Lima Hal Kenapa Manusia Percaya dengan Roh Halus dan Segala Tetek Bengeknya (2)

Moh Habib Asyhad

Penulis

Lima Hal Kenapa Manusia Percaya dengan Roh Halus dan Segala Tetek Bengeknya (2)

Intisari-Online.com -Masyarakat Celtic kuno percaya, setiap akhir Oktober, malam sebelum akhir musim panas, batas antara yang hidup dan yang mati menjadi bias. Hantu-hantu berkeliaran di bumi. Dua ribu tahun kemudian, orang-orang percaya bahwa dunia gaib adalah benar-benar nyata. Dalam artikelnya diHuffington Post, Carol Kuruvilla, menyebut adalima hal kenapa manusia percaya dengan roh jahatdan segala tetek bengeknya.

Roh itu benar-benar nyata

Banyak orang percaya, jin tidak sekadar cerita yang ditemukan di banyak kitab suci agama-agama. Mereka benar-benar nyata dan "siap" untuk membuat kerusakan. Terlepas dari nyata atau tidaknya, banyak agama mengakui adanya alam gaib yang terpisah.

Survei Pew Research tahun 2007 mencatat, sekitar dua per tiga orang Amerika sepenuhnya atau sebagian besar percaya bahwa malaikat dan setan berperan aktif dalam kehidupan manusia. Mormon (80 persen), Kristen Injili (87 persen), dan anggota gereja Afro-Amerika (87 persen) percaya bahwa roh itu nyata.

“Beberepa penganut Kristen liberal tidak terlalu ambil pusing dengan dunia roh jahat,” ujar Edgar Lee, seorang pensiunan menteri yang saat ini menjadi ketua Komisi Pemurnian Ajaran di Assemblies fo God. “Tapi kami percaya bahwa ada kekuatan roh jahat yang menggoda manusia untuk melakukan perbuatan dosa.”

Yudaisme berbeda lagi. Di Yerusalem ada mitos tentang mantra-mantra dan ajimat. Kadang-kadang juga berbicara tentang eksorsisme alias upacara pengusiran roh jahat. Tapi tidak seperti agama-agama monoteistik lainnya, orang-orang Yahudi di Amerika tidak pernah benar-benar menempatkan persoalan roh dalam pembahasan mereka.

Bisa jadi karena banyak orang-orang Yahudi di Amerika yang sekuler. Tapi perlu diperhatikan, dalam ajaran Yudaisme sendiri banyak sekali kegiatan agama yang penuh dengan ritual dan syarat-syarat. “Inti dari kesalehan Yahudi didasarkan pada persoalan hukum, doa, pembelajaran, dan kewajiban beragama,” ujar Rabbi Bradley, editor TheWisdomDaily.com. “Ketika seseorang melakukan kesalahan, bukan soal siapa yang menggodanya, tapi lebih pada nafsu orang itu dan bagaimana memperbaikinya.”

Namu, orang-orang Yahudi masih berjuang dengan pertanyaan yang sama tentang kejahatan yang dilakukan manusia. “Semua orang hanya mencoba untuk mencari tahu apa artinya percaya pada satu Tuhan ketika ada begitu banyak hal buruk dunia,” tutur Rabbi.(Bersambung)