Penulis
Intisari-Online.com – Segudang kabar dan kenyataan diam-diam selalu diakui sebagai hamparan bukti adanya korupsi yang amat luas dan mendalam di bumi Indonesia. Pengadilan, yang makna hakikinya adalah ruang hidup riil untuk meraih keadilan sejati, pun telah dirasuki korupsi secara amat meresap. Parlemen, yang hakiki adalah mekanisme sah untuk melahirkan undang-undang, juga sebegitu kuat dirasuki korupsi. Mungkinkah hilangnya kebersamaan yang mengakibatkan merasuknya korupsi?
Mungkin kedua hal itu sudah lebih dari sekadar cukup untuk menyadari betapa korupsi di bumi Indonesia sungguh amat sangat parah, mengerikan, sekaligus memuakkan. Kedua hal itu pun lebih dari sekadar cukup untuk menyadari betapa korupsi di bumi Indonesia amat sangat sulit diatasi, apalagi diberantas.
Sudah banyak dibentuk tim atau komisi atau regu apa pun namanya. Kini pun parlemen telah melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, realitas itu mencuatkan pesimisme tentang kemungkinan keberhasilan mereka. Sudah banyak pakar, pengamat, pejabat, atau apa pun namanya memberikan resep untuk memberantas korupsi. Namun, semua resep yang tampak rasional itu impoten, tidak pernah bisa diwujudnyatakan.
Siapa yang menggagalkan kerja pemberantasan korupsi itu? Orang-orang Indonesia sendiri yang tetap melakukan korupsi, yang suka dan membela korupsi, yang hipokrit. Di luar berlagak anti-korupsi, tetapi di dalam secara sejati menggemari korupsi, membela korupsi, dan terus melakukan korupsi.
Mengapa orang-orang Indonesia itu getol melakukan korupsi, gemar korupsi, atau mati-matian membela korupsi? Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya sebegitu mendasar. Di balik jawaban-jawaban atas mereka, terkandung hal mendasar yang menyumberi kegagalan Indonesia mengatasi korupsi. Mari kita coba jawab pertanyaan itu, sembari melakukan permenungan tanpa benci dan iri.
Orang-orang Indonesia itu getol melakukan korupsi, karena mereka getol sekali melayani diri-sendiri. Kata “diri-sendiri” mesti digarisbawahi. Korupsi terus mereka lakukan untuk memperkaya “diri-sendiri”.
Orang-orang Indonesia itu amat menggemari korupsi, karena amat sangat mencintai kepentingan diri-sendiri. Dalam kecintaan berlebih atas kepentingan diri-sendiri itu, karena korupsi dan hasil-hasil korupsi bisa digunakan secara tanpa batas untuk melampiaskan semua nafsu cinta diri-sendiri. Lagi-lagi kata “diri-sendiri” mencuat ingar-bingar. Dalam psikodinamika kita mengenali gejala seperti itu dalam lingkup kondisi yang disebut narsisme, cinta diri berlebihn.
Sedangkan mereka sedemikian mati-matian membela korupsi, karena mereka sedemikian mati-matian membela diri-sendiri. Sebelum, sewaktu, dan setelah korupsi, para koruptor memiliki kepentingan amat besar untuk menyelamatkan diri-sendiri. Kalau perlu dengan mencakup beberapa orang lain dalam jerat korupsi, dengan merekrut pengadilan dan aparat-aparatnya dalam jaring-jaring korupsi, dengan memasukkan parlemen dalam sarang korupsi.
Untuk siapa itu semua? Untuk diri-sendiri, untuk membela diri-sendiri, untuk melindungi diri-sendiri.” Lagi-lagi, “diri-sendiri” menonjol luar biasa di sini.
----
*) Tulisan Limas Sutanto, Sp.KJ, pengamat psikososial dari STFT Widya Sasana, Malang ini pernah dimuat di Intisari edisi Januari 2003, dengan judul asli "Hilangnya Kebersamaan, Merasuknya Korupsi".