Find Us On Social Media :

Jakarta Langganan Banjir Sejak Zaman Tarumanagara (3)

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 23 Januari 2015 | 18:45 WIB

Jakarta Langganan Banjir Sejak Zaman Tarumanagara (3)

Intisari-Online.com – Jakarta langganan banjir sejak zaman Tarumanagara. Tentu bukan excuse untuk Jakarta yang sampai sekarang masih sering kebanjiran. Namun sedikitnya ini suatu hiburan karena banjir bukan hanya datang akhir-akhir ini saja. Banjir abad yang lalu pernah begitu hebatnya sehingga peneliti alam Junghuhn ketinggalan kapal sebab tidak ada perahu yang bisa membawanya ke kapal. Waktu itu di dalam kota pun ia harus naik perahu. Tahun 1699 ketika Gunung Salak meletus, pantai Jakarta bertambah luas 75 m dan saluran-saluran mampet. Inilah sejarah banjir di Jakarta yang berhasil dikumpulkan oleh Siswadhi, dan dimuat dalam Intisari edisi Maret 1982.

--

Di permukiman baru itu agaknya masalah air itu masih cukup mengganggu, sehingga usaha perbaikan lain terpaksa dilakukan juga. Sampai akhir abad ke-18 keadaannya bukan menjadi baik tetapi malah sebaliknya. Demikianlah keadaannya menjelang akhir hidup Kompeni, yang pada pertukaran abad ke-19  diambilalih oleh Negara Belanda.

Gubernur Jenderal Daendels yang merupakan pemegang kuasa pertama dari pemerintah Belanda, mencari pemecahannya dengan memindahkan kota ke Weltevreden sambil membiarkan tata air dalam keadaan sebagaimana adanya.

Junghuhn ketinggalan kapal

Agaknya orang tidak belajar dari pengalaman Van Imhoff dalam pertengahan abad ke-18, bahwa orang tak bisa menyelesaikan masalah air dengan menghindarinya. Hal ini harus dialami lagi dalam pertengahan abad ke-19.Di kota yang baru pun banjir berkali-kali melanda mengingatkan bahwa masalahnya belum dipecahkan.

Dalam bulan Januari 1832 sebuah pagelaran Deutsche Militaer Liebhaber-Theater terpaksa dibatalkan karena banjir di Weltevreden. Dalam bulan Januari 1832 peneliti alam termasyhur Junghun akan berangkat dengan kapal api dari Betawi. Untuk tidak ketinggalan kapal, tengah malam buta ia sudah berangkat ke kota yang sedang dilanda banjir. Dalam keadaan gelap gulita ia lalu mengerobok air untuk mencari perahu yang bisa membawanya ke kapal. Tetapi waktu itu tepian dan kali telah menjadi satu ... tiba-tiba ia kehilangan pijakannya sehingga air melampaui kepalanya dan akhirnya sang kapal mengangkat sauh di depan hidungnya.

Dalam tahun 1872 terjadi lagi banjir besar dengan tinggi air melampaui 1 m yang melanda baik kota bawah maupun kota atas, padahal Departemen Tata Air dan Pekerjaan Umum yang seharusnya menangani masalah ini sudan didirikan dalam tahun 1854. Sehingga orang mengejek singkatan B.O.W. (Burgerlijke Openbare Werken) sebagai Batavia Onder Water (Betawi di bawah genangan air).

Waktu itu pemecahan diusahakan, antara lain dengan membuat suatu sodetan pada Kali Grogol dan Kali Krukut. Selanjutnya pengendalian air dengan pintu-pintu pada hilir Kali Krukut di Karet dan Kali Grogol di Jembatan Besi, pula pada terusan Bageracht di Kampung Gusti, pada Kali Angke dan di Jembatan Dua. Ciliwung dibuatkan lagi saluran baru dari Gunungsahari ke arah Ancol dan pembuatan pintu air di Jembatan Merah. Pada waktu itu juga kali Cideng di belokan lewat Kebon Sirih.

Banjir kanal

Dalam tahun-tahun berikutnya ternyata bahwa usaha-usaha itu belum memadai untuk mengatasi banjir-banjir besar. Paling-paling berguna untuk menyalurkan banjir kecil yang terjadi tiap musim hujan dan biasanya yang terhindar hanyalah bagian kota bawah.

Pemecahan tata air yang paling menyeluruh dan berhasil ialah perencanaan perbaikan tata air oleh Ir. H. van Breen yang diajukan pada tahun 1911 dengan banjir kanalnya yang terkenal itu. Pekerjaan ini dimulai dalam tahun 1913 dengan pembuatan saluran dari pintu air Manggarai menyusuri pinggiran kota waktu itu di bagian selatan dan barat untuk akhirnya bermuara di daerah Muara Karang. Setelah dibuat saluran pengalih air banjir boleh dikatakan masalah banjir dapat diatasi, paling tidak di daerah Jakarta yang "gedongan" Patut diingat bahwa pada tahun 1930-an wilayah "gemeente" (kotapraja) Batavia, tanpa Jatinegara, hanya meliputi luas 155 km persegi dan penduduknya termasuk Jatinegara hanya 300.000 orang.

Setelah kemerdekaan dan menjadi Ibukota Republik perkembangan kota dan pertambahan penduduk mengalami ledakan yang tak pemah dialami sebelumnya. Kalau sebelum perang dunia Batavia  direncanakan Belandauntuk bisa menampung sekitar 600.000 orang penduduk, ternyata pada tahun 1961 jumlah penduduk telah mencapai jumlah 3 juta.

Pada waktu sekarang diperkirakan jumlah itu telah menjadi dua kali lipat. Jelas bahwa rencana Breen yang membuat banjir kanal itu sudah tidak banyak manfaatnya lagi setelah tahun limapuluhan. Sementara itu rencana penanggulangan banjir yang menyeluruh dan ditangani secara besar-besaran baru dilaksanakan setelah tahun 1966. Perbaikan demi perbaikan telah dikerjakan, tetapi sementara itu kota dan penduduknya mengembang terus, seperti berlomba dengan peningkatan dan perbaikan prasarana kota. Yang manakah gerangan akan tertinggal?