Pulau Tidung sebagai Titik Temu Bangsa Pelaut

Moh Habib Asyhad

Penulis

Pulau Tidung sebagai Titik Temu Bangsa Pelaut

Intisari-Online.com -Berbicara Kepulauan Seribu, saat ini, rasanya tidak bisa untuk tidak membicarakan Pulau Tidung, pulau yang menjadi salah satu magnet Kepulauan Seribu. Selain sebagai tempat penghijauan dan konservasi terumbu karang, banyak orang menganggap Pulau Tidung sebagai titik temu bangsa pelaut.Oleh karena itu, Pulau Tidung tentu saja juga sebagai titik temu budaya-budaya yang dibawa oleh para pelaut itu.Arsyad, kepada Kompas banyak bercerita tengang riwayat Pulau Tidung. “Kalau tidak ada Wak Turu, dua pulau Tidung ini sudah terpisah jauh karena kawanan bajak laut itu terus berusaha menjauhkan dua pulau tersebut,” tutur pria yang mengaku keturunan seorang pelaut asal Mandar, Sulawesi Barat.Dulu, berdasar kisah kakek berusia 60 tahun itu, segerombolan bajak laut ingin memisahkan dua pulau Tidung. Tapi upaya itu berhasil digagalkan oleh Wak Turu atau juga dikenal sebagai Panglima Hitam, legenda Tidung. Selain Panglima Hitam, ada sosok lain yang dianggap sebagai pelindung Pulau Tidung, yaitu Raja Pandita yang juga dikenal sebagai Raja Tidung XIII yang berasal dari Kalimantan. Konon, Raja Pandita-lah yang mula-mula memberi nama pulau itu Tidung. “Tidung itu artinya terlindung, yang melindungi,” tambah Arsyad.Wak Turu dan Raja Pandita, oleh warga Tidung, dianggap sebagai awal Pulau Tidung. Keturunan mereka bercampur dengan para pendatang—umumnya para pelaut—dari Mandar, Bugis, Betawi, Banten, Madura, dan Jawa. Mereka berkolaborasi membentuk masyarakat Tidung sekarang.Dialek khas“Di Pulau Tidung, kami berbaut satu sama lain. Bahasa pun bercampur, tetapi yang utama tetap bahasa Indonesia,” kata Erik, 47, seorang warga Tidung yang mengaku berkakek asal Bone, Sulawesi Selatan.Percampuran budaya di Pulau Tidung sudah berlangsung ratusan tahun sehingga praktis sangat sedikit sisa-sisa keasliannya. Kebanyakan orang Tidung menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek khas “Orang Pulo”. Tak jarang mereka menyampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah tertentu.“Kekeselan. Istirahat dulu!” salah satu contohnya."Kekeselan", tak lain dan tidak bukan adalah kosa kata bahasa Jawa. Meski berada di wilayah DKI Jakarta, cukup sulit menemukan warga lokal yang menggunakan kata-kata seperti “gue” dan “elu”. Mereka lebih banyak menggunakan “aku” dan “kamu”.“Namanya aja bahasa pulo. Tidak ada kata-kata yang khusus, sepeti bahasa Indonesia saja. Dialeknya sedikit berbeda dengan dialek Jakarta pada umumnya,” tutur Mashub Hamid, Lurah Tidung.