Penulis
Intisari-Online.com– Air mata kemarahan seringkali terjadi pada anak-anak. Kita mungkin tidak menyadari hal ini. Karena berpikir mereka menangis karena cengeng dan keinginannya tidak dituruti. Kita benar-benar harus bisa membedakan yang mana air mata kemarahan dan mana air mata kesedihan.
Perasaan sakit hati yang dialami anak bisa berujung pada kepahitan. Ia terluka karena perlakuan kita yang kita anggap sepele dan sederhana. Air mata kemarahan sering tumpah jika sakit hati itu terlalu lama dipendam.
Anak-anak yang merasa dirinya diperlakukan tidak adil, selalu disalahkan, dan pilih kasih cenderung mengalami hal ini. Di sisi lain ia menangis karena sakit hati, namun di satu sisi hal tersebut diikuti dengan rasa jengkel, frustasi, dan kemarahan yang mendidih.
Misalnya, seorang anak remaja yang dibesarkan di keluarga yang baik dan sukses, sebut saja namanya Edo. Edo tinggal bersama kedua orang tuanya yang bekerja secara profesional dan dua adik perempuannya yang lebih muda darinya. Ayah dan ibunya adalah orang yang sangat kritis dan cenderung berpihak pada kedua saudara perempuannya. Mereka menganggap Edo sebagai anak laki-laki satu-satunya memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih besar dari kedua saudara perempuannya.
Hal itu membuat Edo merasa didiskriminasi di keluarganya sendiri. Pekerjaan kedua orangtuanya yang hebat juga menuntutnya untuk tampil cerdas di sekolah. Hal ini membangkitkan kemarahan bagi Edo karena ia merasa menjadi korban dari keluarganya di manapun. Ketidakpekaan kedua orangtuanya malah membuat kemarahan di hati Edo semakin menjadi. Kesalahan kecil yang dibesar-besarkan bisa memicu pertengkaran anak dan orang tua. Sayangnya, tidak ada upaya pemulihan dari orang tua.
Saran bagi kita orang tua, alangkah baiknya melakukan rekonsiliasi jika terlibat pertengkaran dengan anak. Hindari pula untuk bertengkar dan melakukan kekerasan fisik maupun kekerasan psikis dalam keluarga. Apalagi di depan anak.
Akibat ketidakpekaan akan perasaan anak, anak akan cenderung merasa marah, merasa bersalah, dan ditinggalkan. Kurangnya empati dalam keluarga bisa menyebabkan air mata kemarahan dan kepahitan yang mendalam pada anak. Dan ini sangat tidak baik dalam tumbuh kembangnya, khususnya pula segi psikologisnya.