Find Us On Social Media :

SPG: Si Ujung Tombak Penjualan (2)

By Nur Resti Agtadwimawanti, Sabtu, 1 September 2012 | 15:00 WIB

SPG: Si Ujung Tombak Penjualan (2)

Intisari-Online.com - Memang betul, untuk menjadi sales promotion girl (SPG) salah satu syaratnya adalah penampilan fisik yang oke. Kalau tidak oke, bagaimana calon pembeli bisa tertarik mendekati stan? Itu pula yang dikatakan Lala, salah seorang SPG.

Tak bermaksud mengeksploitasi, toh perempuan dianugerahi fisik indah sedemikian rupa bisa menarik perhatian orang lain. “Kalau kriteria memang sudah ada. Misalnya tinggi minimal atau penampilan tertentu,” ujar Lala. Beberapa perusahaan yang ingin menggunakan jasa SPG pun kadang hanya melihat penampilan fisik si SPG.

Namun, ada pula perusahaan yang betul-betul menjaga kualitas. Misalnya, di samping penampilan fisik yang menarik, calon SPG juga harus lulus tes ujian dari perusahaan tersebut. Lagi-lagi, itu relatif. Semakin bagus perusahaannya, tentu akan semakin selektif.

Meskipun berpenampilan menarik seperti menjadi sebuah keniscayaan, toh seorang SPG pun harus bisa ramah, pintar berbicara, berkepribadian baik, dan menguasai produk yang ditawarkan. Intinya, semua kelengkapan itu mau tak mau harus dimiliki SPG.

Terkait dengan itu, seorang SPG memang harus komunikatif. Mana boleh SPG hanya berpenampilan menarik, tapi tak pandai berkomunikasi dengan calon pembeli. Alih-alih mendekat, calon pembeli bisa kebingungan dan menjauh. Kemampuan inilah yang menjadi kelebihan bagi kaum hawa. Menurut Lala, perempuan lebih mumpuni dan luwes dalam menjelaskan produk ketimbang laki-laki. Meskipun, ada pula laki-laki yang mahir “bercakap-cakap”.

Tampilan fisik tadi, entah mengapa kebanyakan orang yang terjun ke dunia pemasaran - terutama penjualan langsung di stan - adalah perempuan. Kembali lagi, kodrat perempuan yang diciptakan “lebih indah” ketimbang laki-laki bisa jadi salah satu alasannya. Seorang SPG lain, Emma, pun menanggapinya dengan enteng, “Karena siapa pun juga, baik laki-laki maupun perempuan lebih senang melihat perempuan di bandingkan laki-laki.”

Tantangan datang silih berganti

Ada orang yang menganggap pekerjaan sebagai SPG adalah pekerjaan yang ringan dan hanya modal “tampang”. Atau, sekedar bercuap-cuap. Salah! Tak ada pekerjaan yang ringan. Semua punya konsekuensi, termasuk menjadi SPG. Target-target yang ditentukan si empunya klien kadang menjadi beban tersendiri bagi SPG. Untuk itu, Lala mengaku dirinya lebih sering menerima tawaran kerja sebagai SPG yang hanya bertugas menawarkan. Target penjualan menjadi urusan sales kliennya itu.

Bila SPG ikut dituntut untuk memenuhi target penjualan, yang paling riskan adalah ketika harus bersaing dengan teman sendiri. Misalnya, ada empat orang yang diberi target penjualan. “Kadang ketika ada calon pembeli, kita bisa rebutan juga,” tutur Lala. Namun, Lala berprinsip, “Jangan sampai ‘bergesekan’ karena dalam dunia kerja yang penting adalah suasana kerja.”

Nah, dari semua itu, mungkin inilah yang paling identik dengan SPG. “Susahnya karena capek harus selalu berdiri dan aktif berbicara,” ujar Lala. Benar juga. Para SPG itu harus terus berdiri di depan stan mereka sepanjang shift. Padahal, satu shift bisa 6 hingga 9 jam! Belum lagi kalau harus long-shift - kisaran 11 jam - seperti di pameran-pameran. Kaki bisa pegal tentunya, ditambah dengan sepatu dengan hak tinggi yang dipakainya.

Meskipun menjadi SPG itu tak mudah, bila sudah menjadi pilihan seharusnya bisa dijalani dengan senang hati. Seperti kata Emma, “Menjadi SPG ini memang kemauan sendiri. Kalau dibawa fun pasti tidak terasa berat.”

Beban citra negatif

Tak dimungkiri, pekerjaan sebagai SPG tak henti dari pandangan negatif. Citra ini, menurut Lala, terbangun karena umumnya SPG difungsikan sebagai “pemanis” stan. “SPG 'kan pakai baju-baju yang menarik atau eye-catching. Mungkin dari sana awalnya,” paparnya. Kostum yang kadang minim, yang dipadupadankan dengan wajah ayu, tentu bisa menggoda kaum Adam.

Malahan, tambah Lala, kadang mereka itu sengaja datang dan bertanya sekadar iseng. Padahal ya, tidak berniat membeli. Ujung-ujungnya, mereka hanya ingin minta nomor telepon si SPG. Lala pun mengaku pernah mengalaminya. Lala menanggapinya justru dengan memberikan nomor telepon sales kliennya itu. Bahkan, menurut Lala, ada orang yang ke pameran sengaja membawa kamera hanya untuk berburu foto SPG.

Lala dan Emma paham betul dengan lingkungan kerja yang seperti itu. Mereka pun semakin tahu, mana calon pembeli yang serius dan mana yang tidak. Bila ada calon pembeli yang iseng, mereka tidak akan intens melayaninya. Pernah pula, Lala diajak makan oleh konsumennya dengan tendensius yang negatif. Rasa kesal pasti ada. Tapi, lagi-lagi, Lala dan Emma harus memakluminya karena itulah risiko pekerjaan mereka.

Dengan adanya beberapa pandangan negatif terhadap pekerjaan SPG, Lala dan Emma berharap bahwa itu tak akan terjadi lagi. Juga, tak memandang sebelah mata pada pekerjaan ini. Seperti kata Emma, “People always judging from the cover, not what is in the inside.”