Penulis
Para orangtua tentu maklum, bayi baru lahir harus mendapat ASI eksklusif selama enam bulan. Setelah usia tersebut, konsumsi ASI juga harus diteruskan hingga anak berusia dua tahun dengan makanan pendamping ASI. Namun ada kondisi-kondisi tertentu dimana anak boleh tidak mengonsumsi ASI dan hanya susu formula.
Kondisi tersebut adalah jika bayi terkena penyakit seperti galaktosemia klasik, maple syrup urine desease, atau fenilketonuria. Penyakit-penyakit yang disebabkan kelainan enzim tersebut akan dapat terlihat kasatmata dari fisik si bayi. Misalnya bayi terlihat tidak sehat, lemas, serta tidak mau menyusui.
“Hanya saja di Indonesia kasusnya masih jarang, hanya satu dibanding dua ratus ribu kelahiran,” tutur dr. Elizabeth Yohmi, Sp.A, spesialis anak dari RS. Santo Carolus Jakarta, dalam acara seminar dan workshop bidan soal laktasi di RS. Premier Bintaro, Tangerang Selatan, Jumat (27/1). “Saya saja belum pernah ketemu kasus kayak gitu,” tambah Yohmi.
Bukan tidak mungkin kasus-kasus semacam itu terjadi di Indonesia, kata Yohmi, hanya saja pengecekannya tidak mudah. Harus melalui pengecekan enzim yang sampelnya dikirim dulu ke luar negeri. Dokter di Indonesia yang bisa menangani hal ini juga baru satu orang yakni dr. Damayanti R. Sjarif Sp.A(K). Berbeda dengan di negara-negara maju, dimana bayi dapat segera diberi label jika memang tidak boleh mengonsumsi ASI.
Bayi boleh juga mendapat formula selain ASI dalam jangka waktu terbatas bila berat bayi kurang dari 1.500 gram atau lahir pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu. Namun menurut Yohmi, tergantung juga kepada manajemen laktasi dari institusi yang menanganinya. Jika ternyata kenaikan berat badan bayi sesuai standar yakni 20 gram per hari dan ASI ibunya berlimpah, maka tidak perlu susu formula. Hanya perlu penguat ASI atau human milk fortifier (HMF).
Susu formula juga bisa diberikan jika bayi berisiko hipoglikemia yang bisa menyebabkan kegagalan merespons ASI. “Tapi lagi-lagi kasus ini jarang sekali serta biasanya terdapat penyakit ikutannya,” tutur Yohmi yang juga bertugas sebagai Satgas ASI di Ikatan Dokter Anak Indonesia ini. Hipoglikemia ini bisa terjadi kalau awalnya nyusunya tidak pas sehingga bayi kekurangan nutrisi, ibunya berdiet, atau sengaja tidak mau makan menjelang persalinan.
Di masa silam, ibu pengidap HIV (ODHA) dilarang untuk memberi ASI. Bahkan WHO yang menganjurkannya. Namun saat ini larangan itu sudah dicabut, terutama bagi ibu ODHA di negara-negara berkembang. Sebab kondisinya setempat biasanya sudah sulit, maka jangan ditambah lagi dengan tidak memberikan ASI. “Bisa-bisa nanti bayinya malah lebih cepat meninggal karena pneumonia atau diare,” kata Yohmi.
Saat ini karena obat antiretroviral sudah lebih mudah, ada konselor yang membantu ibu ODHA menyusui, dan bayinya tetap diberi obat, maka bayi harus terus diberi ASI. Kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi tetap ada. Tapi sesungguhnya kemungkinan penularan tersebut jauh lebih besar saat bayi masih dalam kandungan. Jadi bukan semata-mata karena ASI.
Dari kondisi-kondisi di atas, jelas tidak ada alasan bagi orangtua untuk tidak memberi ASI kepada anaknya, sejauh memang memungkinkan.