Find Us On Social Media :

Waspadai, Pencucian Uang Haram!

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 17 Januari 2015 | 12:00 WIB

Waspadai, Pencucian Uang Haram!

Intisari-Online.com – Di tengah gencarnya tuntutan pengembalian uang yang diduga hasil KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) oleh sementara pejabat atau pengusaha, muncul kekhawatiran adanya praktik money laundering alias pencucian uang. Bagaimana lika-liku proses pencucian dan sejauh mana kesulitan untuk membuktikannya, berikut ini rangkuman hasil wawancara dengan Ir. Roy H.M. Sembel, MBA, seorang praktisi keuangan, yang pernah dimuat di Intisari edisi Agustus 1998.

--

Istilah money laundering, menurut Roy Sembel, mulai banyak digunakan sejak transaksi internasional ramai dilakukan. Diawali dengan adanya uang hasil penggelapan atau uang haram hasil perdagangan minuman keras di Amerika, zamannya mafia, dan perdagangan narkotik sebelum PD II yang terkenal dengan narco dollar-nya, dolar hasil penjualan narkotika. Pada sebuah situs di Internet, David Scott dalam Money Laundering and International Efforts to Figth It memperpanjang daftar asal-usul uang haram itu: mulai dari pemerasan, penyelundupan senjata, sampai kejahatan kerah putih.

Uang yang diperoleh secara ilegal itu “dicuci” secara kriminal melalui sistem finansial untuk menyamarkannya sehingga muncul sebagai dana-dana yang sah. “Intinya adalah mengusahakan agar uang yang diperoleh secara ilegal itu menjadi kelihatan legal,” kata Roy Sembel.

Meskipun sering kali melibatkan sejumlah transaksi yang kompleks, secara umum pencucian uang mencakup tiga langkah dasar.

Pertama, tahap placement yakni menyingkirkan uang tunai yang ada dengan cara mendepositokannya di bank-bank dalam negeri maupun berbagai lembaga keuangan formal ataupun informal. Bisa juga dengan mengirimkannya ke luar negeri untuk didepositokan di berbagai lembaga keuangan asing atau untuk membeli barang-barang berharga seperti pesawat terbang dan pelbagai jenis logam dan batu mulia.

Kedua, tahap pelapisan (layering) dengan melakukan pelapisan yang sangat kompleks pada berbagai transaksi finansial untuk memisahkan hasil uang haram itu dari sumbernya dan menyamarkan pembukuannya. Fase ini bisa melibatkan berbagai transaksi, misalnya transfer uang tunai melalui telepon, konversi uang tunai ke dalam berbagai instrumen keuangan (obligasi, saham, cek perjalanan), penjualan kembali barang-barang berharga dan berbagai instrumen keuangan, investasi di realestat, serta bisnis-bisnis yang sah, terutama sekali di industri perjalanan dan turisme. Perusahaan resmi terdaftar pun sering kali disalahgunakan sebagai alat dalam langkah layering ini.

Langkah ketiga adalah membuat kekayaan yang diperoleh secara tidak halal itu muncul sebagai uang  yang sah. Caranya tentu saja akan melibatkan berbagai teknik, seperti menggunakan berbagai perusahaan untuk “meminjamkan” kembali hasilnya kepada pemilik atau menggunakan dana simpanan itu ke berbagai lembaga keuangan asing. Teknik lain yang lebih umum adalah menggunakan faktur atau membuat faktur palsu untuk penjualan barang – atau diduga dijual – ke luar negeri.

Pendeknya, uang itu dilewatkan ke satu sistem dan prosedur hingga muncul di tempat lain yang kelihatannya berasal dari usaha yang legal, tidak gelap. “Dengan melibatkan sejumlah prosedur sedemikian rupa sehingga uang hasil korupsi, kolusi, penggelapan, dan sebagainya itu tidak ketahuan lagi asal usulnya atau sulit dilacak,” tutur Roy Sembel. “Begitu kompleksnya jalan yang ditempuh sehingga pelakunya berhasil memutuskan hubungan yang muncul terkahir dengan awalnya.”

Rezim di negara-negara berkembang yang disinyalir melakukan penggelapan uang di negaranya, kata Roy, membuat kasus pencucian uang semakin marak.