Penulis
Intisari-Online.com - Namanya Melati (disamarkan), di usianya yang baru menginjak 20 tahun, ia sudah didiagnosis gangguan jiwa berat oleh psikiater. Namun, dia tampak tidak terbeban dengan diagnosis tersebut.
Penampilannya ceria, punya selera humor cukup baik, dan masih mampu bekerja. Berdasarkan kisah hidupnya, tampak jelas penyebab gangguan jiwanya.
Dibesarkan dalam keluarga penuh kekerasan sejak kecil, rupanya Melati tidak mampu menahan lagi gempuran-gempuran mental seperti itu.
Bagian kisah masa kecilnya ada yang signifikan mempengaruhi munculnya gangguan jiwanya. Sejak masih kanak-kanak, Melati sudah sering diajari berbohong oleh ibunya.
"Mulai dari hal-hal kecil, Bu. Misalnya saya disuruh bilang Mama sakit kalau ada yang cari. Kalau saya salah jawab, Mama marah. Saya dipukul. Dibentak-bentak. Katanya Mama malu punya anak kayak saya."
Mata Melati berkaca-kaca. Dia menerawang jauh. Kebohongan demi kebohongan terus diciptakan ibunya. Bahkan ibunya berbohong juga di mana Melati bersekolah karena ibunya malu dia hanya bisa sekolah yang menurut ibunya jelek.
Melati sekolah di SMP X, tapi ibunya menyuruh bilang kalau dia sekolah di SMP Y. Kepada siapapun. Kondisi ini berlangsung hingga dia berkuliah.
Melati tidak suka dengan kondisi itu tapi tidak berdaya. Jadi kalau ada orang yang bertanya di mana sekolahnya, Melati memilih diam saja, karena dia tidak mau salah jawab. Kalau salah, dia akan dipukuli ibunya. Biasanya ada ibunya yang selalu menjawab untuknya.
Lama kelamaan, Melati tidak betah. Kesehatan mentalnya terganggu. Namun dia masih beruntung. Lingkungan sosialnya bersikap positif. Teman-teman dan gurunya mendukungnya. Melati diberi perhatian, didukung, diberi kepercayaan, dan tidak pernah ditinggalkan. Gejala-gejalanya mulai berkurang. Tapi belum tuntas benar.
Sementara itu, ibunya tidak berubah. Masih tetap "senang" memukul dan mengajarinya berbohong. Mengajarinya hidup dalam dunia ideal yang diciptakan. Melati memutuskan tidak mau lagi mengikuti cara hidup ibunya.
Mengapa berbohong mengakibatkan gangguan jiwa?
Dalam kasus Melati, ibunya mengajak anaknya hidup dalam dunia tidak nyata. Dunia ideal yang diinginkan sang ibu. Padahal saat itu anak dalam masa pertumbuhan ego dan konsep diri. Selain itu anak juga dalam masa perkembangan tahapan moral.
Titik perkembangan kritis ini dilewatkan oleh orangtua dengan mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran norma sosial dan agama. Anak tidak dapat menyaring mana ajaran yang benar dan mana yang salah.
Namun seiring dengan usianya, dia mulai merasa tidak nyaman. Apalagi ketika anak mulai berinteraksi dengan teman-temannya, guru dan juga orang dewasa lainnya. Terjadi konflik atas apa yang diajarkan oleh orangtua dengan nilai-nilai yang ada di lingkungan.
Pemahaman atas kondisi yang sebenarnya mulai tumbuh dan mengakar, tapi lagi-lagi anak tidak berdaya. Dia masih tergantung pada orangtuanya. Kebutuhan rasa aman, kasih sayang, dan penerimaan dari orangtua mendominasi fase kehidupannya. Akibatnya kepribadian anak tidak stabil. Dia cemas. Takut. Tidak merasa aman di mana pun berada.
Sisi lain kepribadiannya tidak bisa menerima, akhirnya terbentuk mekanisme pertahanan. Terciptalah kepribadian lain. "Teman bayangan" ini yang tugasnya selalu mengingatkan tentang apa yang dikatakan orangtuanya, karena kepribadian aslinya berontak ingin menjadi diri sendiri, bukan diri ciptaan orang lain.
Secara fisik anak tetap tumbuh mengikuti usianya. Namun secara kepribadian, dia terperangkap dalam masa lalu. Pikirannya kacau, muncul halusinasi auditori (mendengar suara-suara), depresif, dan relasi sosial yang kurang baik. Sementara itu orangtua tidak berubah. Mungkin karena tidak merasa ada yang salah ya. Entahlah.
Apakah gangguan jiwa bisa disembuhkan? Tergantung pada banyak faktor. Tingkat keparahan gangguan, lamanya, kepatuhan minum obat dari psikiater (biasanya memang mereka memerlukan pengobatan), dan -paling penting- dukungan sosial (keluarga, teman, lingkungan kerja).
Semakin positif lingkungan sosialnya, maka akan mempercepat proses rehabilitasi mereka. Memindahkan mereka ke lingkungan baru diperlukan juga.
Klien saya yang lainnya, saya minta dia pindah dari rumah orangtuanya. Untuk mencegah "penularan" lebih parah. Proses penyimpangan berpikirnya sudah mulai mengganggu aktivitas hidupnya karena terkena "paparan" distorsi kognitif yang dilakukan orangtuanya.
Bila kondisi tersebut diteruskan, bukannya tidak mungkin anak itu akan meningkat keparahan gangguannya. Di sinilah dilema biasanya terjadi. Anak-anak yang seumur hidup tinggal bersama orangtuanya merasa bersalah dan seolah-olah menjelma menjadi anak durhaka bila meninggalkan orangtuanya.
Sedangkan orangtuanya berperilaku seolah-olah tidak berdaya tanpa anak-anaknya itu. Mereka akan berpura-pura sakit (malingering), mengiba-iba, bahkan marah meluap dengan kata-kata makian.
Anak akan merasa makin tidak berdaya untuk pergi dari rumah menuju lingkungan baru. Peran psikolog penting pada tahap ini.
--
Penulis: Psikolog Naftalia Kusumawardhani
Selengkapnya, klik di sini.
(kompas.com)