Find Us On Social Media :

Mangkunegaran dan Keteguhan Seorang Sambernyawa

By Agus Surono, Rabu, 23 April 2014 | 17:00 WIB

Mangkunegaran dan Keteguhan Seorang Sambernyawa

Intisari-Online.com - Sebagai perwujudan dari Pangeran Sambernyawa yang sudah digembleng kerasnya kehidupan sejak kecil membuat Puro Mangkunegaran kokoh bertahan di tengah arus modernisasi. Dibandingkan dengan Kasunanan (Keraton Solo), Pura Mangkunegaran lebih terbuka. Ada banyak yang bisa dilihat dan juga dirasakan.

Pagi sudah menghangat, tapi pintu gerbang Pura Mangkunegaran masih ditutup. Sambil menunggu saya melihat sekeliling. Juga melongok ke dalam, ke halaman pendopo yang sunyi. Tak seberapa lama pengunjung diperbolehkan masuk. Ternyata pintu masuk ke Puro Mangkunegaran tidak melalui pintu gerbangnya, tetapi bangunan yang ada di sebelah kanan pintu gerbang.

Istana Mangkunegaran berdiri sejak tahun 1757. Awalnya belum ada pendapa. Baru pada pemerintahan Mangkunegara IV dibangun pendapa pada tahun 1866. Angka ini tertera pada lambang yang ada di pendopo. Coraknya mengadopsi gaya Jawa dan Eropa.

Cikal bakal Mangkunegaran adalah Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga. Dua tahun sebelumnya, wilayah Mataram dibagi dua menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta melalui Perjanjian Giyanti oleh VOC.

Raden Mas Said yang bergelar Pangeran Sambernyawa terus memberontak terhadap VOC, dan atas dukungan Sunan mendirikan kerajaan sendiri. Kekuasaannya di sebelah barat tepiang Sungai Pepe.

Ditemani Dodi, abdi dalem yang baru setahun bekerja, saya menyusuri halaman menuju pendopo Pura Mangkunegaran yang resik. "Itu dari Berlin," kata Dodi menunjuk empat patung singa keemasan yang berada di sisi kiri dan kanan undakan yang menuju ke pendapa. Pandangan mata keempat singa itu tersebar ke berbagai arah. Dimaksudkan sebagai penjaga keamanan.

Sebelum menginjak pendopo, alas kaki harus dilepas. "Masukkan ke tas plastik ini Mas," Dodi ternyata sudah menyiapkan kantung plastik buat sendal yang saya pakai.

Pendopo berwujud joglo yang dinamakan Pendapa Ageng itu dulu digunakan untuk tempat menghadap Pangeran. Dulu untuk menghadap orang harus jalan jongkok. Lantai pendopo yang memiliki luas 3.270 m2 itu mengilat menunjukkan bahwa dipelihara dengan telaten.

Di sebelah kiri ada dua perangkat gamelan, Kyai Kanyut Mesem dan duplikatnya. Kyai Kanyut Mesem yang sudah berusia 300-an tahun hanya digunakan pada saat-saat tertentu, seperti hari penobatan Pangeran. Sedangkan duplikatnya digunakan untuk latihan.

Atap pendopo disokong oleh empat pilar kayu jati yang berasal dari satu pohon. Tingginya sekitar 11,5 m. Kayu jati diambil dari hutan Donoloyo di daerah Wonogiri. Di langit-langit terdapat lukisan batik (kumudawati) yang menggambarkan nyala api dengan warna berbeda-beda di tengah-tengahnya.

Nyala api itu menunjukkan semangat. Sedangkan warna yang ada di tengah-tengah dimaksudkan untuk melawan hal-hal negatif yang melingkupi kehidupan manusia. Warna kuning untuk menghindari rasa kantuk, warna biru menghalau penyakit dan bencana alam, warna hitam menahan lapar, warna putih menahan nafsu, pink melawan rasa takut, merah menghalau roh halus, dan ungu mengenyahkan pikiran-pikiran jahat.

Beberapa lampu tergantung di atap pendopo yang dalam pembangunannya tidak menggunakan paku.