Find Us On Social Media :

Menemukan Makna Kerja

By Rusman Nurjaman, Minggu, 5 Agustus 2012 | 15:00 WIB

Menemukan Makna Kerja

Intisari-Online.com - Orang harus kerja, tidak kerja tidak makan. Dalam ungkapan itu tersirat anggapan orang ramai perihal kerja. Bekerja atau berkarya pertama-tama sebagai keharusan mencari nafkah. Cari nafkah atau cari kerja dalam omongan sehari-hari artinya kurang lebih sama. Mempunyai pekerjaan dan tidak menganggur memungkinkan kita makan, berpakaian, berumah, dan bisa membiayai aneka kebutuhan hidup. 

Namun menurut Romo Mangun (alm.), dalam Ragawidya: Religiositas Hal-hal Sehari-hari, ada juga sebagian yang melihat kerja bukan sebagai anugerah atau kewajiban yang wajar. Anggapan semacam ini memang agak samar-samar. Tapi tercermin dari sikap dan pandangan orang terhadap kerja dan karyawan. Menurut anggapan ini orang yang paling ideal atau sesuai dengan kemuliaan ialah justru bukan pekerja. Segala yang agung justru di atas segala yang dikerjakan karyawan. Bahkan dalam bahasa resmi dan sehari-hari pun sebutan pekerja atau karyawan hanya dipakai bagi kalangan lapisan rendah. Keunggulan manusia lapisan atas dianggap, justru karena mereka sudah mengatasi dan tidak membutuhkan kerja. Kerja hanya bagi mereka yang masih rendah derajatnya.

Penafsiran terhadap kerja semacam itu datang dari suatu masa ketika sistem perbudakan masih bercokol di muka bumi. Singkatnya dari suatu zaman yang menistakan martabat manusia sendiri. Kini, tulis Romo Mangun, bekerja justru merupakan suatu kehormatan, bukan dianggap ciri wong cilik atau miskin. Sebaliknya, mengganggur semakin dirasakan sebagai hina dan memalukan. Tidak hanya dalam arti tak bisa mencari nafkah, tetapi juga dalam arti harga diri. Penganggur merasa hina sebagai manusia. Bisa dianggap kepincangan sosial.

Dari situ tumbuh kesadaran melihat kerja sebagai suatu dorongan dan hasrat dari kodrat manusia itu sendiri. Artinya, bekerja membuat kehidupan seseorang semakin utuh, semakin menusiawi. Kerja juga membuat perkembangan diri kian matang dan dewasa. Kerja menjadikan seseorang berbudaya dan berkepribadian.

Bukan binatang, bukan mesin

Kerja memang selalu mempunyai tantangan sendiri. Seringkali kerja selalu serba susah payah, penuh pergulatan, dan kadang kekecewaan. Tetapi toh kerja adalah sumber kepuasan dan kebahagiaan.

Kendati begitu, kata Romo Mangun, sifat kerja kita seharusnya juga bukan serba “membanting tulang demi sesuap nasi belaka”. Atau bahkan lebih buruk lagi dilakukan melalui “adu kuat, siapa paling keras memukul, dialah yang menang” (survival of the fittest). Bekerja layaknya mesin atau binatang seperti itu bukanlah yang dikehendaki Tuhan. Tetapi kita bekerja agar kita dapat mengaktualisasikan segenap potensi yang kita miliki. Atau dalam kata-kata Romo Mangun, “agar kita memenuhi sebanyak mungkin harapan yang telah terbenihkan di dalam potensi dan bakat kita masing-masing”. Tujuan kesejahteraan masyarakat pun tercapai, dan ikut andil memajukan yang lebih harmonis.

Begitu pula kiranya yang disabdakan orang-orang bijak zaman dahulu macam Socrates, Konfusius, Siddharta, Jesus, Muhammad, bahkan Tolstoy atau Heidegger dan Iqbal di abad 20. Keterangan lebih rinci bisa Anda tengok dalam berbagai risalah yang mereka bawa atau yang mereka tulis.

Kerja dan ketulusan

Jalannya memang tak selalu mulus. Kesulitan kadang menghadang. Di sinilah kerja juga membutuhkan pengorbanan. Kita harus siap menghadapai kekecewaan dengan penerimaan yang ikhlas. Lagi pula kita harus bekerja sama dengan sekian banyak orang yang tidak selalu sepaham. Di satu sisi ada risiko yang harus ditanggung, tetapi di sisi lain ada kemungkinan kita tak mendapat penghargaan. Bahkan, karya kita pun bisa saja gagal. Tapi itulah justru yang manusiawi. Kegagalan sangat mungkin menjadi sumber pelajaran dan rahmat.

Kerja yang cerdas

Namun demikian, kerja kita juga harus manusiawi dalam pengertian yang lain. Menurut Romo Mangun, sisi manusiawi dalam bekerja juga tercermin dalam perencanaan dan perhitungan yang cermat dan cerdas. Untuk itu perlu memperhatikan beberapa hal berikut:

  1. Melibatkan akal pikiran
  2. Perasaan intuitif
  3. Penuh perhitungan
  4. Dasar-dasar pengalaman orang lain
  5. Nasihat orang bijak dan kaum cerdik pandai
  6. Tidak lekas berpuas diri
  7. Kritis dan berani ambil resiko

Jadi, tidak hanya kerja keras, melainkan juga butuh kerja yang lebih cerdas. Sebuah pekerjaan bakal lebih efektif jika berpijak dari pengalaman masa lampau. Kemudian dipadukan dengan cita-cita hari depan. Tentu saja dengan memperhitungkan kenyataan riil hari ini. Singkatnya, sebuah pekerjaan membutuhkan visi atau arah yang jelas dan realistis.

Selamat menemukan makna kerja!