Penulis
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Kabut tipis menyelimuti lereng gunung yang menjulang tinggi, menyentuh langit fajar yang masih malu-malu menampakkan semburatnya.
Di antara keheningan pagi, tampak seorang perempuan dengan pakaian tradisional berjalan menuju sebuah punden kuno.
Di tangannya, ia membawa sebuah wadah anyaman bambu berisi aneka sesaji: bunga-bunga yang harum, buah-buahan yang ranum, dan makanan yang dimasak dengan penuh ketelatenan.
Dengan langkah yang pelan dan penuh hormat, ia meletakkan sesaji tersebut di atas batu altar, lalu menundukkan kepala, memanjatkan doa dalam bahasa yang hampir terlupakan.
Adegan ini mungkin tampak asing bagi sebagian orang, namun bagi masyarakat Indonesia, khususnya di daerah pedesaan, ritual sesaji bukanlah hal yang aneh.
Sesaji, atau yang juga dikenal dengan istilah sajen, merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi dan budaya Indonesia sejak zaman dahulu kala.
Ia adalah simbol penghormatan kepada leluhur, alam semesta, dan kekuatan gaib yang diyakini menaungi kehidupan manusia.
Namun, tahukah kita sejak kapan budaya sesaji ini melekat dengan tradisi di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menelusuri lorong waktu, menyelami jejak-jejak sejarah yang terukir di relief candi, prasasti kuno, dan naskah-naskah lama.
Mari kita bersama-sama mengungkap misteri di balik tradisi sesaji, sebuah warisan budaya yang kaya makna dan sarat akan nilai-nilai luhur.
Jejak Sesaji di Zaman Prasejarah
Jauh sebelum cahaya peradaban Hindu-Buddha menyinari Nusantara, nenek moyang kita telah mengenal praktik sesaji.
Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa masyarakat prasejarah di Indonesia telah melakukan ritual-ritual yang melibatkan persembahan kepada roh nenek moyang dan kekuatan alam.
Di situs-situs megalitikum seperti Gunung Padang, Pasemah, dan Lore Lindu, ditemukan berbagai artefak yang mengindikasikan adanya praktik sesaji, seperti menhir, dolmen, sarkofagus, dan bekal kubur.
Salah satu contoh yang menarik adalah penemuan nekara perunggu di beberapa wilayah Indonesia.
Nekara, yang merupakan genderang besar yang terbuat dari perunggu, diyakini memiliki kekuatan magis dan digunakan dalam upacara-upacara adat, termasuk ritual sesaji.
Pada beberapa nekara, terdapat relief-relief yang menggambarkan adegan perburuan, pertanian, dan pelayaran, yang menunjukkan bahwa sesaji telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat prasejarah.
Pengaruh Hindu-Buddha dan Akulturasi Budaya
Memasuki era Hindu-Buddha, budaya sesaji semakin berkembang dan mengakar kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia.
Agama Hindu dan Buddha, yang masuk ke Nusantara sekitar abad ke-4 Masehi, membawa serta konsep-konsep baru tentang dewa-dewi, roh halus, dan karma.
Konsep-konsep ini kemudian berasimilasi dengan kepercayaan animisme dan dinamisme yang telah ada sebelumnya, membentuk sebuah sistem kepercayaan yang kompleks dan kaya akan ritual.
Candi-candi megah yang dibangun pada masa Hindu-Buddha, seperti Borobudur, Prambanan, dan Dieng, menjadi saksi bisu dari praktik sesaji yang dilakukan oleh masyarakat pada masa itu.
Relief-relief yang menghiasi dinding candi menggambarkan berbagai adegan sesaji, seperti persembahan bunga, buah-buahan, dan hewan kurban kepada dewa-dewi.
Kitab-kitab kuno seperti Ramayana dan Mahabharata juga memuat kisah-kisah tentang ritual sesaji yang dilakukan oleh para raja dan masyarakat awam.
Sesaji dalam Bingkai Kearifan Lokal
Meskipun agama Hindu dan Buddha telah lama surut di sebagian besar wilayah Indonesia, tradisi sesaji tetap lestari dan beradaptasi dengan berbagai kepercayaan dan budaya lokal.
Di Jawa, misalnya, sesaji sering dikaitkan dengan ritual slametan, sebuah upacara adat yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan keberkahan.
Sesaji yang disajikan dalam slametan biasanya berupa tumpeng, nasi kuning yang dibentuk kerucut dan dihiasi dengan lauk-pauk.
Di Bali, sesaji menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu.
Hampir di setiap sudut rumah, pura, dan tempat-tempat suci lainnya, dapat dijumpai sesaji yang disebut canang.
Canang terdiri dari bunga, daun sirih, kapur sirih, pinang, dan dupa, yang disusun dalam wadah kecil yang terbuat dari daun kelapa.
Masyarakat Bali percaya bahwa canang merupakan persembahan kepada Tuhan dan manifestasinya, serta sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia yang telah diberikan.
Makna dan Fungsi Sesaji
Di balik beragam bentuk dan cara penyajiannya, sesaji memiliki makna dan fungsi yang mendalam dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Sesaji bukan sekadar ritual kosong, melainkan sebuah simbol dari rasa syukur, penghormatan, dan permohonan kepada Tuhan, leluhur, dan alam semesta.
Rasa Syukur: Sesaji merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan.
Melalui sesaji, manusia menunjukkan rasa terima kasihnya atas kehidupan, kesehatan, rezeki, dan segala hal baik yang telah diterimanya.
Penghormatan: Sesaji juga merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur dan roh-roh halus yang diyakini masih berada di sekitar manusia.
Dengan memberikan sesaji, manusia menunjukkan rasa hormat dan baktinya kepada leluhur, serta memohon doa restu agar senantiasa dilindungi dan diberikan keberkahan.
Permohonan: Selain sebagai ungkapan rasa syukur dan penghormatan, sesaji juga berfungsi sebagai sarana permohonan kepada Tuhan dan kekuatan gaib.
Manusia memanjatkan doa dan harapannya melalui sesaji, memohon keselamatan, kesehatan, rezeki, keberhasilan, dan perlindungan dari segala marabahaya.
Sesaji dalam Perspektif Modern
Di era modern yang serba rasional dan pragmatis, tradisi sesaji seringkali dipandang sebelah mata.
Sebagian orang menganggap sesaji sebagai praktik yang kuno, tidak relevan, bahkan bertentangan dengan ajaran agama.
Namun, di sisi lain, masih banyak masyarakat Indonesia yang tetap melestarikan tradisi sesaji sebagai bagian dari identitas budaya dan warisan leluhur.
Sesaji, terlepas dari kontroversi yang menyertainya, merupakan cerminan dari kearifan lokal dan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.
Ia mengajarkan kita untuk senantiasa bersyukur, menghormati leluhur, dan menjaga harmoni dengan alam semesta.
Di tengah arus modernisasi yang deras, sesaji menjadi pengingat akan akar budaya dan jati diri bangsa Indonesia.
Sumber:
Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Sedyawati, Edi. (2006). Kebudayaan Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Pers.
Su'ud, Abu. (2004). Islam dan Kearifan Lokal: Perspektif Antropologi Agama. Yogyakarta: LKiS.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---