Belajar Wirausaha, Kenapa Tidak?

Agus Surono

Penulis

Belajar Wirausaha, Kenapa Tidak?

Intisari-Online.com - Menjadi wirausahawan memang butuh keberanian. Setidaknya berani gagal. Kegagalan toh suatu keberhasilan juga. Selain keberhasilan yang tertunda, juga keberhasilan mencoba.

Dengan berpikir positif dan belajar dari kesalahan, wirausaha bukan lagi momok menakutkan. Kepekaan melihat peluang, merebut, lalu menekuninya, merupakan proses menuju kematangan. Bagi seorang wirausahawan, pengalaman menjadi bekal menghadapi hal paling buruk sekalipun.

Namun, sebelum benar-benar terjun ke dunia bisnis, ada baiknya membekali diri dengan semacam "ilmu", yang dapat diperoleh dari kursus atau pelatihan singkat dari berbagai institusi. Tiga yang dipaparkan di sini - dari sejumlah institusi lain - dipilih setidaknya karena telah melahirkan sejumlah wirausahawan muda yang pada taraf tertentu dapat dibilang berhasil. Asah kecerdasan

Salah satu lembaga pendidikan kewirausahaan yang mulai berkibar adalah Jakarta Entrepreneurship University (JEU). Lembaga ini merupakan pelebaran sayap dari Yogyakarta Entrepreneur University (YEU), yang didirikan pada 1998 dan meraih animo cukup besar Kota Gudeg. Dari sukses itu, awal 2000 Purdi E. Chandra, S.E., M.B.A., Presiden Direktur Grup Primagama, membuka lagi lembaga pendidikan serupa di Jakarta, JEU.

Meski menyandang sebutan universitas, lembaga pendidikan ini tak menerapkan kurikulum baku bagi siswa. Mereka menerima pelajaran di kelas seminggu sekali. Harinya pun ditentukan mendadak. Jika besok ada kelas, peserta diberi tahu hari ini. Jadi, peserta dikondisikan berada dalam situasi yang serba tak pasti dan berubah mendadak. Itulah kondisi yang akan mereka temui setelah terjun menjadi wirausahawan kelak. Sang pengajar atau bintang tamu pengusaha sukses hanya mempresentasikan kesuksesan bisnisnya.

Lalu, sharing dan diskusi dilakukan. Jadi, sifatnya pencerahan wawasan dan penanaman motivasi.

Ada lima penekanan yang dilakukan dalam kegiatan belajar yang dijalani siswa. Pertama, mengasah kecerdasan emosional, yakni memotivasi siswa agar berani memulai usaha. Kedua, mengasah kecerdasan adversity, agar siswa dapat membedakan antara aset dan reliability. Ketiga, mengasah kecerdasan finansial, yakni merangsang siswa dari tak punya uang hingga bisa mendapatkan uang. Keempat, mengasah kecerdasan spiritual, melatih siswa agar punya kesabaran lebih, terutama dalam menghadapi karyawan dan kegagalan usaha. Kelima, mempertajam kreativitas dan intuisi, sehingga siswa dapat melihat peluang, dan memandang risiko sebagai tantangan.

Agus Setiawan, S.E., Kepala Urusan Enterprenersip JEU, menjelaskan, belakangan tim pengajar diambil dari alumnus JEU. Itu karena sebagian besar peserta adalah karyawan yang ingin pindah kuadran ke dunia usaha, sehingga tenaga pengajarnya pun diusahakan memiliki latar belakang serupa.

Sarjana Ekonomi lepasan Universitas Diponegoro Semarang itu mengimbuhi, kursus berlangsung seminggu sekali selama tiga bulan. Dalam satu angkatan, biasanya satu atau dua orang, boleh bayar semampunya. Namun, ia tetap harus berusaha keras mendapatkan uang, berapa pun jumlahnya. Itulah latihan pertama sebelum benar-benar terjun ke dunia bisnis.

Dari 400 peserta didik JEU, sekitar 60%-nya karyawan yang ingin pindah kuadran. Meski ada juga lulusan baru perguruan tinggi, pensiunan, ibu rumah tangga, karyawan PHK, bahkan lulusan SMU yang masih menganggur. "Kelompok yang disebut terakhir itu yang lebih gampang diajari, karena masih nekat," tambah bujangan 26 tahun asal Magelang itu.

Cakupan pelajarannya 40% teori dan 60% praktik. Usai pelajaran, biasanya siswa didorong agar besoknya sudah mencari lokasi untuk memulai usaha. Ada juga siswa yang "gatal", baru empat kali ikut pertemuan sudah langsung praktik.

Uniknya, siswa baru diwisuda jika sudah berhasil buka usaha, atau berhasil mengembangkan omset perusahaannya, atau berhasil membuka bisnis baru jika sudah punya usaha yang cukup maju.

Bagaimana jika usaha barunya itu diadang kendala? Dibuka kelas mentoring (pembimbingan) yang dapat diikuti seumur hidup. Gratis lagi. Mentoring seperti itu merupakan bagian terpenting dalam pendidikan di sini. Sedangkan bagi yang sudah berhasil, kelas pembimbingan dimanfaatkan untuk membangunkan kembali motivasi.

Jika ada yang bangkrut, teman lain akan membantu. Caranya, jika ia punya ide baru, yang lain boleh ikut berinvestasi. Dalam usaha patungan, trust (kepercayaan) menjadi hal utama yang harus dijaga. Bermodal keterampilan

Berbeda dengan YEU dan JEU, yang membangun dan mengembangkan mental bisnis siswanya, maka Lembaga Pendidikan Ketrampilan dan Kewiraswastaan (LPKK) De Mono lebih menekankan pada pembekalan keterampilan.

Ada tiga kelompok besar keterampilan yang ditransfer ke siswa. Antara lain katering, menjahit, dan sekretaris. Kelas katering tampaknya paling menonjol baik dari segi peminat maupun keberhasilan out-put-nya.

Materi pembekalan untuk kelas katering meliputi manajemen katering, membuat masakan dalam dan luar negeri, garnish (menghias kue), macam-macam kue, dan sanitasi kesehatan yang diberikan langsung oleh Departemen Kesehatan (Depkes).

Kursus yang berlangsung empat bulan - tiga bulan teori dan satu bulan praktik. Biaya dapat dicicil. Pesertanya tak dibatasi secara ketat. Lulusan SMU, bisa. Ibu rumah tangga, tidak ditampik. Pria yang ingin bekerja menjadi koki di kapal, diterima pula. Pemilik usaha katering yang ingin mengantungi sertifikat Depkes, OK juga.

Kelas berikut yang banyak dipilih adalah kelas menjahit, dari tingkat dasar hingga mahir. Lama kursus empat bulan dengan sebulan penuh praktik. Peserta mesti membawa sendiri segala bahan dan perlengkapan. Selain lulusan SMU, pesertanya banyak pula yang sudah memiliki usaha garmen atau butik tapi ingin mempunyai sertifikat.

Tak kalah populer adalah kelas sekretaris. Pendidikan yang ini berlangsung setiap hari pukul 18.00 – 21.00. Lama kursusnya empat bulan. Namun, dua bulan berikutnya diisi pelajaran tambahan komputer, gala dinner, table manner, dan public relations. Para alumni ini, selain mendapat ijazah D-1, juga dilengkapi sertifikat dari Martha Tilaar, Hotel Indonesia, dan Sari Ayu.

Sama seperti lulusan JEU, alumnus LPKK De Mono pun tidak langsung terjun bebas selepas belajar. Mereka terus dipantau oleh De Mono, bahkan yang gagal pun akan segera "ditangani" oleh Dewi Motik sendiri selaku pimpinan De Mono. Biasanya, ia akan terus-menerus dimotivasi agar berani mencoba lagi. Cepat dan murah

Bila ingin pendidikan lebih singkat lagi, berguru di Pusat Peningkatan Keterampilan LPM Unika Atma Jaya bisa menjadi salah satu alternatif. Di sini, peserta mendapat pelatihan membangun motivasi berwirausaha, kreativitas dan kewirausahaan, manajemen pemasaran, manajemen keuangan, dan business plan. Tenaga pengajar direkrut dari kalangan akademisi, konsultan bisnis, dan praktisi bisnis berpengalaman dan diakui kepakarannya. Proses belajar tidak hanya berlangsung di dalam kelas, melainkan juga outbound dan experiential learning.

Walau pelatihan hanya berlangsung enam hari, banyak manfaat dapat diserap, berupa bekal dan keterampilan berwirausaha, serta akses networking dengan berbagai entitas bisnis untuk membangun dan mengembangkan usaha. Bahkan, usai pelatihan pun ada program konsultasi, gratis, biasanya tentang business plan dan pembuatan proposal.

Bagi mereka yang telah memiliki usaha biasanya dikenakan biaya konsultasi maksimal Rp 2 juta, termasuk biaya mengikuti pelatihan atau seminar. Biaya itu dialokasikan untuk mengundang pakar dari instansi lain. Selesai pelatihan, "alumnus" diwadahi dalam Asosiasi Inkubator Bisnis Indonesia antarkampus.

Kini, pilihan ada di tangan Anda. Yang penting, pilihan itu sesuai dengan keinginan dan potensi Anda.