Penulis
Intisari-Online.com - Kita tahu bahwa anak-anak bisa sangat menjengkelkan. Mereka bisa bersikap liar dan menyakiti orang lain, kemudian mengejek orang yang disakitinya itu. Perilaku ini jelas sangat salah. Tapi, apakah itu tanda bahwa anak tersebut adalah seorang psikopat?
Majalah New York Times pernah memuat artikel berjudul "Can You Call a-9 Year Old Boy a Psychopath?” Artikel ini bercerita mengenai seorang anak bernama Michael yang berkelakuan liar, manipulatif, dan tidak bisa dikontrol. Sebagai upaya terakhir, orangtuanya membawa Michael menjalani serangkaian pemeriksaan di Florida International University.
Diagnosa yang keluar adalah psikopati; Michael ditemukan memiliki dua standar deviasi di luar kisaran normal untuk perilaku berperasaan-emosional. Karakteristik ini sering ditemukan di psikopat.
Terlepas dari hasil tes, melabeli seorang anak kecil sebagai psikopat atau prapsikopat, menurut Kathryn Seifert, Ph.D., penulis Child & Adolescent Risk Evaluation, adalah penghakiman yang prematur.
Label tersebut akan menciptakan stigma sosial jangka panjang. Menurutnya, emosional, sosial, dan moral seorang anak belum berkembang sepenuhnya, sehingga tidak seharusnya disebut psikopat.
Ada enam tahapan Pengembangan Moral yang perlu dipelajari manusia sejak lahir sampai dewasa, sebagaimana dirumuskan oleh psikolog terkenal Lawrence Kohlberg dan Elliot Turiel.
Beberapa anak memakan waktu lebih lama daripada yang lain untuk menuju tahap berikutnya. Hambatan yang dialami bisa datang dari mana saja seperti trauma lingkungan, biologis atau kondisi otak.
Kurang atau tidak bisa berempati pada orang lain, yang menjadi salah satu ciri utama psikopat, adalah hal yang banyak ditemukan pada anak-anak usia dini. Sampai ada orang dewasa yang mengajarkannya, anak tidak tahu apa-apa tentang empati. Mereka hanya fokus pada keinginan dan kebutuhannya sendiri.
Masih menurut Seifert, Michael jelas menunjukkan sinyal bahaya, tapi tetap tidak bisa disebut psikopat. Di usia sembilan tahun, Michael ada di tahap tiga perkembangan moral. Ini adalah tahap di mana manusia belajar arti empati. Tahap tiga berlangsung dari umur 7-11 tahun.
Di tahap dua, kebanyakan anak sangat aktif, hanya mampu berkonsentrasi sebentar dan cenderung egois. Jika Michael mengalami keterlambatan, mungkin dia ada di tahap dua saat seharusnya ada di tahap tiga.
Dapatkah seorang anak berkembang menjadi psikopat? Ya, bisa. Tapi sampai seorang anak menjadi dewasa, paling baik yang dilakukan orang tua adalah mengawasi sinyal-sinyal bahaya yang muncul dan menyediakan terapi serta dukungan yang diperlukan.
Orang tua yang curiga anaknya punya bakat psikopat, harus tahu bahwa sampai hari ini, para ilmuwan belum bisa merumuskan secara bulat apa yang jadi penyebabnya. Ada yang percaya bahwa penyebab psikopatik adalah gabungan dari kondisi lahir bercampur dengan trauma lingkungan.
Sebuah penelitian oleh Chicago University di Amerika Serikat mengungkapkan, perilaku tak berperasaan pada psikopat dipicu oleh gangguan komunikasi saraf pada otak.
Gangguan terjadi pada bagian otak yang berperan memunculkan rasa kasih sayang dan kepedulian, termasuk area korteks prefrontal ventromedial dan amigdala--sekumpulan saraf yang berperan penting dalam pengolahan emosi seperti rasa takut, marah, dan senang.
Profesor Robert Hare, psikolog yang dijuluki Bapak Psikotik Dunia, dalam bukunya yang berjudul "Without Conscience" mengatakan, bahwa penyebab dari prilaku psikopatik masih belum bisa diprediksi secara pasti, apakah hal tersebut merupakan pengaruh dari faktor eksternal (kehidupan sosial, lingkungan) ataukah faktor internal (genetik, kerusakan fungsi otak). Tapi, ada kemungkinan gabungan keduanya.
Selain harus siap melihat perilaku yang dianggap tidak berperasaan dari anak, orang tua juga harus siap dengan sikap manipulatif yang dilakukan oleh anak dengan kecenderungan psikopatik. Orangtua, seyogianya mencari tahu di mana kelemahan dirinya sendiri yang mudah dimanipulasi, sehingga bisa membentengi diri.
Empati adalah sesuatu yang diajarkan. Pada beberapa anak, konsep empati sangat mudah dipelajari dan diterima.
Pada anak dengan kecenderungan psikopatik, hal ini sulit diterima. Tapi, dengan bantuan psikolog berpengalaman, orangtua dapat menentukan terapi yang tepat untuk terus melatih otak dan perilaku anak berempati terhadap sesamanya.
Ini dilakukan demi mencegah dia menghalalkan segala cara, termasuk kekerasan dan tipuan, untuk mencapai keinginannya.
(kompas.com)