Penulis
Intisari-Online.com - Pakar teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Deddy Syafwan, menyesalkan "server" basis data kartu tanda penduduk elektronik atau E-KTP seluruh penduduk Indonesia ternyata ada di luar negeri.
"Pada awalnya, saya kira server-nya ada di Indonesia, tetapi ternyata di Belanda. Jika demikian, maka ada kepentingan luar yang bermain pada E-KTP ini," ujar Deddy di Jakarta, Minggu (16/11/2014), seperti dikutip Antara.
Data E-KTP, kata dia, sangat penting dan berharga bagi bangsa Indonesia, meskipun masih banyak penduduk yang datanya bermasalah atau belum terdata.
"Dengan dasar apa pun, kalau server-nya berada di negara lain, sama saja menjual seluruh data bangsa ini ke (pihak) asing," ucapnya.
Data kependudukan adalah data dasar terpenting di sebuah negara. Data tersebut terkait kelahiran, agama, pendidikan, alamat, nomor induk kependudukan, dan yang terpenting sidik jari.
"Semua ini adalah data prinsipiil kita. Buat apa kita hidup, kalau kerahasiaan data kita sudah tidak ada? Pihak asing akan sangat mudah memetakan kondisi demografi kita, dan yang terpenting E-KTP sudah tidak aman lagi," ujar dia.
Ia mempertanyakan mengapa Kementerian Dalam Negeri begitu mudah menaruh server-nya di Belanda. Padahal, di dalam negeri banyak lokasi yang aman untuk server.
"Posisi server di luar negeri ini bisa membuat siapa pun di luar sana bermain dengan data kependudukan kita. Tidak ada gunanya lagi kita melanjutkan program E-KTP ini," ujar dia.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebelumnya memastikan menghentikan pembuatan E-KTP hingga batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Tjahjo khawatir karena server untuk cip di E-KTP berada di negara lain.
Tjahjo mengungkapkan sejumlah fakta yang ditemukan yang dianggap cukup serius. Pertama, ada dugaan korupsi dalam proyek itu. Kedua, server yang digunakan dimiliki negara lain sehingga database di dalamnya rentan diakses pihak tidak bertanggung jawab. (Baca: Mendagri Hentikan E-KTP karena "Server" Cip Ada di Negara Lain)
Ketiga, vendor fisik E-KTP tidak menganut sistem terbuka sehingga Kemendagri tidak bisa mengutak-utik sistem tersebut. Keempat, banyak terjadi kebocoran database. Misalnya, di kolom nama tertulis nama perempuan, tetapi foto menunjukkan laki-laki. (kompas.com)