebanyakan sepeda gunung harus membungkuk.

Melalui jalan pinggiran kota, gowesan berakhir di Kotagede dan langsung masuk ke gang-gang atau lorong sempit kampung Kotagede. Seusai gowes, jangan lupa menikmati jajanan khas Kotagede. Salah satu jajanan tradisional yang terkenal adalah kipo. Sangat dianjurkan wisatawan mau terlibat langsung bersama pembuat jajanan itu.

Berkunjung ke pembuat kerajinan perak juga menjadi nilai lebih susur sepeda ini. Pengunjung bisa bertanya soal merawat perak. Atau bagaimana cara membuat sebuah kerajinan perak. Jika Anda memakai perhiasan perak dan ingin dibersihkan, jangan khawatir. Pegawai rumah perak tadi akan dengan senang hati membersihkan perak Anda. Bahkan Anda diperbolehkan melihat dari dekat proses itu. Tak ada ongkos buat pembersihan itu.

Mau yang lebih menantang agar adrenalin meningkat? Cobalah susur sepeda di malam hari melewati tempat-tempat yang disakralkan di Kotagede. Mungkin tidak semenakutkan kalau gowes sendiri. Namun, aura mistis tetap saja menyelimuti malam. Saya sempat merasakan saat gowes malam (nite ride) di daerah Gunung Sindur yang melintasi pemakaman. Bahkan ada yang merasa dikuntit penggowes tapi pas dipanggil-panggil tidak menyahut. Hanya saja, “wisata sakral” ini tidak bisa dilakukan setiap hari. Soalnya, tempat-tempat ziarah tersebut tidak setiap hari dibuka untuk umum.

Tilik Desa ke Imogiri

Imogiri merupakan wilayah di Bantul bagian timur. Terkenal dengan Makam Raja-raja Surakarta dan Yogyakarta, dulunya adalah wilayah Kasunanan Surakarta. Dari Kotagede berjarak sekitar 15 km. Desa dan susunan perumahan di sekitar makam mirip dengan Kotagede sehingga dikenal juga sebagai Kotagede kedua. Di seputar makam ada industri batik, kerajinan wayang, dan pembuatan keris. Jalur yang dilewati sudah beraspal mulus. Terkadang membelah persawahan yang menampilkan panorama yang indah manakala hamparan padi sudah mulai menguning.

Alkisah, Desa Imogiri dulu ditempati para pekerja yang mengerjakan pembuatan makam para raja. Nama kampung-kampung di seputaran makam diambil dari status atau jabatan para penghuninya. Beberapa kearifan lokal masih dipertahankan sampai sekarang.