Mengapa Sekutu Ingin Merebut Yogyakarta Saat Agresi Militer Belanda II Dilancarkan?

Afif Khoirul M

Penulis

Tak hanya Agresi Militer I dan II, Belanda juga disebut merencakan melakukan Agresi Militer III. Dicegah oleh salah satu petinggi militer Belanda.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com -Fajar menyingsing di ufuk timur, namun bukannya kehangatan mentari yang menyapa, melainkan deru pesawat tempur yang membelah langit Yogyakarta.

19 Desember 1948, Agresi Militer Belanda II meletus, menorehkan luka mendalam di jantung ibu pertiwi.

Yogyakarta, kota yang damai dan sarat nilai budaya, mendadak menjadi medan pertempuran.

Namun, di balik gempuran senjata dan desing peluru, tersimpan pertanyaan yang menggelitik, mengapa Sekutu, yang seharusnya menjadi kawan seperjuangan, justru seakan mendukung Belanda dalam merebut Yogyakarta?

Untuk memahami benang kusut sejarah ini, mari kita menelusuri lorong waktu, menyingkap tabir misteri yang menyelimuti Agresi Militer Belanda II.

Pasca Perang Dunia II, Indonesia yang baru saja merdeka bagai bayi yang lahir prematur.

Lemah, rapuh, namun penuh semangat untuk hidup. Belanda, sang penjajah yang enggan kehilangan 'sapi perah'-nya, berusaha kembali menguasai Indonesia dengan dalih menegakkan keamanan dan ketertiban.

Namun, di balik topeng kepedulian itu tersimpan ambisi untuk meraup keuntungan ekonomi dari kekayaan alam Indonesia.

Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947 telah membuka mata dunia akan kekejaman Belanda.

PBB pun turun tangan, mendesak gencatan senjata dan perundingan damai. Perjanjian Renville pun lahir, namun di balik kesepakatan yang seolah adil, tersimpan jebakan maut bagi Indonesia.

Belanda dengan licik memanfaatkan perjanjian ini untuk memperkuat posisi militernya, sementara Indonesia dipaksa menarik mundur pasukannya dari wilayah-wilayah strategis.

Di tengah situasi genting ini, peran Sekutu menjadi sorotan.

Inggris, sebagai salah satu negara Sekutu yang berpengaruh, justru menunjukkan sikap ambigu. Di satu sisi, mereka mengaku mendukung kemerdekaan Indonesia.

Namun di sisi lain, mereka diam-diam memberikan bantuan logistik dan persenjataan kepada Belanda.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi sikap paradoks Sekutu ini:

Kepentingan Ekonomi:

Inggris memiliki kepentingan ekonomi yang besar di Indonesia. Perkebunan teh, tembakau, dan karet di Indonesia menjadi sumber pendapatan penting bagi Inggris.

Mereka khawatir jika Indonesia benar-benar merdeka, maka akses mereka terhadap sumber daya alam tersebut akan terputus.

Dukungan terhadap Belanda dianggap sebagai cara untuk mengamankan kepentingan ekonomi mereka.

Pengaruh Perang Dingin:

Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet turut memengaruhi sikap Sekutu terhadap Indonesia.

Indonesia yang saat itu condong ke Blok Timur dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan Blok Barat.

Dengan mendukung Belanda, Sekutu berharap dapat mencegah pengaruh komunisme meluas di Indonesia.

Ketidakpercayaan terhadap Kemampuan Indonesia:

Sekutu meragukan kemampuan Indonesia untuk membangun negara yang stabil dan demokratis.

Mereka menganggap Indonesia masih terlalu muda dan belum siap untuk merdeka.

Kekhawatiran akan munculnya kekacauan dan instabilitas di Indonesia menjadi alasan lain bagi Sekutu untuk mendukung Belanda.

Yogyakarta, sebagai ibu kota Republik Indonesia saat itu, menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan.

Merebut Yogyakarta berarti melumpuhkan jantung pemerintahan Indonesia, mematahkan semangat juang rakyat, dan membuka jalan bagi Belanda untuk kembali menguasai Indonesia.

Agresi Militer Belanda II pun dilancarkan.

Yogyakarta dibombardir, para pemimpin Indonesia ditangkap, dan pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan ke Bukittinggi.

Dunia internasional mengecam agresi Belanda, namun Sekutu tetap bergeming.

Namun, api semangat juang rakyat Indonesia tak mudah padam.

Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi bukti bahwa Indonesia masih ada, masih bernyawa, dan siap berjuang sampai titik darah penghabisan.

Peristiwa heroik ini mengguncang dunia, membuka mata Sekutu akan kegigihan bangsa Indonesia.

Tekanan dari dunia internasional semakin kuat, memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.

Konferensi Meja Bundar di Den Haag pun digelar, menandai babak baru dalam perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan yang sejati.

Agresi Militer Belanda II dan sikap ambigu Sekutu menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia.

Kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan yang panjang dan berliku.

Kemerdekaan juga mengajarkan kita untuk selalu waspada, tidak mudah percaya pada janji manis negara lain, dan senantiasa mengutamakan kepentingan nasional.

Sumber:

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Kahin, G. McT. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press.

Anderson, B. (1972). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946. Ithaca, New York: Cornell University Press.

Reid, A. (1974). The Indonesian National Revolution 1945–1950. Melbourne: Longman Australia.

Cribb, R. (1991). Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution 1945–1949. Sydney: Allen& Unwin.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait