Penulis
Intisari-Online.com - Di sisi timur Yogyakarta, berderet Pegunungan Seribu, yang merupakan deretan pegunungan kapur purba. Deretan ini membentang dari Gunung Kidul sampai ke Wonogiri dan Pacitan, naik turun berpunuk-punuk. Lembah dan bukit berlomba untuk memamerkan eloknya lapisan kapur purba.
Melihat dari kondisi batuannya, lapisan kapur Pegunungan Seribu berasal dari lapisan dasar laut yang terangkat, menjadi daratan jutaan tahun lalu. Kepurbaan ini menjadi unik, karena diam-diam lapisan kapurnya juga menjadi spon yang menyimpan air. Tak heran, di sekitar Pegunungan Seribu banyak sungai bawah tanah dan mata air. Salah satu bagian gunungnya, Bukit Nglanggeran, bahkan mempunyai 25 sumber air yang tak pernah kering ketika kemarau!
Tak hanya tentara Jepang yang betah tinggal di Bukit Nglanggeran. Kijang, kera, dan burung-burung pun menjadikan Bukit Nglanggeran menjadi tempat hidup. Ketika berlimpah air tawar bersih, apa lagi yang perlu dikuatirkan? Memasuki gerbang bukit saja sudah terdengar pekikan alap-alap, lantas bagaimana di atas nanti? Akan berjumpa dengan apalagi?
Pertama, berjumpa dengan medan yang berliku. Tampaknya mudah, namun perlu kecermatan tinggi. Di Bukit Nglanggeran, banyak cekukan yang berbelok tajam yang terbentuk karena gerusan air hujan yang berabad-abad. Melompat dengan hati-hati adalah cara melintas yang baik. Untuk menghindari dari tiupan angin bersembunyi di cerukan. Sudah ada jalan setapak yang disiapkan oleh pengelola ekowisata ini. Kala dirasa medan kurang menantang, masih ada tebing merayap dan batu cadas sebesar kerbau yang harus dilewati.
Cerukan inilah yang menjadi andalan Tentara Jepang ketika berperang. Mereka sembunyi di cerukan, mengintai, dan menghabisi musuhnya. Juga menjadi tempat yang baik untuk istirahat dengan aman. Beberapa cerukan berbau pesing. Ini pertanda bukan hanya manusia saja yang bersembunyi di cerukan.
Hewan liar sekitar Bukit Nglanggeran pun akrab dengan tempat persembunyian ini. Ada kijang, musang, kera dan jika beruntung tembakkan kamera di langit atau di atas pohon. Ada banyak burung bersliweran. Yang paling gagah tentu saja alap-alap. Jalan berbatu semakin naik menuju atas bukit. Jalur yang menantang penggemar petualangan. Di sisi bukit yang curam, beberapa kera liar terlihat berlompatan mencericau.
Perjumpaan kedua dengan Gunung Merapi di utara bukit. Dengan syarat cuaca cerah. Dari sini terlihat pucuk Merapi yang terpotong. Ada cerukan baru yang terjadi pasca-erupsi November 2010 lalu. Bukit Nglanggeran diperkirakan lebih tua dari Gunung Merapi, namun tidak aktif lagi alias mati. Ya, Bukit Nglanggeran ialah gunung api purba mati.
Tak hanya Gunung Merapi, seluruh Kota Yogyakarta pun akan tampak dari bukit. Jika sedikit ingin bermain dengan fotografi cahaya lampu kota, sunset adalah waktu yang tepat untuk bereksperimen. Langit biru, belum terlalu gelap, berbatas dengan lampu rumah, gedung, dan jalan yang mulai dinyalakan. Sebaliknya ketika pagi, Candi Prambanan dan Candi Boko akan tampak dari punggung bukit. Pucuknya tampak samar-samar ditelan kabut.
Legenda Bukit Nglanggeran adalah perjumpaan yang ketiga. Bukit Nglanggeran konon merupakan tempat menghukum warga desa yang ceroboh merusak wayang. Asal kata 'nglanggeran' adalah 'nglanggar' yang artinya melanggar. Ratusan tahun lalu, penduduk desa mengundang seorang dalang untuk pesta syukuran hasil panen. Akan tetapi para warga ceroboh, merusak wayang si dalang. Ki dalang murka dan mengutuk warga jadi sosok wayang dan dibuang ke Bukit Nglanggeran.
Menariknya, di sisi utara Bukit Nglanggeran ada bukit, bernama Bukit Wayang. Apakah bukit itu yang dijadikan bukit pembuangan? Entahlah. Ada jalan aspal kecil berkelak-kelok memisahkan Bukit Nglanggeran dan Bukit Wayang. Pada malam tertentu, banyak warga yang datang kedua bukit ini untuk semedi. Suasana tenang dan dekat dengan alam membuat tempat ini jadi favorit untuk menyepi. Perayaan 1 Suro dan Bersih Desa Nglanggeran juga dilaksanakan di bukit ini.
Dulunya Bukit Nglanggeran hanya ramai dikunjungi warga sekitar saja. Berkat promosi dari mulut ke mulut, namanya mulai dikenal di kalangan para pecinta alam dan penyuka jalan kaki. Tiap akhir pekan, banyak pelajar dan wisatawan dari kota berkemah. Ada juga yang menyewa pendopo untuk istirahat.
Warga sekitar bukit pun sudah mengorganisir dirinya untuk menyambut wisatawan yang datang. Memasuki pendopo, yang juga merupakan pintu masuk, akan disajikan segenap informasi mengenai alam Nglanggeran. Ada juga warung makan, murah meriah, yang semuanya digerakkan oleh warga sekitarnya. Pemandu warga lokal pun siap untuk menemani sampai ke puncak.
Menuju Bukit Nglanggeran
Letak Bukit Nglanggeran tak jauh dari Kota Yogyakarta. Naik kendaraan menuju ke arah jalan Piyungan, naik ke Pathuk. Ketika menemukan perempatan Piyungan, belok ke kiri, lalu terus menembus dataran pohon kakao dengan jalan naik turun. Hijau pepohonan amat menyenangkan!
Beberapa menit berjalan, akan tampak menara televisi berjejeran, berwarna kemerahan. Kontras dengan tanah yang coklat dan langit yang biru. Warga lokal menamakannya Bukit Teletubbies, karena kontur bukitnya mirip bukit pada film anak-anak Teletubbies. Dari sana, sesekali bukit Nglanggeran sudah tampak, namun akan hilang tertutup bukit-bukit dan jalanan yang naik turun.
Sesampainya di Puskesmas Patuk II atau Puskesmas Tawang, ada jalan aspal berbelok ke kanan. Ikuti saja. Dari jauh kemegahan Bukit Nglanggeran dengan batu-batu raksasanya sudah tampak. Ketika melihat sebuah pendopo, maka di situlah pintu masuk ke bukit. Lalu, siapkan bekal untuk menjelajah gunung purba.
Jadi, tunggu apalagi! Segera cicipi medan Bukit Nglanggeran. (Danu/Where To Go Joglosemar)