Di Jepang yang Gendut yang Perkasa, Hidup Bergelimang Yen jika Juara

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Sumo, wajib hukumnya berbadan gemuk. Meski begitu, tetap harus lincah dan atletis. Sang juara akan bertabur yen dan biasanya istrinya cantik-cantik

Pesumo wajib hukumnya gemuk.Kenyataan ini membantah dalil bahwa obesitas identik dengan rawan penyakit. Lebih dari 1.500 tahun gulat ala Jepang itu jadi tradisi, hampir tak ada korban melayang karena kegemukan. Kini orang justru berebutan jadi pesumo supaya kaya dan mendapat status terhormat.

Artikel ini digubah dari tulisan Mayong Suryo Laksono berjudul "Yang Gendut Yang Perkasa" tayang Juli 1993

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Akebono Taro memang raksasa. Tinggi badannya 204 cm, dan bobotnya 207 kg. Dia tak hanya leluasa menggapai langit-langit; suasana sumpek dan gelap pun akan terasa jika tubuhnya mengalangi cahaya.

Tapi jangan kira dia selamban dan sedungu para raksasa dalam cerita. Badannya cukup lentur untuk menghindar dari sergapan lawan kemudian menjatuhkannya.

Kakinya pun tampak lincah ketika ia berjalan setengah jongkok dalam upacara dohyo-iri (memasuki arena pertandingan), kemudian menendang ke udara - sambil memiringkan badan hingga kedua kaki hampir membentuk sudut 180°.

Akebono adalah rikishi (pesumo) terhebat di Jepang pada masanya. Dalam usia 23 dia merebut gelar yokozuna, juara kelas tertinggi pada divisi paling elite dalam gulat tradisional Jepang itu. Gelar grand champion didapatkannya setelah memenangkan turnamen besar di Tokyo, Januari lalu.

Sebelumnya dia telah ikut di 31 turnamen - masing-masing berlangsung 15 hari - dan mencatatkan prestasi gemilang. Jika rikishi lain perlu waktu sedikitnya 7 tahun untuk sampai ke divisi tertinggi - namun banyak yang tak pernah sampai - Akebono butuh 6 tahun saja.

Dia menjadi yokozuna ke-64, jumlah yang sangat sedikit dibandingkan dengan ribuan pesumo yang pernah dan masih ada, serta lamanya usia tradisi ini. Membuktikan langkanya gelar yokozuna, sekaligus menunjukkan beratnya perjuangan menuju tingkat tertinggi.

(Menurut penulis olahraga Nobuyashu Okabe dalam Majalah Yoke Juli 1992, peluang pesumo untuk sampai ke divisi ini 1:400).

Satu lagi catatan penting: Akebono bukanlah orang Jepang asli. Dia berdarah Hawaii dengan nama asli Chadwick Rowan. Sebelumnya dia pemain basket universitas, dan sejak 1988 beremigrasi ke Jepang atas ajakan Takamiyama (juga orang Hawaii dengan nama asli Jesse Kahalua) mantan juara sekiwake (divisi ke-3) yang pada 1982 mendirikan heya (sasana sumo) dan mencari bakat ke tanah kelahirannya.

Kalau Takamiyama orang asing pertama yang mencapai tingkat sekiwake, Akebono orang asing pertama yang mencapai gelar "juaranya para juara" sumo di Jepang.

Di antara keduanya terdapat Konishiki (nama aslinya Salevaa Atisanoe), kakak seperguruan Akebono yang berpotensi besar merebut gelar juara yokozuna, namun terhenti pada divisi ozeki (kedua) karena cedera.

Dalam catatan Majalah Pacific Friend April 1993, Akebono terbaik di antara ke-3 imigran Hawaii itu, juga terbaik di antara 87 pesumo asing yang pernah berkarier di Jepang sejak Perang Dunia II. Bahkan jadi yang terbaik di antara seluruh pesumo.

Bergelimang yen

Sumo memang tak lagi mengharuskan orang Jepang sebagai pelakunya. Menurut Jonathan Twombly dalam Look Japan, November 1991, gejala sudah terjadi sejak tahun 1930-an, ketika Shoji Hiraga yang blasteran Jepang-Amerika meniti karier sebagai pesumo di Jepang.

Kemudian disusul orang Argentina, orang Inggris, pendatang dari Hawaii, Cina, dll. Sampai sekarang, dari sekitar 800 pesumo yang bernaung dalam wadah Japanese Sumo Association, banyak di antaranya yang asal Taiwan.

Kegiatan sumo pun tak hanya terjadi di negeri kelahirannya. Menurut South China Morning Post edisi 21 Februari 1993 di Hong Kong tercatat lebih dari 100 pesumo amatir yang tergabung dalam beberapa sasana.

Turnamen sumo yang rutin diselenggarakan di Jepang pun acap mencatat peserta dari Korea dan Kepulauan Fiji. Banyak pula negara lain jadi penyelenggara—baik sekadar menggelar pertunjukan maupun turnamen. Hong Kong pernah, lalu Moskow, Beijing, Shanghai, Kota Meksiko, New York, Paris, Sao Paulo, London, Madri, dan Dusseldorf, dan lainnya.

Sumo tak cuma makin dikenal dunia, tapi juga makin memancing perhatian dunia. Jejak langkah Shoji Hirada telah diikuti Takamiyama dan murid-muridnya. Alasan pokok—selain modal fisik yang memadai—barangkali besarnya peluang meraih rezeki.

Orang Jepang tahu, pesumo profesional dan berprestasi pasti kaya. Seorang juara akan bergelimang harta. Namun orang juga tahu, jalan teramat berat untuk sampai ke tingkat tertinggi.

Remaja 12 atau 13 tahun yang bergabung dalam sasana sumo harus melalui proses magang menjadi tsukebito. Kerjanya berlatih dan berlatih sambil diet menggemukkan badan, juga berkenalan dengan aturan dan tradisi sumo.

Ujian mental dan fisik berlangsung setiap hari, hingga jumlah calon yang gugur mencapai 80%. Tsukebito yang lulus akan disebut rikishi, dan dilatih lagi untuk masuk ke pro. Mula-mula dia akan berada di juryo, divisi paling bawah dari 6 peringkat profesional yang ada.

Sebagai pesumo pro, di sini ia berhak menyandang julukan Sekitori. Dia mendapatkan perlakuan dan pembinaan khusus, punya asisten yang mengurusi keperluannya, juga mulai mendapat gaji. Mawashi (cawat sumo) yang dikenakan bukan lagi terbuat dari katun, melainkan sutera.

Dia pun memiliki kesho-mawashi, pakaian khusus untuk upacara dan pertandingan yang harganya jutaan yen.

Di atas juryo adalah divisi makuuchi (arti harfiahnya "di dalam tabir") yang terbagi atas maegashira yang paling rendah, komusubi, sekiwake, ozeki, dan yokozuna yang paling tinggi. Semakin tinggi peringkat, jumlah pesumo makin sedikit. Gelar yokozuna hanya untuk 1 orang sampai dia dikalahkan pesumo lain.

Pesumo makuuchi biasa akan mendapat gaji 829.000 yen (Oktober 2024, sekitar 85 juta), sedangkan pesumo yokozuna akan bergaji 1,8 juta yen (±Rp185 juta) per bulan. Jika menang di sebuah turnamen akan menerima hadiah 5 juta yen (±Rp515 juta), plus jutaan lain dari sponsor.

Kendati tak harus mendapat nafkah sampingan seperti jadi model iklan atau semacamnya (etika sumo melarang mereka untuk memperoleh pendapatan dari bidang lain), pesumo profesional pasti makmur.

Kedudukan mereka sejajar dengan kaum profesional bidang lain, dihormati, dan disegani. Mereka jadi tokoh terkemuka, terkenal, bahkan tak sedikit yang jadi idola.

Contoh terjadi ketika juara sekiwake Takahanada bertunangan dengan bintang porno Rie Miyazawa, atau Konishiki yang juga bertunangan dengan gadis model, hampir seluruh media massa di dunia memberitakannya.

Penghormatan kepada dewa

Mulanya, sumo adalah pertarungan antarksatria demi membela kepentingan masing-masing kerajaan. Bentuk yang mendekati sumo dewasa ini baru diberlakukan sejak 1550. Meski waktu itu arena masih berbentuk segi 4, peraturan-peraturan baku telah dicanangkan.

Antara lain tak boleh mencakar, menarik rambut, meninju, atau menendang perut dan dada. Lima puluh tahun kemudian bentuk arena diubah menjadi lingkaran berdiameter 4,55 m, dan kemenangan pesumo ditentukan dari kemampuannya memaksa lawan keluar dohyo, atau menjatuhkannya hingga bagian badan kecuali telapak kaki menyentuh permukaan arena.

Di masa lalu, dohyo dibuat dari susunan batang padi (merang) yang di atasnya dilapisi tanah. Perpaduan padi dan tanah melambangkari ucapan syukur kepada dewa, sekaligus doa permohonan agar panen berhasil. Dohyo bukan hanya arena kalah dan menang, melainkan punya makna ritual, yakni tempat penghormatan.

Di masa sekarang, pembuatan dohyo lebih diwarnai pertimbangan praktis sesuai metode modern. Biasanya hanya terdiri atas pondasi kayu yang bagian atasnya dilapisi campuran semen dan tanah gembur.

"Yang terpenting adalah menjaga permukaan dohyo kuat namun cukup empuk agar para pesumo tak cedera ketika jatuh," kata Masahiro, seorang yobidashi (pengawas pertandingan) yang punya pengalaman 30 tahun dalam pembuatan dohyo.

Unsur ritual yang masih tersisa adalah upacara memasuki arena (dohyo-iri) yang mengharuskan pesumo berjalan setengah jongkok, kemudian menghormat kepada dewa, disusul penghormatan kepada penonton. Bagian terakhir ini belakangan makin bervariasi, disesuaikan dengan konsep-konsep pertunjukan.

Sejak 1958, Asosiasi Sumo Jepang membakukan 6 turnamen (honbasho) — masing-masing berlangsung 15 hari —setiap tahun. Mulai saat itu, gulat tradisional ini benar-benar diarahkan jadi tontonan kompetitif.

Setiap pertandingan diliput media massa, disaksikan penonton yang membeli karcis. Bagi para pelakunya, sumo dianggap sebagai atraksi. Ada unsur promosi, kemegahan diri, ada pula teror-teror mental kepada lawan.

Mungkin tak jauh beda dari gulat gaya bebas Amerika yang bernaung di bawah bendera World Wrestling Federation (WWF).

Tokoh yang mengawali ramuan prestasi dengan showmanship adalah Chiyonofuji. Dia dianggap juara komplet yang selalu memberi kesempatan lawannya untuk membalas serangan. Sesekali juga meramu dengan lawakan, dan di akhir pertandingan selalu memberi hormat kepada lawannya.

Itu berlangsung baik di luar dohyo dengan perilaku santun, maupun kiprah di divisi yokozuna dengan rekor 1.045 kemenangan pada 31 kejuaraan. Ketika dia mundur dalam usia 35 tahun, Mei 1991, penggemarnya merasa sangat kehilangan.

Perhatian beralih kepada Konishiki, satu-satunya pesumo yang punya potensi menggantikan Chiyonofuji sebagai juara yokozuna. Imigran Hawaii ini sejak datang ke Jepang tahun 1982 hanya perlu waktu 2 tahun untuk sampai ke divisi komusubi (ke-4).

Tahun berikutnya menginjak sekiwake, dan pada 1987 sampai ke peringkat ozeki. Sayang, dia gagal memenuhi syarat meraih 2 kemenangan honbasho berturut-turut atau mencatat rekor ekuivalen (ingat, tiap honbasho berlangsung 15 hari, dan dia harus memenangkan sebagian besar dari 15 pertandingan) untuk promosi ke yokozuna.

Hingga akhirnya, Akebono, adik seperguruannya, muncul sebagai pengganti, 2 tahun setelah Chiyonofuji pensiun. David Benjamin, penulis buku The Joy of Sumo: A Fan's Guide (1992) yang sejak semula yakin Akebono akan mengungguli Konishiki, berkomentar, "Akebono tak cuma besar, tapi juga atletis. Dalam olahraga apa pun, kemampuan atletik sangat menentukan."

Akebono mendapat julukan New Dawn (fajar baru). Julukan ini diberikan oleh pers Inggris ketika para pesumo bereksibisi di London pada 1991.

Pesumo lain pun mendapat julukan menggetarkan. Dump Truck (truk sampah) untuk Konishiki, Killer Whale (ikan paus pembunuh) untuk Akinoshima, Big Heart (jantung besar) untuk Takatoriki, Bulldog untuk mantan yokozuna Hokutoumi, The Fog (sang kabut) untuk juara ozeki Kirishima, Mighty Mouse (tikus perkasa) untuk Mainoumi, Typhoon (angin puyuh) untuk si tampan Tefao, atau Salt Shaker (pengaduk garam) untuk Mitoizumi.

Sejak itu, nama julukan itu dipakai ke mana pun si pesumo bertanding, diramu dengan kemampuan mengemasnya sebagai tontonan dan hiburan. Di samping 48 taktik baku sumo yang diterapkan, masing-masing pesumo punya gaya khas.

Mainoumi yang bertinggi badan hanya 171 cm, misalnya, sering mengecoh dengan tepukan tangan di depan muka lawannya sebelum membanting. Mitoizumi dijuluki Pengaduk Garam karena selalu menyebarkan garam ke udara sebelum pertandingan. Sedangkan Terao dijuluki Angin Puyuh karena sering menyeruduk bagaikan kanon ke badan lawan kemudian menjatuhkannya.

Isu feodal dan rasial

Di tiap heya (sasana), pengenalan budaya dan falsafah sumo berlangsung secara intensif. Bagi para tsukebito, masa magang adalah saat membuka diri terhadap nilai-nilai sumo. Mereka belajar ketaatan, latihan fisik, juga latihan teknik. Pada saat yang sama, konsumsi makan ditambah.

Ada daging rebus chanko nabe yang wajib dimakan pagi, siang, dan sore hari, ada pula makanan lain dalam porsi rata-rata 4 - 5 kali lipat orang biasa.

Mereka adalah pemuda-pemuda taat sekalipun hidup dipenuhi latihan berat. Senioritas tidak ditentukan oleh peringkat dan divisi, melainkan siapa yang lebih dahulu masuk ke heya. Anggota yang lebih lama bergabung dipersilakan mandi dan mengambil makanan lebih dahulu tanpa peduli peringkatnya.

Fakta inilah yang diutarakan Francisco J. Tablero, antropolog asal Spanyol lulusan Universitas Tokyo, untuk menyanggah kesan sumo adalah salah satu bentuk pewarisan nilai-nilai feodal bangsa Jepang.

"Dalam sumo saya tak menjumpai pewarisan kekuasaan berdasar keturunan seperti yang terjadi pada banyak perusahaan Jepang," kata Tablero.

"Jalan menuju puncak benar-benar karena tuntunan dan prestasi. Sedangkan sumo sebagai tradisi, ia berjalan netral sebagaimana tradisi lain; upacara minum teh atau pemberian karangan bunga," sambung pemegang dan II karate, menguasai judo dan kendo, yang merasa sukses meneliti sumo setelah patah tulang rusuk karena dibanting seorang maegashira (peringkat ke-5).

Kesan lain yang pernah mencuat adalah munculnya diskriminasi rasial dalam sumo. Ketika itu proses internasionalisasi sumo tengah berlangsung dengan makin banyaknya pesumo asing, namun orang Jepang tak rela kalau mereka sampai juara.

Isu yang sebelumnya dirasakan secara diam-diam, tiba-tiba diletupkan oleh Konishiki. "Saya tak dipromosikan ke divisi yokozuna karena pertimbangan rasialis," katanya setelah gagal mencapai divisi tertinggi pada 1992 lalu.

Kenyataan yang sebenarnya terjadi, Konishiki dirundung cedera. Walau tak sampai kyujo (mengundurkan diri dari turnamen karena cedera atau sakit), dia tak berhasil memenangkan 2 honbasho secara berturut-turut, dan tak punya rekor yang bisa disejajarkan dengan kemenangan itu.

Hal itulah yang dimaksudkan Tablero dengan mental juara sejati, yang tak dimiliki Konishiki.

Katanya, "Seorang yokozuna haruslah juara lengkap, baik dalam prestasi maupun ketegaran pribadi. Dengan menciptakan kemenangan di banyak turnamen, dia dapat mengatur rekornya agar punya cukup modal untuk jadi juara sejati. Betapa tinggi martabat dan kemampuan yang harus diemban seorang yokozuna."

Isu rasialisme memang sedikit bisa ditepis. Namun orang yang sudah terlanjur percaya sungguh sulit menemukan bukti. Sampai tiba saatnya, status "juara para juara" direbut Akebono, Januari 1993. Kesimpulan yang bisa ditarik, gelar yokozuna tak mengenal diskriminasi.

Sumo sungguh olahraga yang mendewakan prestasi. Bidang ini akan mempersembahkan gelar kepada siapa pun yang paling berhak dan paling perkasa, tanpa peduli asal dan kebangsaannya. Itulah sportivitas.

Artikel Terkait