Penulis
Intisari-Online.com - Sikap pimpinan yang “aneh” berbuah ketidakpuasan atau bahkan kekecewaannya pada karyawan. Contoh, pimpinan yang cenderung “saklek” dan kaku. Segala hal dinilai sebagai transaksi, sehingga harus jelas “transaksi”-nya. Tidak mau mengerjakan pekerjaan yang bukan tanggungjawabnya; tidak mau memberikan sesuatu pada karyawan jika memang di luar haknya. Itulah gambaran karakter pimpinan yang saklek. Komunikasi dengan stafnya juga cenderung kaku. Singkatnya, “Saya kasih Anda sesuatu, Anda bisa kasih saya apa?”. Anda telah bekerja dengan baik, tapi si bos tidak memberikan penghargaan yang sepantasnya. Padahal, apa pun selalu diperhitungkan oleh pimpinan. Akibatnya, karyawan pun malas untuk memberi lebih.
Tipe pimpinan yang transaksional ini memang agak sulit bersikap adil. Penilaian dan perhitungannya juga kadang kurang jelas. Pekerjaan dengan reward besar itu pekerjaan yang banyak tapi buruk atau pekerjaan yang sedikit tapi baik hasilnya? “Nah, ini yang nantinya akan menimbulkan konflik di antara sesama karyawan,” timpal Elis. Ujung-ujungnya, yang tidak kuat menghadapi konflik tersebut akan resign, sementara yang kuat akan bertahan.
Faktor ketidakpuasan kerja yang dipicu tingkah laku atasan ini tentunya membuat karyawan menderita frustasi, bahkan stres. Tak heran, pilihan berhenti kerja pun menjadi tampak masuk akal. Betapapun dilematisnya pilihan ini. Toh di tempat baru pun dia belum tentu menemukan tempat kerja yang diidamkannya.
Tetapi jika terlanjur bertemu dengan atasan “bertingkah”, benarkah berhenti kerja jalan keluarnya?
Bukan menyerah, tapi bersikaplah
Anthony Dio Martin, direktur Human Resources (HR) Excellence, Jakarta, mengutarakan, berhenti kerja tidak selalu menjadi solusi yang baik. Jika langkah ini diambil, orang tersebut berarti sedang bertaruh dengan hidupnya. Suatu pilihan yang berisiko, bukan?!
Sebaliknya, Martin justru menyarankan beberapa langkah antisipatif untuk menyikapi masalah ini. Penyikapannya bertolak dari beberapa kata kunci berikut.
Kendati begitu, Martin mafhum jika orang tetap memilih keluar. “Sebenarnya karyawan tidak meninggalkan perusahaan, tapi ia meninggalkan bos-nya,” kata Martin.