Kinyel-kinyel Kolang-kaling

K. Tatik Wardayati

Penulis

Kinyel-kinyel Kolang-kaling

Intisari-Online.com – Berbuka puasa tidak afdol kalau tidak menyantap kolak berisi pisang, ubi, dan kolang-kaling. Dari mana asal-muasal “buah” yang licin, putih mengkilat seperti kaca ini?

“Buah” yang sebenarnya biji itu terasa kinyel-kinyel kalau dikunyah di antara manisnya pisang dan ubi jalar. Tidak begitu jelas mengapa kolang-kaling begitu digemari, padahal nilai gizinya tidak begitu menggembirakan karena agak sulit dicerna. Mungkin hanya karena sifatnya yang kenyal saja, yang memberi sensasi kepada penyantapnya.

Buah dari pohon aren ini (Arenga pinnata) berupa buah yang berair tanpa dinding dalam yang keras. Bentuknya bulat dengan garis tengah 4 cm. Tiap buah berisi tiga biji, yang masing-masing bulat lonjong bentuknya. Kulitnya bukan main kerasnya sampai seperti batu. Tak salah kalau di Pasundan ia dipanggil buah batu.

Selain keras, buah batu ini juga masih banyak getahnya yang gatal, karena mengandung kristal oksalat. Kulit yang terkena (apalagi rongga mulut dan bibir) terasa terbakar, sampai bengkak. Penderitaannya bisa sampai tiga hari tiga malam, tapi cepat sembuh kalau diolesi minyak kelapa yang melumpuhkan kristal oksalat itu.

Justru buah gatal yang masih setengah matang inilah yang dipungut orang untuk diambil bijinya yang kita gemari sebagai kolang-kaling.

Untuk membuat kolang-kaling, buah yang tak begitu muda tapi juga belum tua benar itu dipanen seluruh tandannya. Lalu dibakar habis dengan api unggun dari sampah kebun. Dengan dibakar ini, daging buah gatal itu terkupas dan bahkan ada yang hangus, tinggal serpihan arang saja. Kulit bijinya juga hangus. Hanya inti biji yang tadinya terlindung oleh daging buah dan kulit biji saja yang masih utuh (atau setengah utuh). Inilah yang kemudian dikuliti lebih lanjut berikut daging buahnya, tanpa rasa gatal lagi.

Sesudah dicuci, biji yang menggumpal karena dipanaskan oleh pembakaran itu direndam dalam air kapur selama beberapa hari. Selain mengendapkan kotoran, air kapur ini juga memantapkan gumpalan koloidal biji itu lebih lanjut. Sesudah beberapa hari direndam, maka yang terapung di bagian atas adalah biji aren yang putih bersih, mengkilat keperak-perakan.

Apa yang disebut biji ini sebenarnya endosperma berupa proteina albumin yang mengelilingi benih. Ia diciptakan oleh-Nya sebagai bekal (persediaan) makanan bagi benih, calon kader generasi muda penerus aren. Kalau dipanaskan, ia menggumpal menjadi gel seperti gelatin yang kenyal.

Namun, kalau sudah menggumpal sulit dicerna. Hanya dengan asam kuat yang pekat saja ia bisa dipecah menjadi asam amino yang (memang) bermanfaat bagi tubuh kita. Hanya sayang, perut kita tidak mempunyai asam keras yang pekat. Jadi kolang-kaling untuk berbuka puasa itu sebagian besar juga keluar lagi melalui “pintu belakang” di “kutub selatan”. (Intisari)