Find Us On Social Media :

Hilangnya Kebersamaan, Merasuknya Korupsi (2)

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 16 Januari 2015 | 08:00 WIB

Hilangnya Kebersamaan, Merasuknya Korupsi (2)

Intisari-Online.com – Tulisan yang ditulis oleh Limas Sutanto, Sp.KJ, pengamat psikososial dari STFT Widya Sasana, Malang ini pernah dimuat di Intisari  edisi Januari 2003, dengan judul asli Hilangnya Kebersamaan, Merasuknya Korupsi.

--

Barangkali semua jawaban itu menyadarkan kita, betapa penyakit sosial orang Indonesia, sedemikian paradoksal, adalah penyakit cinta diri-sendiri yang amat berlebih. Penyakit cinta diri itu sungguh menyumberi kekuatan-kekuatan mengerikan  yang selalu menggagalkan setiap upaya mengatasi dan memberantas korupsi. Penyakit itu sungguh menyumberi kekuatan-kekuatan amat digdaya yang selalu menjadikan setiap tim, komisi, dan resep pemberantasan korupsi benar-benar impoten, mati sebelum berkarya efektif.

Lalu di mana Indonesia? Indonesia tidak pernah hanya mewakili seorang diri-sendiri, Indonesia mewakili sebuah kebersamaan kebangsaan, setidaknya kebersamaan kemasyarakatan. Amat perlu dikhawatirkan, kian lama orang-orang Indonesia makin tidak mengenal dan tidak memiliki kesadaran kebersamaan yang wajar sekalipun.

Kesadaran kebersamaan itu justru sekadar “kesadaran kebersamaan sesama koruptor”, “kesadaran kebersamaan keluarga”, “kesadaran kebersamaan partai”, “kesadaran kebersamaan korp”, dan berbagai kebersamaan sempit lainnya.

Memang pada penampilan luar,  banyak orang Indonesia mengaku-aku sebagai “warga bangsa Indonesia”. Pada penampilan luar, sangat banyak orang Indonesia berlagak “membela Indonesia”. Kadang lagak mereka sangat luar biasa, sangat heroik. Seolah dengan kerelaan seorang martir yang mengorbankan kepentingan diri-sendiri, bahkan hidup diri-sendiri, demi Indonesia.

Namun, sungguh, semua itu Cuma seolah-olah, hanya seperti, semua itu serba as if, tanpa kesejatian, tanpa kejujuran, tanpa ketaat-absahan. Bukankah nyatanya mereka tetap gemar korupsi? Tetap mati-matian membela korupsi? Itu semua bermakna hakiki: mereka hanya mengutamakan kepentingan diri-sendiri, menomorsatukan keselamatan diri-sendiri, dan mengagungkan “diri-sendiri”. Dalam khazanah jiwa mereka tidak ada  Indonesia, tiada kebersamaan yang terangkum dalam nama Indonesia, yang ada sungguh hanya diri-sendiri.

Masihkah tersisa harapan untuk Indonesia memberantas korupsi? Masih. Namun, harapan itu bukan terutama berupa tampilnya pemimpin yang cuma pintar dan jujur, kendati pintar dan jujur mewakili pasangan keunggulan yang sangat langka di bumi Indonesia kini.

Indonesia mengharap kehadiran pemimpin yang sungguh berani, sudi, mampu, dan membuktikan diri mengatasi diri-sendiri, menundukkan diri-sendiri, menaklukkan diri-sendiri, demi mengutamakan dan memenangkan kebersamaan Indonesia, demi Indonesia dalam makna nan sejati. Kebersamaan Indonesia niscaya ditumbuhkembangkan kembali. Ia tidak boleh hilang, sebab hilangnya kebersamaan Indonesia tidak memungkinkan diberantasnya korupsi di bumi Indonesia.