Penulis
Intisari-Online.com – Bagaimana mengubah hukuman mati dengan cinta? Peradaban manusia mengenal dan melaksanakan hukuman mati. Hukuman ini biasanya diterima oleh orang-orang yang dianggap sebagai penjahat kelas berat atau insan-insan yang mendapat vonis pengadilan. Namun, sejarah membuktikan, meski hukuman mati terus dilaksanakan, kejahatan tidak pernah surut. Tak heran kalau kemudian banyak yang bertanya-tanya, "Jika hukuman mati selama ini tidak sungguh-sungguh mengurangi angka kejahatan, jadi apa manfaatnya?"
Konon, alasan di balik hukuman mati adalah penjeraan atau balas dendam. Sebuah alasan yang terbatas, bahkan ketika diletakkan pada praktik kejahatan yang pemicunya bermacam-macam (multifaktorial). Kejahatan bukan semata perilaku yang disebabkan oleh satu, dua, atau tiga faktor belaka. Ada sekian banyak faktor yang bisa berperan sebagai penyebabnya.
Maka kejahatan tidak pernah bisa disurutkan hanya dengan pelaksanaan hukuman mati. Kejahatan itu terlalu lebar untuk bisa dicakup atau diatasi hanya oleh penjeraan atau balas dendam. Bahkan akhir-akhir ini, di berbagai kawasan di dunia yang penuh konflik berdarah, seperti Timur Tengah, makna penjeraan mengalami perubahan dahsyat.
Fenomena bom bunuh diri, misalnya, mewakili perubahan dahsyat atas makna penjeraan itu. Berlandaskan alur pikir mereka yang ada di balik pelaksanaan hukuman mati, orang yang menjadi pelaku kejahatan berat perlu dimatikan, agar terjadi penyebaran efek penjeraan ke tengah masyarakat luas. Kemudian diharapkan, di waktu-waktu mendatang orang-orang kapok, sehingga tidak lagi melakukan kejahatan seperti yang dilakukan orang yang telah dihukum mati.
Namun, pada kasus bom bunuh diri, orang justru mematikan diri demi menjerakan orang-orang lain atau balas dendam. Lewat bom bunuh diri, ia berseru lantang betapa dirinya tidak takut mati dan tidak jera dengan pematian dirinya. Dapat dirasakan betapa peledakan bom bunuh diri adalah ejekan buat pelaksanaan hukuman mati. Dengan kata lain, peledakan bom bunuh diri kian menisbikan fungsi hukuman mati sebagai alat penjera atau balas dendam.
Di tengah kawasan konflik, kini juga terjadi vulgarisasi hukuman mati. Hukuman mati tidak dilaksanakan “secara beradab”, dalam arti sesuai prosedur yang ditetapkan hukum, tetapi justru dipertontonkan lewat media massa elektronik dan media massa cetak ke seluruh penjuru dunia. Bahkan pelaksanaan hukuman mati yang amat vulgar itu didahului dengan penyiksaan psikologis luar biasa terhadap insan yang akan dihukum mati. Bukan main!
Penduduk Bumi ini harusnya menyadari, menciptakan masyarakat yang lebih beradab tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan penjeraan dan balas dendam. Peradaban terlalu besar untuk bisa dibesarkan dengan penjeraan dan balas dendam. Yang sungguh diperlukan untuk merawat dan menumbuhkembangkan peradaban adalah keyakinan pada nilai-nilai kemanusiaan luhur universal, pengharapan akan hidup yang lebih baik, serta cinta yang ditebar dalam kehidupan sehari-hari. (Intisari Maret 2005)