Find Us On Social Media :

Mulianya Hati Surono, Tukang Pecah Batu yang Menghidupi 65 Anak Yatim

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 15 Juni 2016 | 16:15 WIB

Mulianya Hati Surono, Tukang Pecah Batu yang Menghidupi 65 Anak Yatim

Intisari-Online.com - Pahlawan tidak harus mereka yang berperang di medan laga. Pahlawan tidak harus mereka yang memborong medali di sebuah ajang olahraga multinasional. Menjadi pahlawan cukuplah mereka yang memiliki dedikasi tinggi terhadap sesamanya. Seperti Surono, seorang tukang pemecah batu yang menghidupi 65 anak yatim.

Surono lahir di Kebumen Jawa Tengah tahun 1958. Ia datang ke Ibukota dengan harapan meraup pundi-pundi rupiah demi membantu kehidupan orangtua di kota kelahirannya. Laki-laki yang kini menempati sepetak kontrakan di Jl Cipinang Jaya IIB, RT 3/RW 9, Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur, ini mengatakan tertarik pergi ke Jakarta setelah melihat teman-temannya sukses mencari rezeki di Ibukota.

Tahun 1973, saat ada tawaran menjadi pembantu rumah tangga di rumah pengusaha toko bangunan di sekitar Rawamangun, tak pikir panjang, ia pun langsung menerimanya. “Ya sudah, yang penting saya sampai Jakarta, ke Jakarta gratis lagi,” ujar Surono seraya kembali mengingat masa lalunya.

Beberapa lama bekerja menjadi pembantu toko, Rono pun “naik pangkat”. Kali ini dia ditugaskan menjadi penarik gerobak di toko bangunan milik majikannya. Hidup sendiri membuat Rono ingin segera menikah. Perempuan yang menjadi idamannya adalah pelayan yang juga bekerja di tempat tersebut.

“Iya setiap hari ketemu lama-lama saling suka, dan bos akhirnya tahu, 1977 saya dinikahkan,” kata Rono.

Satu tahun berselang istrinya mengandung. Namun menjelang usia kandungan 7 bulan, sang istri sakit darah tinggi. “Saya berobat ke mana-mana biar istri saya sembuh, tapi Allah berkata lain, dia pulang terlebih dahulu sama anak saya,” jelas Rono.

Hingga tiga kali menikah, Rono tak mendapatkan keturunan. Memasuki tahun 1994, penglihatan mulai berkurang. Dalam keterbatasan, Rono sempat berpikir untuk menjadi pengemis di lampu merah. Namun dia tetap bertahan untuk tidak melakukannya.

Tak mau berdiam diri dalam keterbatasan, pada 2008 Rono berjualan telur asin keliling. Setiap paginya ia berjalan ke pasar pagi Rawamangun untuk membeli telur asin yang kemudian Rono jual dengan cara berkeliling kampung. Namun, usaha untuk mendapatkan nafkah ini berakhir dengan cerita lain. Jualannya lesu. “Mungkin masyarakat sudah bosan kali ya setiap hari saya keliling bawa telur asin,” jelasnya.

Gara-gara kesandung batu

Ia pun mengubah haluannya dengan berdagang pisang keliling. Ternyata usaha ini pun juga berakhir dengan kisah yang sama, yakni tak sukses. Suatu ketika Rono sedang pulang berjualan pisang di dekat rumahnya Rono tersandung batu yang membuat Rono langkah kakinya terhenti dan terjatuh. Sambil meraba ada apa yang membuat dirinya terjatuh, Rono merasakan bahwa itu adalah sisa-sisa batako pecah di toko bangunan.

“Saya jatuh karena bebatuan itu, saya pikir dan termenung mungkin inilah jalan Yang Maha Kuasa untuk saya dalam memperoleh rezeki,” ujarnya. Keesokan harinya Rono mulai berhenti berdagang. Rutinitasnya sehari-hari sekarang sebagai pemecah batu bata sisa-sisa di depan toko bangunan, yang terletak di sekitaran Cipinang.

Dengan palu sebagai alat kejanya setiap pagi ia datang menuju lokasi tempat mencari nafkah, sisa batu bata dan batako yang sudah rusak dan tidak dijual ia hancurkan perlahan hingga halus dan dimasukkan dalam karung. Batu bata dan batako itu ia haluskan perlahan, dengan indra penglihatan yang kurang berfungsi, ia cukup terampil dalam memecahkan batu. Batu itu ia hancurkan satu per satu hingga menjadi keping-keping kecil.