Find Us On Social Media :

Menjelajah Pulo Aceh

By Agus Surono, Sabtu, 8 Februari 2014 | 14:00 WIB

Menjelajah Pulo Aceh

Intisari-Online.com - Mungkin orang hanya kenal Sabang atau Pulau Weh sebagai tujuan wisata di Aceh. Wilayah ini memang relatif aman di tengah kecamuk perang di Propinsi Nagroe Aceh Darussalam. Namun, tak ada salahnya melirik sedikit ke gugusan pulau yang letaknya tak jauh dari Pulau Weh. Di sana kita akan menikmati sensasi yang tak kalah asyiknya.

Gugusan pulau yang masuk wilayah Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, ini memiliki luas sekitar 240,75 km2. Ada lima buah pulau kecil di sini: Pulau Nasi, Pulau Breueh (Pulau Beras), Pulau Bunta, Pulau Batee, dan Pulau Kresik. Kecamatan Pulo Aceh berbatasan langsung dengan Selat Malaka di sebelah Utara dan Samudra Indonesia di sebelah barat, timur, dan selatan. Bentang alamnya yang bergunung-gunung dan berhutan lebat merupakan salah satu sisi menarik untuk dikunjungi.

Bertolak dari Dermaga Uleelheu di pinggiran Banda Aceh, perjalanan laut segera dimulai. Perahu kecil bermesin tempel dengan muatan sekitar dua puluh orang berhimpitan itu memberikan sensasi tersendiri di tengah anyirnya aroma ikan. Beberapa pulau kecil tak berpenghuni sempat terlampaui sebelum akhirnya boat kayu itu mendarat dengan mulus di dermaga Desa Deudap, Pulau Nasi. Perjalanan itu memakan waktu tak lebih dari satu setengah jam.

Makam tanpa nisan

Walaupun badan terasa gerah, saya bertahan untuk menunda mandi. Sebab, pesan dari beberapa orang yang pernah berkunjung ke pulau ini sangat jelas berbunyi, kalau tak ingin terkena malaria syaratnya jangan mandi pada hari pertama kita datang dan jangan minum air kelapa! Nah ... gampang-gampang susah.

Esoknya kami singgah ke desa tetangga, Alue Riyeung, untuk mengintip sebuah makam kuno yang cukup kondang di kalangan masyarakat setempat. Makam ini memang cukup menarik, sayang sepasang nisannya, yang tentu juga indah, raib entah ke mana.

Badan makam terbuat dari batu alam berpahatkan motif tradisional, antara lain motif geometris dan sulur-suluran. Bagian atas dipenuhi relief-relief kaligrafi Arab yang rumitnya cukup lumayan sehingga kami pun harus bersusah payah untuk bisa membacanya.

Objek ini dikenal dengan sebutan Makam Raja Kandang. Tepat di sebelah timur makam terdapat batu bentukan yang dipercayai sebagai pijakan sang tokoh saat akan menunggang kuda. Ihwal hilangnya kedua nisan, beredar banyak versi yang pada intinya menuding pihak pemerintah kolonial Belanda (yang berkuasa di Aceh pada saat itu) sebagai biang keroknya.

Raja Kandang sendiri masih tidak jelas identitasnya. Sebagian sumber menyebutkan ia utusan Sultan Iskndar Muda, penguasa Kerajaan Aceh Darussalam (1607 - 1636 M) untuk mengelola pulau ini sebagai gudang bahan pangan yang akan mendukung penyediaan bahan pangan di ibukota kerajaan.

Sebaliknya, sumber lain justru berpendapat bahwa Raja Kandang adalah tokoh yang disingkirkan dari pemerintahan dan dibuang ke pulau ini untuk menghambat pergerakannya. Lain pihak meyakini bahwa beliau adalah pelarian dari Kerajaan Melayu Deli setelah penyerangan Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam.

Sore harinya kami tiba di Desa Pasi Janeng. Setelah sejenak melepas rasa penat dengan menyantap mi dan segelas es sambil menikmati suasana laut, kami menuju sebuah meunasah (surau) tua. Kami tertarik pada sebuah pelampung kapal berukuran besar, berbentuk bulat yang digantung pada sebatang pohon besar di halaman meunasah. Pelampung ini merupakan salah satu jejak keberadaan bangsa asing di pulau ini. Sebelumnya penduduk Desa Rabo pernah pula menemukan sebuah guci berisi beberapa keping mata uang Spanyol.

Rencana semula kami mengejar waktu agar bisa menyeberang ke Pulau Breueh pada hari itu juga. Namun, angin kencang dan persiapan yang kurang memadai membuat kami mengurungkan niat itu. Lagipula dari Pasi Janeng ternyata tidak ada perahu yang membuka trayek menyeberang ke Pulau Breueh. Kami memutuskan untuk menginap semalam di Pasi Janeng, desa penghasil ikan asin yang sangat lezat itu, sambil mencari perahu untuk menyeberangkan kami ke P. Breueh. Akhirnya kami memperoleh perahu juga meski harus merogoh kocek Rp 125.000,-. Lumayan mahal untuk jarak yang menurut kami dekat itu.