Find Us On Social Media :

Mengenang G30S: Rindu dengan Anak-anaknya

By Moh Habib Asyhad, Selasa, 30 September 2014 | 18:45 WIB

Mengenang G30S: Rindu dengan Anak-anaknya

Intisari-Online.comLama terpisah, nenek-nenek penghuni Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi rindu dengan anak-anaknya. Untuk mengenang G30S, Intisari edisi September 2014 mengisahkan bagaimana perempuan-perempuan hebat ini mengenang anak-anaknya. 

---

Sebelum gonjang-ganjing di ujung September 1965 terjadi, perempuan berkacamata itu adalah wartawan Harian Ekonomi Indonesia khusus peliput istana; tak heran jika link-nya kuat. Sri juga beberapa kali diajak rombongan safari kementerian di masa Orde Lama, misalnya rombongan Safari Dwikora yang dipimpin oleh Dr. Subandrio, Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Indonesia waktu itu, ke Sumatera, pertengahan September 1965.

Sebagai wartawan, Sri memiliki trik khusus dalam liputan supaya beritanya tidak sama dengan koran-koran lain sezamannya. Ia akan datang pagi-pagi sekali ketika Presiden masih sibuk dengan aktivitas nyiram tanaman dan ngeteh. “Berita saya lebih segar dan baru,” tegas Sri.

Dari kebiasaannya itulah, suatu hari Sri mendapatkan pernyataan mengejutkan dari Presiden RI waktu itu, Bung Karno, sesaat sebelum benar-benar lengser. Menirukan apa yang dikatakan Bung Karno, Sri mengatakan,  “beliau merasa sudah tidak sanggup lagi memimpin negara.”

Kesempatan bertemu anak

Satu hal yang begitu disesalkan oleh para penghuni Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi adalah “terpaksa” terpisah dari keluarga. Bahkan ada beberapa yang keluarganya sudah tidak berbekas. Saat menjadi buronan, Sri meninggalkan seorang anak yang masih sangat kecil bernama Erianto (nama tersebut pemberian Bung Karno).

Untungnya, Sri memiliki keluarga yang selalu mendukungnya. Erianto, ia titipkan kepada salah satu saudaranya. Di sana Erianto tumbuh dan berkembang. Setelah bebas dari penjara, Sri beberapa kali berkesempatan bertemu dengan putranya yang kini sudah berkeluarga itu. Meski tak tinggal satu rumah, bagi Sri, bisa bersua dengan anak yang statusnya saat ini adalah “anak angkat” itu—karena menurut catatan militer Sri sudah tidak punya anak—adalah kebahagiaan yang tak terkira.

Nasib sedikit tragis dialami oleh Lestari. Dari pernikahannya dengan Suwandi, seorang tokoh partai besar di Jawa Timur waktu itu, Lestari dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Kedua anaknya itu dibawa dalam pelariannya ke Blitar Selatan, tempat terakhir Sri sebelum resmi menjadi tahanan.

Tapi sayang, dalam sebuah penggerebekan, anak bungsunya tewas, sementara si sulung terpisah entah ke mana. Setelah beberapa tahun tidak diketahui rimbanya, Lestari akhirnya tahu bahwa anaknya diasuh oleh seseorang tidak jauh dari lokasi di mana ia ditangkap. “Genduk sekarang sudah jadi guru di Blitar,” ungkapnya yang tak menutupi rindu dengan anak-anaknya. (Intisari, 2014)