Find Us On Social Media :

Menyikapi Tingkah Aneh Si Bos (2): 7 Saran

By Rusman Nurjaman, Senin, 3 Desember 2012 | 11:15 WIB

Menyikapi Tingkah Aneh Si Bos (2): 7 Saran

Intisari-Online.com - Sikap pimpinan yang “aneh” berbuah ketidakpuasan atau bahkan kekecewaannya pada karyawan. Contoh, pimpinan yang cenderung “saklek” dan kaku. Segala hal dinilai sebagai transaksi, sehingga harus jelas “transaksi”-nya. Tidak mau mengerjakan pekerjaan yang bukan tanggungjawabnya; tidak mau memberikan sesuatu pada karyawan jika memang di luar haknya. Itulah gambaran karakter pimpinan yang saklek. Komunikasi dengan stafnya juga cenderung kaku. Singkatnya, “Saya kasih Anda sesuatu, Anda bisa kasih saya apa?”. Anda telah bekerja dengan baik, tapi si bos tidak memberikan penghargaan yang sepantasnya. Padahal, apa pun selalu diperhitungkan oleh pimpinan. Akibatnya, karyawan pun malas untuk memberi lebih.

Tipe pimpinan yang transaksional ini memang agak sulit bersikap adil. Penilaian dan perhitungannya juga kadang kurang jelas. Pekerjaan dengan reward besar itu pekerjaan yang banyak tapi buruk atau pekerjaan yang sedikit tapi baik hasilnya? “Nah, ini yang nantinya akan menimbulkan konflik di antara sesama karyawan,” timpal Elis. Ujung-ujungnya, yang tidak kuat menghadapi konflik tersebut akan resign, sementara yang kuat akan bertahan.

Faktor ketidakpuasan kerja yang dipicu tingkah laku atasan ini tentunya membuat karyawan menderita frustasi, bahkan stres. Tak heran, pilihan berhenti kerja pun menjadi tampak masuk akal. Betapapun dilematisnya pilihan ini. Toh di tempat baru pun dia belum tentu menemukan tempat kerja yang diidamkannya.

Tetapi jika terlanjur bertemu dengan atasan “bertingkah”, benarkah berhenti kerja jalan keluarnya?

Bukan menyerah, tapi bersikaplah

Anthony Dio Martin, direktur Human Resources (HR) Excellence, Jakarta, mengutarakan, berhenti kerja tidak selalu menjadi solusi yang baik. Jika langkah ini diambil, orang tersebut berarti sedang bertaruh dengan hidupnya. Suatu pilihan yang berisiko, bukan?!

Sebaliknya, Martin justru menyarankan beberapa langkah antisipatif untuk menyikapi masalah ini. Penyikapannya bertolak dari beberapa kata kunci berikut.

  1. Pertama, aware. Karyawan harus sabar dan berusaha mengenali dan memahami tipe sang bos.
  2. Kedua, behaviour, yaitu berusaha mengenali secara baik-baik perilaku atasan selama ini.
  3. Ketiga, consequent. Maksudnya, kita bisa membicarakan hasil hubungan kerja yang sudah terjalin. Dari sini, kita bisa mengetahui seberapa besar “tabungan emosi” antara kita dengan atasan. Tabungan emosi ini melekat dalam kedekatan atau hal-hal baik yang kita peroleh dari atasan.
  4. Keempat, desire. Jika terus bermasalah, kita harus bisa menentukan kemauan kita sendiri agar tidak larut dalam “konflik” berkepanjangan.
  5. Kelima, engage. Kita harus berani menentukan langkah kita: “Mau lanjut atau tidak?” Dalam hal ini, ketika kita memutuskan pergi, artinya kita pun bisa “memecat” sang bos.
  6. Keenam, find way out. Untuk menemukan jalan keluar kita bisa mencari bantuan dari orang yang lebih tahu (misal: konsultan karier), atau dari literatur.
  7. Ketujuh, going for the plan, menentukan apa yang bisa dilakukan di masa depan.

Panduan ini, kata Martin, memungkinkan kita bisa menganalisis masalah secara lebih jernih. Akhirnya, kita bisa memutuskan sendiri apa yang terbaik buat kita ke depan.

Kendati begitu, Martin mafhum jika orang tetap memilih keluar. “Sebenarnya karyawan tidak meninggalkan perusahaan, tapi ia meninggalkan bos-nya,” kata Martin.