Nasib Pilu Wanita 'Panas' Bahu Laweyan Pemangsa Pasangannya Sendiri

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Kisah wanita bahu laweyan, si pemangsa pasangannya sendiri. Bagaimana pandangan para ahli? (Dok. Intisari)

[ARSIP Intisari]

Pernah dengar seorang wanita yang setiap kali menikah selalu ditinggal mati pasangannya? Benarkah dia ditakdirkan sial terus? Dalam kultur Jawa, manusia panas itu disebut bahu laweyan. Nah, bagaimana duduk persoalan misteri ini beberapa "pakar" mencoba mengungkapkannya.

Artikel ini ditulis olehShinta Teviningrum, B. Soelist, dan Djati S., tayang di Majalah Intisari pada Maret 1996

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Wingit dan seram. Kesan ini muncul setiap kali seseorang membayangkan suasana pekuburan. Konon tempat itu adalah markas hantu, pocong, gendruwo, dan berbagai bentuk ujud makhluk menakutkan lainnya.

Orang pun enggan mendatangi tempat-tempat tersebut bila tidak disertai maksud-maksud tertentu.

Masa nyadran, beberapa hari menjelang puasa, bagi masyarakat jawa merupakan kesempatan baik untuk nyekar. Tak heran bila banyak orang memenuhi tempat-tempat pekuburan untuk "mengunjungi" mereka yang telah lebih dulu menghadap Yang Mahakuasa.

Suasana serupa terpotret di sebuah kompleks makam Kota Semarang, Jawa Tengah.

Bukan kerumunan orang yang nampak memancing perhatian, namun justru kesendirian seorang wanita paruh baya yang dengan kekhusyukan tersendiri membedakannya dengan pengunjung lain. Rona raut wajah, tarikan napas yang dalam, serta getar bibirnya yang berucap lirih menyiratkan kalau ia menyimpan kepedihan yang mendalam.

Hal lain yang mencolok, wanita rupawan ini tak cukup nyekar pada satu kubur, meski sesungguhnya dia pun bukanlah satu-satunya pengunjung makam yang berpindah dari satu makam ke makam lain.

Cukup lama waktu yang dihabiskan untuk tafakur pada tiap-tiap makam. Saat banyak pengunjung mulai meninggalkan perkuburan, ia masih betah berlama-lama merenung di sisi makam yang entah keberapa.

"Kasihan, Bu Tinah itu orangnya baik tapi kok ya nasibnya buruk. Selain makam bapak-ibunya, ketiga makam itu adalah kubur para suaminya," cetus Pak Dipo, ketika itu juru kunci kuburan, saat melihat wanita tersebut berjalan keluar kompleks kuburan.

Tangan kurus Pak Dipo yang penuh otot menunjuk ke makam-makam suami Bu Tinah yang letaknya di ketinggian dan saling berdekatan, "Di sana, nisan putih itu makam suami pertamanya, lalu yang kedua bernisan abu-abu, sedang yang ketiga masih berupa patok kayu."

Pak Dipo yang sudah bertugas sebagai penjaga kubur selama puluhan tahun itu mengaku, kenal betul sekaligus kagum terhadap ketegaran Bu Tinah.

"Bayangkan, dalam waktu kurang dari sepuluh tahun tiga kali ia ditinggal mati suaminya. Itu juga, kata keluarganya, tanpa didahului pertanda, firasat, apalagi kok sakit," Pak Dipo menjelaskan. "Tapi, dengar-dengar lo, kabarnya Bu Tinah akan menikah lagi dengan teman kantornya beberapa bulan mendatang. Syukurlah. Semoga bisa langgeng tidak seperti yang sebelumnya, dan bisa memperoleh keturunan. Kalau saya ya, mungkin sudah takut dan kapok untuk berumah tangga lagi."

Manusia "panas" pembawa sial?

Tragis. Itulah kesan setiap orang bila mendengar nasib malang Bu Tinah. Namun sebenarnya, Bu Tinah bukanlah satu-satunya insan yang terus-menerus dirundung malang kehilangan suaminya.

Paranormal dari Kotagede, Yogyakarta, Supriyadi membenarkan keberadaan fenomena tersebut dengan kondisi yang persis diutarakan oleh Pak Dipo, "Dalam masyarakat Jawa, orang yang berulang kali ditinggal mati pasangannya secara mendadak tanpa sempat menurunkan anak sering disebut bahu laweyan."

Supriyadi yang sering dimintai tolong menyembuhkan penyakit nonmedis mengkategorikan bahu laweyan sebagai manusia "cacat" sejak lahir atau manusia "panas" yang mendatangkan malapetaka bagi pasangan hidupnya. Meski lebih sering perempuan, bahu laweyan bisa terwujud baik pada diri lelaki atau perempuan.

"Saya sendiri tidak tahu mengapa, mungkin sudah kodrat," ujar tokoh spiritual yang enggan disebut sebagai dukun atau paranormal itu.

Dalam menentukan pasangan hidup, keluarga Jawa pasti akan melihat semua segi latar belakang calonnya. Terutama orangtua yang masih lekat dan mempertimbangkan segala sesuatu dengan nilai-nilai budaya Jawa, tentu mengerti benar bahwa manusia "panas" pantang dinikahi.

Lebih lanjut menurut Pak Supri, pria atau wanita bahu laweyan sebenarnya seperti manusia biasa lainnya. "Malah dia sendiri pun tidak tahu kalau memiliki kekuatan ‘membunuh’ istri/suami. Dia baru sadar setelah tiga empat kali mengarungi biduk perkawinan selalu ditinggal mati suami atau istri."

Saat kematian pasangan pertama, orang belum curiga dan menganggapnya kematian biasa. Keluarga dekatnya baru akan berpikir bila hal yang sama menimpa pasangan kedua. Apabila manusia bahu laweyan ini menikah yang ketiga kalinya, dan kembali pasangannya menghadapi kematian, barulah sanak saudara dan masyarakat sadar ada yang tidak beres dalam tubuh manusia tersebut.

"Biasanya setelah perkawinan yang ketiga, betapa pun cantik atau gantengnya, dia akan kesulitan mencari pasangan. Memangnya siapa yang berani menanggung risiko kematian?" ujar Pak Supri.

Tapi menurutnya, bila sampai tiga kali menjalani perkawinan dengan selalu mengorbankan pasangannya, umumnya janda atau duda dari masyarakat Jawa akan tahu diri dan takut kawin lagi.

Sedangkan budayawan Jawa Karkono Kamajaya PK mengaku, meski tidak tahu ciri-ciri fisik orang bahu laweyan, tapi percaya orang semacam itu memang ada. Ketua Javanologi Panunggalan Yogyakarta ini sedari kecil telah mengetahui istilah manusia bahu laweyan, bahkan pernah kenal akrab salah seorang di antaranya.

"Yang saya tahu, bahu laweyan hanya untuk perempuan. Suami wanita ini tidak selalu meninggal, tapi ada saja malapetaka atau kesialan menimpa hidupnya. Entah itu kecelakaan, sakit-sakitan, atau yang lainnya. Pokoknya, sial terus," ujarnya merinci garis nasib para bahu laweyan.

"Didiami" makhluk halus

Kemalangan yang menyertai manusia bahu laweyan, menurut Dra. Astuti Hendrato, mantan dosen sastra Jawa UI, lebih disebabkan oleh nasib atau bawaan. "Kalau menurut orang Jawa, ndilalah atau kebetulan saja orang tersebut ditimpa nasib buruk. Bukan karena keturunan."

Pendapat tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Karkono bahwa bahu laweyan itu merupakan bawaan sejak lahir. Sementara penjelasan yang melandasinya, "Sulit kalau harus" dinalarkan, karena ini memang menyangkut kepercayaan orang Jawa," tuturnya.

Meskipun berpandangan sama bahwa bahu laweyan merupakan bawaan bukan keturunan, pemahaman yang diajukan Pak Supri lebih mudah dimengerti. Menurutnya, "Tubuh manusia bahu laweyan dipinjam sebagai wadah oleh makhluk halus jahat yang ingin menguasainya. Karenanya, kalau ada yang mengawininya, makhluk halus ini tak rela dan membunuhnya."

Konon perbuatan keji makhluk itu akan berhenti setelah memangsa tujuh kali nyawa pasangan hidup manusia bahu laweyan.

Meski kurang terlalu yakin, Supri menduga tujuh korban atau nyawa itu berkaitan dengan tali pengikat mayat manusia yang berjumlah tujuh. Jadi pada perkawinan yang kedelapan kalinya, pasangan hidup itu sebenarnya akan selamat.

"Tapi jarang, bahkan bisa dibilang tidak ada orang yang berani mencoba menikahinya. Biasanya kalau ada janda yang sudah tiga kali ditinggal mati pasangan hidupnya, orang lain pun tidak berani mencoba mengawininya lagi," ujar bapak beranak tiga itu tertawa.

Seperti layaknya makhluk halus, penghuni wadah itu pada tengah malam saat pasangan bahu laweyan tertidur lelap akan keluar dari tubuh pemiliknya dalam ujud asap kecil.

"Asap kecil yang tak lain si makhluk halus itu kemudian akan memangsa tubuh korban dengan cara mengisap darahnya," Supri menjelaskan cara kerja makhluk halus jahat. Itu pula sebabnya, kematian mendadak pasangan bahu laweyan itu sering terjadi pada tengah malam.

Meski begitu, orang awam tidak akan melihat tanda-tanda bahwa korban mati karena diisap darahnya.

Mayat korban bahu laweyan serupa dengan mayat biasa lainnya. Untuk membuktikannya, Pak Supri menuturkan, perlu dilakukan cara-cara khusus yang tak bisa dilakukan sembarang orang. Seperti yang dialaminya belasan tahun silam ketika bersama gurunya membuktikan korban kematian yang diduga akibat perkawinan dengan wanita bahu laweyan.

Wanita warga sebuah desa di DIY yang diduga bahu laweyan itu sebetulnya memiliki jalan hidup yang serupa dengan nasib Bu Tinah. Tiga kali perkawinannya yang belum membuahkan anak selalu berakhir dengan kematian suaminya.

Bedanya, bila keluarga almarhum suami Bu Tinah bisa menerima keadaan dan menganggap kematian tersebut melulu karena takdir, keluarga almarhum suami wanita Yogya itu malah menaruh curiga dan melaporkannya pada orang pintar, yang tak lain guru Pak Supri. Guru Pak Supri pun mencoba membuktikannya dengan menggunakan peralatan sederhana berupa sebuah kelapa muda dan pucuk daun janur kuning.

"Pucuk janur kuning dimasukkan ke dalam buah kelapa yang telah dikupas dan dilubangi. Lalu dengan janur kuning tadi air kelapa muda dipercikkan sedikit demi sedikit ke seluruh tubuh si mayat sebelum dimandikan," papar Pak Supri. Tak lama kemudian tubuh mayat yang semula mulus itu nampak dipenuhi dengan luka-luka merah seperti bekas gigitan!

Bayang ular di tubuh

Digantikan dengan apa pun kalau nyawa yang jadi taruhan, tak seorang pun mau mengawini seorang bahu laweyan. Lantas, bagaimana menentukan apakah seorang gadis atau perjaka termasuk kelompok bahu laweyan?

Drs. M.M. Sukarto K. Atmodjo, ahli tulisan kuno, dalam tulisannya "Fisiognomi dalam Masyarakat Jawa" yang pernah diseminarkan tahun 1993 di Yogyakarta, secara ringkas pernah menyinggung bahu laweyan.

Bahu laweyan identik dengan wanita tipe raseksa yang selain selalu mengalahkan suami, juga suaminya lekas meninggal.

Bersumber pada data naskah-naskah kuno Sukarto mengatakan, ciri-ciri tipe wanita raseksa atau bahu laweyan adalah memiliki tanda dua lingkaran di punggung kiri dan kanan yang disebut sujen pala, serta dua lingkaran di pantat kiri dan kanan atau sujen bokong.

Tak jauh berbeda dengan keterangan di atas, Ny. Indah SP seorang wanita paranormal dari Bekasi menuturkan, yang menandai apakah seseorang itu bahu laweyan atau tidak adalah terdapatnya tanda lahir atau toh di punggungnya.

Dalam hal ini, baik Ny. Indah SP maupun Ny. Astuti Hendrato, menuturkan bahwa sebagian besar masyarakat Jawa meyakini dan percaya tanda-tanda di tubuh atau bentuk anggota badan mencerminkan watak dan nasib seseorang.

Misalnya, tahi lalat di bibir berarti orangnya ceriwis. Pemilik tahi lalat di pundak adalah orang yang selama hidupnya berbeban berat. Begitu pula dengan tanda-tanda lain yang ada di bagian-bagian tubuh tertentu.

Mengenai tanda yang menyertai kelompok bahu laweyan, Ny. Astuti menyebutkan adanya benjolan di salah satu bagian bahu. Ciri lain adalah gambar ular berbentuk bayang-bayang di bawah kulit tubuhnya. Namun, menurut Astuti gambar ular itu hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki kemampuan khusus.

Sementara melihat benjolan dan bayang ular di tubuh tidak bisa dilakukan sembarang orang, ada tanda lain yang lebih mudah untuk dilihat yaitu toh coklat di kulit kepala yang menunjukkan gambar tertentu atau toh berwarna biru yang terdapat di alat kelamin. Khusus toh biru ini biasanya tidak hanya terdapat di bagian luar tapi sampai masuk ke dalam organ tersebut.

Menilik letaknya di tempat-tempat yang tersembunyi, tanda ini pun ternyata tak lebih mudah dideteksi dibandingkan dengan benjolan bahu atau bayang ular.

"Memang sulit menentukan apakah seseorang gadis atau perjaka calon pasangan hidup termasuk kelompok bahu laweyan atau bukan. Masa ya belum apa-apa sudah mau melihat tanda di daerah rawan, 'kan saru," ujar para ibu tadi bercanda.

Kesulitan serupa juga dirasakan Pak Supri yang katanya pernah mengenal wanita bahu laweyan, karena memang secara fisik tidak punya perbedaan mencolok dengan orang biasa.

Orang baru bisa menyebutnya bahu laweyan setelah mengetahui rentetan peristiwa buruk yang menimpanya. Tapi menurut Supri, secara umum ciri manusia bahu laweyan adalah tumbuhnya rambut putih pada user-user di kepalanya.

Kuat nglakoni

Bagi orang yang berniat mengawini janda/duda yang diduga bahu laweyan, ada tindak pencegahan sebelum menjadi korban. Syaratnya, menurut Pak Supri, harus mampu mengalahkan roh halus yang ada dalam tubuh manusia panas tersebut.

Caranya, justru dengan mengawini terlebih dahulu si manusia bahu laweyan itu, karena hanya pasangan hidupnya-lah yang dapat membebaskan penderitaan manusia bahu laweyan.

"Setelah melangsungkan perkawinan, hendaknya dilaksanakan tepat pada hari kelahiran si manusia "panas" itu, pelaku yang ingin mengalahkan makhluk halus itu segera berpuasa mutih selama 40 hari. Syarat lain, tidur setelah pukul 1 malam," ujar Pak Supri.

Tidurnya pun tidak di atas ranjang, melainkan di lantai beralas tikar.

"Satu syarat penting yang tidak boleh dilupakan, berdoa sepanjang malam, mohon keselamatan kepada Tuhan agar terbebas dari malapetaka. Jika selama 40 hari itu tak terjadi apa-apa, itu berarti Anda akan selamat selamanya," Pak Supri menjabarkan berbagai syarat untuk nglakoni sambil menambahkan satu saran terakhir agar pasangan tersebut tidak melakukan hubungan suami-istri selama masa 40 hari - yang disebutnya masa kritis bagi yang ingin membebaskan penderitaan suami atau istri "panas"-nya.

Selama masa 40 hari itu diakui tak sedikit serangan, ujian, dan godaan, mulai yang sederhana seperti rasa lapar, mengantuk, dan keinginan mencampuri pasangan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan si pelaku akan melihat makhluk halus mengerikan yang muncul dari tubuh pasangannya yang sedang tidur.

"Kalau ini terjadi, jangan takut. Sebab itu pertanda hilangnya penderitaan si bahu laweyan, atau berarti kemenangan di pihak pelaku," Pak Supri menasihati.

Sepakat dengan pendapat Ibu Astuti Hendrato, cara lain untuk meluruhkan nasib buruk bahu laweyan, budayawan Jawa H. Karkono Kamajaya PK menganjurkan, "Melakukan ruwatan, siapa tahu dapat terbebaskan."

Meski ia tidak berani menjamin, setelah diruwat akan hilang sialnya. "Semua itu kembali kepada niat dan keyakinan manusia yang bersangkutan. Meski saya belum pernah melihat ada orang bahu laweyan diruwat," ungkapnya.

Makna ruwatan sendiri, Karkono menjelaskan, berarti pembebasan malapetaka bagi manusia sukerto (manusia yang terancam jiwanya). Dalam prosesi lengkap upacara ruwatan antara lain dipergelarkan wayang kulit khusus berlakon murwakala.

Namun budayawan Jawa ini mengingatkan, manusia bahu laweyan berbeda dengan manusia sukerto yang hanya akan terbebaskan melalui upacara ruwatan. Apabila sukerto dapat diramal ketika masih bayi berdasarkan ketentuan-ketentuan baku seperti anak tunggal atau ontang-anting dll., maka bahu laweyan tidak dapat.

"Jangan heran kalau akhirnya ada orang yang melaksanakan ruwatan tepat sebelum anak-anaknya menikah, sebagai syarat tolak bala atau mencegah kejadian-kejadian buruk menimpanya," ujar Ibu Astuti sambil melantunkan tembang Rajah Jaramaya yang digunakan dalam upacara ruwatan.

Sementara Ny. Indah SP menawarkan cara lain yang lebih mudah dilakukan. "Kalau yang bersangkutan mau, saya bisa memberinya sarana baik untuk wanita bahu laweyan maupun pasangan hidupnya, untuk terhindar dari petaka yang tak diinginkan."

Sarana yang dimaksudkan tersebut bisa dibawa yang bersangkutan ke mana saja pergi atau cukup disimpan di rumah saja.

Terlepas dari berbagai ikhtiar, para "pakar" tersebut di atas tetap percaya, bahwa semua itu akan tergantung pada kehendak-Nya. Toh, manusia hanya bisa berupaya Tuhan yang menentukan.

Artikel Terkait