Bertahan Hidup Ala Pelaku Industri Rekaman

Rusman Nurjaman

Penulis

Bertahan Hidup Ala Pelaku Industri Rekaman

Intisari-Online.com - Tak ingin terombang-ambing perubahan zaman, beberapa pelaku industri rekaman yang tersisa di Tanah Air memilih berbenah. Banyak di antara mereka yang kini tak lagi mengandalkan penjualan produk fisik atau RBT. Musica Studio’s, misalnya, sejak 2005 berubah bentuk dari perusahaan rekaman menjadi perusahaaan musik. Perusahaan rekaman lokal yang berdiri di tahun 1970-an ini melebarkan sayap dengan membuka divisi Artist Management dan Publishing.

Gumilang Ramadhan, Direktur Musica Studio's, menuturkan, dengan berubahnya visi Musica, maka dengan sendirinya pekerjaan yang ditangani menjadi lebih banyak dan (peluang) alur pemasukan juga menjadi beragam. “Sekarang kita fokus dan giat mempelajari sesuatu yang baru,” ujar Gumilang.

Hal yang sama ditempuh Warner. Label asing yang masuk ke Indonesia sejak tahun 1990-an ini ikut juga menangani manajemen artis. Selain rekaman dan menjual produk karya musik, mereka mengelola kegiatan artisnya, baik di panggung maupun di luar panggung. Jadi, bila artis tersebut akan mementaskan karyanya (show), labellah yang menanganinya. Sementara dulu pengelolaannya murni oleh pihak artis dan tim manajemennya.

Saat ini, Musica dan Warner juga masih menjalankan bisnis format RBT. Pilihan ini tak lepas dari kebiasaan mayoritas anak muda yang menjadi target pasarnya. Komunikasi di antara komunitas mereka umumnya menggunakan ponsel. Ini menjadi peluang bagus untuk menyalurkan produk sound recording, kata Gumilang.

Memperluas jalur promosi.

Jalur promosi pun diperluas. Caranya tentu berbeda dibanding dengan era analog. Dulu mereka hanya bekerja sama dengan media cetak dan elektronik. Kini, media promosinya diperluas lagi dengan memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Youtube. Karena itu, Warner selalu rajin memperbarui timeline-nya.

Cara-cara lama juga masih ditempuh: mengirimkan review ke media cetak atau memasang iklan di media yang menjadi rekanan. Ada juga kuis berhadiah DVD atau jumpa artis yang bersangkutan. Dengan begitu, mereka bisa ngobrol dengan penggemarnya dan foto bareng.

Selain itu, masih ada kerjasama dengan beberapa brand tertentu. Misalnya, produk makanan. Di sini, sang artis berperan sebagai brand ambassador-nya. Agar artisnya bisa manggung, dibuatlah suatu acara yang juga berhubungan dengan brand tersebut.

Pengamat musik Denny Sakrie menengarai berbagai upaya itu memang sudah semestinya dilakukan para pelaku industri rekaman. Dia melihat pelaku industri musik semakin meyakini satu hal: keterpurukan ini harus dihadapi dengan upaya alternatif. Toh di seluruh dunia, perubahan yang melanda industri rekaman ini relatif sama. Amerika Serikat sendiri tak luput dari masalah ini. Bahkan, di sana ada yang kembali ke piringan hitam. “Mungkin karena kesannya lebih ekslusif”, kata Denny. Sedangkan di negeri kita, kata Denny, ketimpangan hanya ada lantaran pembajakan dan kecenderungan orang lebih suka mengunduh gratisan.

Saat ini musik Indonesia memang sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Menurut Arie Legowo, Manajer Artis dan Repertoar WMI, mengatakan, agar industri musik tetap berjalan butuh dukungan semua penikmat musik di Indonesia. “Sebab, di balik semua pekerjaan kita ini ada banyak sekali orang yang menggantungkan hidupnya,” pungkas dia memberi alasan.