Penulis
Intisari-Online.com - Memiliki anak yang sehat, aktif, dan cerdas tentu menjadi dambaan semua orangtua. namun, tak semua harapan itu selalu terwujud. Tak sedikit orangtua dari Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang merasa mimpinya hancur. Menerima kenyataan menjadi kunci penanganan pertama anak berkebutuhan khusus.
Menurut psikolog Roslina Verauli M. Psi, dari perspektif klinis, anak berkebutuhan khusus biasanya disebut sebagai anak dengan tumbuh kembang yang abnormal. Disebut abnormal, lanjutnya, karena memiliki beberapa perbedaan dengan anak normal.
Pertama, dalam tumbuh kembangnya anak mengalami distress. Kedua, kondisi ini membuat anak terganggu kemampuan berfungsi dalam sehari-hari, antara lain bermain, belajar, dan bersosialisasi. Ketiga, anak berisiko untuk memiliki gangguan atau masalah yang lebih berat.
“Kalau tiga hal ini ada pada anak, berarti dia abnormal,” ujar Verauli. Dengan kondisi anak seperti tersebut di atas, tak heran banyak orangtua yang syok dan sulit menerima kenyataan. Apalagi, ciri-ciri ABK sebagian sudah terlihat sejak awal lahir.
“Anak orang lain sudah bisa senyum-senyum, dia belum bisa. Selanjutnya, anak seusianya sudah mulai bisa menalikan sepatu atau bicara, dia belum,” Verauli memberi contoh.
Menurutnya, bila anak biasa memiliki kurva normal rata-rata, ABK memiliki kurva normal di luar rata-rata. “Kalau dia kurvanya ekstrem kanan, tingkat kecerdasannya sangat tinggi, tapi jadi sering mengganggu orang lain atau teman-temannya yang sedang belajar di kelas, misalnya. Sedangkan kalau dia ekstrem kiri, tingkat kecerdasannya di bawah rata-rata,” jelas Verauli
Ia menambahkan, anak-anak berkebutuhan khusus biasanya juga disebut anak spesial. Sesuai namanya, maka kebutuhan, pola pengasuhan, dan pendidikannya juga spesial, karena kebutuhannya berbeda dari tumbuh kembang anak pada umumnya.
“Nah, yang paling pertama harus dilakukan orangtua adalah menerima kondisi anak apa adanya lebih dulu. Kalau belum bisa menerima, lebih baik konseling lebih dulu ke pakar,” tuturnya.
Konseling Keluarga
Verauli mengatakan, wajar bila pada awalnya perasaan orangtua hancur saat mengetahui anaknya termasuk anak spesial.
“Tapi perlu diingat, anak (berkebutuhan khusus) tidak butuh patah hati dan air mata kita. Yang dia butuhkan adalah penanganan. Jadi, terimalah kenyataan bahwa anak kita memang berbeda. Itu dulu yang penting. Lebih cepat kita bisa menerima, lebih cepat anak bisa ditangani dan kita lebih cepat tahu apa kebutuhannya. Lalu, ikuti urutan penanganannya,” tandas Verauli yang juga memiliki anak spesial.
Namun, lanjutnya, bukan hanya orangtua saja yang harus bisa menerima kondisi ABK. Anggota keluarga lainnya seperti kakak dan adiknya juga harus bisa menerima dan bersikap terbuka. Itu sebabnya, seluruh keluarga disarankan mengikuti konseling.
Setelah bisa menerima apa adanya, barulah melangkah ke tahap selanjutnya yaitu belanja pakar sebanyak-banyaknya.
Setelah menemukan pakar yang dirasa cocok, anak bisa menjalani terapi-terapi sesuai anjuran pakar. Verauli menyarankan untuk mencari pakar yang sesuai dengan tumbuh kembang anak.
Ia menambahkan, tak masalah bila orangtua terlambat mengetahui, yang penting segera menerima dan memberikan penanganan terbaik. Ini lebih baik daripada tidak memulai sama sekali.
Verauli mengingatkan, orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus juga harus banyak membaca hal-hal yang menyangkut kondisi anaknya. “Informasi di internet maupun media sosial juga banyak. Minimal, miliki satu media pengasuhan untuk dijadikan acuan,” tuturnya.
Tentu saja, imbuh Verauli, perlu pula berguru pada dokter anak di rumah sakit yang akan memantau anak secara medis.
“Jangan ragu untuk mendatangi klinik tumbuh kembang, agar kita tetap bisa memantau kualitas tumbuh kembang anak. Misalnya, kualitas gerakannya bagus atau tidak, ceroboh atau tidak, kualitas bicaranya memadai atau tidak untuk anak seusianya, dan sebagainya. Untuk mendapatkan penanganan medis terbaik, datang ke dokter,” tegasnya.
Biasanya, lanjut Verauli, ada dokter yang memang secara khusus menangani ABK dan memberikan pendekatan biomedik.
Ikuti Saran Pakar
Kedua, datang ke psikolog untuk penanganan serta evaluasi. Beberapa psikolog juga akan memberikan latihan-latihan perilaku. Ketiga, ke terapis. Ada beragam terapis, antara lain terapis okupasi, terapis sensori integrasi, terapis perilaku, dan terapis wicara. Jadi, penanganan anak harus komprehensif dan melibatkan para profesional.
Memang, tutur perempuan ramah ini, penanganan ABK membutuhkan biaya yang tidak murah karena selain biaya terapi dan sekolah, juga dibutuhkan biaya penanganan sehari-hari.
Ia juga mengingatkan anak wajib berkunjung secara berkala ke dokter anak dan psikolog. Selain untuk mendapatkan penanganan, juga sekaligus evaluasi untuk jangka pendek dan panjang.
Soal lamanya terapi, tergantung gangguan yang dialami dan seberapa berat gangguan itu. “Bila gangguannya berat, PR memang ekstra. Ada yang sekali dalam enam bulan, tiga bulan sekali, dan lainnya. Ikuti saja. Makin dini penanganan dilakukan, makin cepat hasilnya terlihat,” tandasnya. Selain hal-hal di atas, orangtua ABK juga perlu mengikuti seminar tentang pengasuhan anak, minimal setahun sekali.
Satu lagi, imbuhnya, bergabunglah dengan komunitas orangtua yang juga memiliki anak dengan gangguan yang sama, agar tidak merasa sendirian menghadapinya. Diakuinya, ada orangtua yang tega meninggalkan keluarganya atau bercerai dengan pasangan karena tak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya berkebutuhan khusus.
“Tidak apa-apa. Kalau dia pergi, berarti dia belum mampu menerima keadaan. Yang penting kita punya support system yang kuat dan banyak, yaitu orangtua, keluarga besar, teman, terutama teman-teman dengan anak yang sama. Yang jauh lebih penting adalah agama kita kuat. Kembalikan semuanya pada Tuhan, karena dari sanalah semua berasal,” terangnya.
Memilih Sekolah
Bisa jadi semua langkah ini melelahkan, baik fisik maupun psikis, belum lagi ditambah harus menghadapi perilaku anak itu sendiri. Bisa menerima dan memberikan penanganan sesuai kebutuhan anak agar kemampuannya bisa berkembang secara optimal dan mandiri, menurutnya, merupakan cara bersyukur atas anugerah Tuhan yang istimewa ini dalam keluarga.
“Yang penting, harus ekstra sabar. Makanya, orangtua sebaiknya rajin ikut konseling dan ikut komunitas. Sebab, ada masa-masa di mana orangtua tidak sanggup menghadapi masalah ini.”
Bila kita sudah tahu apa terapi dan bagaimana penanganannya, barulah bicara soal pendidikan, apakah anak akan dimasukkan ke sekolah umum, khusus, atau inklusi (dengan guru bayangan). Dosen psikologi di Universitas Tarumanegara ini mengingatkan, orangtua juga harus bersiap akan risiko bullying yang sering terjadi pada ABK.
ABK, imbuhnya, memang rentan mengalami bullying lantaran terlihat berbeda dari anak lain, bisa secara fisik, perilaku, kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi sosial, atau kecerdasan intelektualnya.
Itu sebabnya, bila ternyata anak mampu bersekolah di sekolah reguler, Verauli menyarankan untuk memilih sekolah reguler dengan proporsi perbandingan yang kecil antara jumlah guru dan siswa, sehingga anak selalu terpantau.
Misalnya, 1:20, artinya satu guru untuk 20 siswa. Kedua, orangtua juga harus memahami nilai-nilai yang ada dan dianut sekolah yang dituju. Carilah sekolah yang memiliki nilai-nilai yang baik dan menghargai perbedaan. Ini, menurut Verauli, bisa terlihat dari sikap siswanya, apakah siswa-siswanya bersikap sopan atau tidak. Bila memang yang dipilih adalah sekolah reguler, komunikasikan kondisi anak secara rutin dengan gurunya, minimal seminggu sekali, tergantung kebutuhan anak.
“Makin berat gangguan yang dialami, terutama untuk autisme, sebetulnya dia makin terhambat di sekolah reguler. Maka, makin seringlah berkomunikasi dengan guru,“ saran psikolog cantik ini.
Nah, agar anak juga mengenal lingkungan sekitarnya dan lingkungan juga bisa menerima kehadirannya dengan baik, Verauli menyarankan agar anak sering diajak ke lingkar kehidupan sosial di sekitarnya.
Belajar Bersosialisasi
Anak-anak spesial, menurut Verauli, bukan tidak mungkin mampu bersosialisasi, walaupun mungkin secara lambat. Latih anak untuk sering bertemu orang dari berbagai lingkungan.
“Dengan demikian, dia akan belajar bersosialisasi dan mengenal pola-pola lingkungan yang berbeda, dan orang lain akan belajar menerima dia apa adanya. Ini sekaligus untuk mengedukasi orang lain akan keberadaan ABK,” ujarnya.
Menurutnya, boleh-boleh saja anak dengan gangguan diajak bersosialisasi dengan anak yang sama sepertinya. “Tapi, jangan digabung dengan anak yang gangguannya lebih berat agar tidak meniru,” ujarnya.
Verauli menambahkan, tidak semua anak penyandang autisma mengalami tantrum. Biasanya, mereka tantrum karena beberapa penyebab. Antara lain, kemampuan berkomunikasinya terbatas sehingga dia merasa tidak dipahami dan tidak paham dengan lingkungan yang membuat emosinya akhirnya meledak.
“Ada pula gangguan sensori yang membuat anak gagal memahami spasial dan dampak gerakan atau kekuatan tubuhnya ketika memukul. Mungkin maksudnya menyentuh seperti anak bayi, tapi karena dia tidak bisa mengendalikan gerakan sensor motornya sendiri, akhirnya jadi pukulan keras. Dia tidak tahu bahwa kalau dia bergerak seperti ini, hasilnya akan seperti ini,” jelasnya.
Ia menambahkan, anak dengan pengasuhan yang kasar, tidak hangat, dan melibatkan hukuman fisik, biasanya juga akan memukul. Atau, bisa juga lingkungan sekitar menyajikan aksi memukul sehingga anak meniru.
Bila anak tantrum, lanjutnya, adalah keliru bila kita menanganinya dengan cara mengiming-iminginya dengan sesuatu. Lebih baik minta dia untuk menghentikan perbuatannya.
“Kita pandu dia untuk menenangkan dirinya dengan cara dipeluk dari belakang dan menggerakkan tubuhnya dengan cara rileks. Usap-usap tubuhnya sambil secara verbal membuat konfirmasi agar dia menghentikan aksinya dan mengarahkan dirinya untuk tenang. Bila sudah tenang, barulah bisa diajak berkomunikasi tentang apa yang dia inginkan, agar dia tidak marah-marah lagi.
“Yang perlu diingat adalah ketika anak tantrum, dia merasa gagal dipahami, makanya dia frustrasi,” pungkas Verauli.
(Tabloid Nova/Hasuna Daylailatu)