Find Us On Social Media :

Belajar Wirausaha, Kenapa Tidak?

By Agus Surono, Jumat, 12 Oktober 2012 | 15:40 WIB

Belajar Wirausaha, Kenapa Tidak?

Intisari-Online.com - Menjadi wirausahawan memang butuh keberanian. Setidaknya berani gagal. Kegagalan toh suatu keberhasilan juga. Selain keberhasilan yang tertunda, juga keberhasilan mencoba.

Dengan berpikir positif dan belajar dari kesalahan, wirausaha bukan lagi momok menakutkan. Kepekaan melihat peluang, merebut, lalu menekuninya, merupakan proses menuju kematangan. Bagi seorang wirausahawan, pengalaman menjadi bekal menghadapi hal paling buruk sekalipun.

Namun, sebelum benar-benar terjun ke dunia bisnis, ada baiknya membekali diri dengan semacam "ilmu", yang dapat diperoleh dari kursus atau pelatihan singkat dari berbagai institusi. Tiga yang dipaparkan di sini - dari sejumlah institusi lain - dipilih setidaknya karena telah melahirkan sejumlah wirausahawan muda yang pada taraf tertentu dapat dibilang berhasil. Asah kecerdasan

Salah satu lembaga pendidikan kewirausahaan yang mulai berkibar adalah Jakarta Entrepreneurship University (JEU). Lembaga ini merupakan pelebaran sayap dari Yogyakarta Entrepreneur University (YEU), yang didirikan pada 1998 dan meraih animo cukup besar Kota Gudeg. Dari sukses itu, awal 2000 Purdi E. Chandra, S.E., M.B.A., Presiden Direktur Grup Primagama, membuka lagi lembaga pendidikan serupa di Jakarta, JEU.

Meski menyandang sebutan universitas, lembaga pendidikan ini tak menerapkan kurikulum baku bagi siswa. Mereka menerima pelajaran di kelas seminggu sekali. Harinya pun ditentukan mendadak. Jika besok ada kelas, peserta diberi tahu hari ini. Jadi, peserta dikondisikan berada dalam situasi yang serba tak pasti dan berubah mendadak. Itulah kondisi yang akan mereka temui setelah terjun menjadi wirausahawan kelak. Sang pengajar atau bintang tamu pengusaha sukses hanya mempresentasikan kesuksesan bisnisnya.

Lalu, sharing dan diskusi dilakukan. Jadi, sifatnya pencerahan wawasan dan penanaman motivasi.

Ada lima penekanan yang dilakukan dalam kegiatan belajar yang dijalani siswa. Pertama, mengasah kecerdasan emosional, yakni memotivasi siswa agar berani memulai usaha. Kedua, mengasah kecerdasan adversity, agar siswa dapat membedakan antara aset dan reliability. Ketiga, mengasah kecerdasan finansial, yakni merangsang siswa dari tak punya uang hingga bisa mendapatkan uang. Keempat, mengasah kecerdasan spiritual, melatih siswa agar punya kesabaran lebih, terutama dalam menghadapi karyawan dan kegagalan usaha. Kelima, mempertajam kreativitas dan intuisi, sehingga siswa dapat melihat peluang, dan memandang risiko sebagai tantangan.

Agus Setiawan, S.E., Kepala Urusan Enterprenersip JEU, menjelaskan, belakangan tim pengajar diambil dari alumnus JEU. Itu karena sebagian besar peserta adalah karyawan yang ingin pindah kuadran ke dunia usaha, sehingga tenaga pengajarnya pun diusahakan memiliki latar belakang serupa.

Sarjana Ekonomi lepasan Universitas Diponegoro Semarang itu mengimbuhi, kursus berlangsung seminggu sekali selama tiga bulan. Dalam satu angkatan, biasanya satu atau dua orang, boleh bayar semampunya. Namun, ia tetap harus berusaha keras mendapatkan uang, berapa pun jumlahnya. Itulah latihan pertama sebelum benar-benar terjun ke dunia bisnis.

Dari 400 peserta didik JEU, sekitar 60%-nya karyawan yang ingin pindah kuadran. Meski ada juga lulusan baru perguruan tinggi, pensiunan, ibu rumah tangga, karyawan PHK, bahkan lulusan SMU yang masih menganggur. "Kelompok yang disebut terakhir itu yang lebih gampang diajari, karena masih nekat," tambah bujangan 26 tahun asal Magelang itu.

Cakupan pelajarannya 40% teori dan 60% praktik. Usai pelajaran, biasanya siswa didorong agar besoknya sudah mencari lokasi untuk memulai usaha. Ada juga siswa yang "gatal", baru empat kali ikut pertemuan sudah langsung praktik.

Uniknya, siswa baru diwisuda jika sudah berhasil buka usaha, atau berhasil mengembangkan omset perusahaannya, atau berhasil membuka bisnis baru jika sudah punya usaha yang cukup maju.