Find Us On Social Media :

Ke Tanah Api di Bawah Lubang Ozon

By Agus Surono, Minggu, 16 Maret 2014 | 08:00 WIB

Ke Tanah Api di Bawah Lubang Ozon

Intisari-Online.com - Ada dua sahabat yang kelak jadi musuh besar. "Aku akan mencarinya ke mana pun, bahkan sampai ke Tanah Api," demikian tekad yang merasa dikhianati. Begitulah samar-samar episode kisah petualangan Old Shatterhand dan Winnetou sang ketua suku Apache karya Dr. Karl May,

Tanah Api. Di manakah gerangan? Mengapa dinamakan begitu? Jawabannya baru tuntas 40 tahun kemudian ketika saya menginjak dan tinggal beberapa hari di sudut Bumi yang dijuluki End of the World. Tierra del Fuego. Chile.

Saat itu, awal 1980-an, saya studi di Italia. Di negeri empat musim, perkuliahan libur selama musim panas yang bisa lebih dari tiga bulan. Biasanya saya isi dengan belajar bahasa, berkunjung ke suatu tempat, berkenalan dengan bangsa dan budaya baru. Saya menjadwalkan ke Petagonia, gerbang ke Tanah Api. Impian yang baru terwujud lebih dari 20 tahun kemudian.

Perjalanan menuju pulau di ujung terselatan Benua Amerika itu diawali dari Santiago, ibukota Chile. Bentuk negeri berbahasa Spanyol ini amat khas, memanjang sekitar 4.190 km dari utara ke selatan, diapit Samudra Pasifik di Barat dan Pegunungan Andes di Timur. Iklim dan geografinya amat kontras. Di utara, perbatasan Peru, ada wilayah terkering di dunia namun berlangit tercerah di Bumi: Gurun Atacama, yang termashyur dengan dua observatorium astronomi terbaik sejagatnya.

Di tengah negeri ini terbentang alam tanah perkebunan subur, pantai cantik di bibir samudra, dan peluncuran ski salju di pegunungan. Bagian selatan dihiasi danau biru memukau, hutan perawan lebat dilatarbelakangi Pegunungan Andes yang berpuncak salju. Padang salju Patagonia dengan glacier (sungai es) ribuan tahun yang beringsut mengalir, membentang hingga perbatasan Antartika di Kutub Selatan.

Karena ingin menikmati penuh keindahan alam Chile, saya sengaja memilih perjalanan darat menuju Tierra del Fuego. Saya ambil paket wisata lima hari, Pachamama by Bus dari Santiago ke Puerto Montt. Ada dua jalur yang bisa dipilih: utara atau selatan. Jalur utara bermula di Santiago sampai perbatasan Peru atau sebaliknya. Jalur selatan dari Santiago hingga perbatasan Patagonia atau sebaliknya.

Berhubung lebih suka pemandangan indah berwarna-warni ceria, saya pilih jalur selatan yang disebut Lake District Route. Sebenarnya, menurut yang pernah ikut, jalur utara tak kalah indah dan menarik. Gurun Atacama, misalnya, menghidangkan bukit-bukit pasir yang tiada henti digempur angin sehingga sering berubah-ubah. Jadi, meski warna pasir gersangnya sama, bentang alamnya tak pernah sama.

Api unggun siang-malam

Perjalanan dari tengah ke selatan, daerah tersubur di Chile ini melewati danau-danau berair hijau biru susu dari salju mencair yang mengalir lewat sungai-sungai berhulu di kaki Andes. Lalu alam pelan-pelan berubah keabu-abuan dengan putih dominan. Inilah Patagonia. Wahana kami berganti ke feri barang yang diubah jadi feri penumpang, menyusuri fyord, teluk dari lelehan tumpukan es yang amat tebal dan berat. Menakjubkan sekaligus misterius. Pelayaran berakhir di Puerto Natales.

Masih satu perjalanan lagi sampai akhirnya terlihat samar-samar Tanah Api di kejauhan. Saya naik bus umum ke Punta Arenas, kota yang hanya dipisahkan selat sempit dari Tanah Api di seberangnya, yang konon persis berada di bawah lubang ozon Kutub Selatan.

Cara termudah sebenarnya naik feri dari Punta Arenas menyeberangi Selat Magellan ke Porvenir. Sayangnya saya telat menyadari bahwa feri itu justru libur tiap Senin, hari yang justru saya jadwalkan. Karena khawatir telat balik ke Santiago untuk penerbangan yang telah dipastikan, saya terpaksa kembali dengan bus. Kali itu lewat Manantiales dan turun di luar Desa Cerro Sombrero. Akhirnya saya menjejak wilayah yang telah lama mengisi ruang fantasi saya: Tanah Api!

Angin dingin amat kencang segera menerpa wajah begitu saya turun dari bus. Walau telah berbalut pullover tebal dan jumpsuit dari bulu alpaca, sejenis llama (keluarga onta), bersyal, kaos kaki dan tangan wol, saya menggigil juga. Angin dingin membekukan dari wilayah perbatasan kutub itu bertiup sepanjang hari tak terputus. Saya sempat berpikir, Tanah Api ini mungkin lebih cocok dinamai Tierra del Viento (Tanah Angin) saja! Mengapa sampai dinamai Tanah Api?