Penulis
Intisari-Online.com -Lantas. apa yang memicu terjadinya konflik antar rekan kerja? Biasanya masalah sepele. Leira Hevyta, Psi, staf profesional Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT-U1), menengarai, meliputi soal pekeriaan hingga hubungan pribadi atau relasi sosial sesama rekan kerja.Misal, janjian makan siang. Yang satu lupa dan telanjur membuat janji dengan orang lain. Memang ada orang yang bisa memaafkan, tapi ada juga yang tidak.Apalagi bila janji berulang kali diingkari, wajar bila si teman tak lagi percaya. Baru urusan makan saja tak bisa dipercaya, apalagi untuk urusan lain. Akibatnya terjadi konflik antara keduanya.Yang kerap terjadi, masalah saling curhat antar rekan kerja. Sudan dipesan agar di-keep sendiri, jangan diceritakan pada siapa-siapa. Tapi ternyata justru cerita itu cepat menyebar ke seIuruh pelosok kantor. Pastilah yang bersangkutan marah besar.Trouble-maker, menurut pengalaman psikolog yang bergabung dengan LPT-UI sejak lulus kuliah ini, hampir ada di setiap kantor. Perilaku seperti ini ada di berbagai jenis profesi. Misalnya, datang paling terlambat tapi pulang paling cepat, atau sering keluar kantor tanpa keterangan (biasanya untuk urusan pribadi).Menurut Leira, walau rekan kerja tak ada yang dirugikan atas tindakan indisipliner itu, tapi dari segi tanggung jawab mungkin ada pekerjaannya yang terpaksa molor, sehingga sangat mempengaruhi kerja tim bila alur kerja di unit itu seperti ban berjalan. Hal ini bahkan dapat berkembang menjadi pemicu konflik terbesar.Yang dikhawatirkan, kebiasaan indisipliner itu akan menjadi virus yang menulari karyawan lain. Tindak kontra produktif itu pun, jika tidak difollow-up pastilah jadi preseden buruk bagi yang lain.Apa mau mereka?Mereka yang sering berbuat ulah, selain memang sudah wataknya, artinya sosok kepribadiannya bermasalah, mungkin juga bermaksud memancing perhatian. Jika tujuannya MPO (Mancing Perhatian Orang) sikap berulah itu biasanya tidak konsisten ia tampilkan. Kadang ya kadang tidak.Setelah diselidiki, menurut pengalaman Leira Hevyta, Psi, staf profesional Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT-U1), misalnya ternyata lantaran bonus yang bersangkutan belum keluar. Atau hasil kerjanya yang terakhir dinilai jelek oleh pimpinan dan ia sakit hati.Kebetulan ia kurang asertif (terbuka), maka ketidakpuasannya ditampilkan lewat perilaku yang tidak ada kaitannya dengan hasil kerjanya itu. Pokoknya ia ingin membuat kesal si atasan."Bisa jadi ia bukan orang yang matang. Ia melebih-lebihkan perasaan negatif," komentar Leira.(Bersambung)--Tulisan ini dimuat di Majalah Intisari Edisi Maret 2008, ditulis oleh Dharnoto dengan judul asli Mengubah Polah Sang Pembuat Ulah".