Pembentukan Negara Boneka Belanda di Timur Nusantara

Afif Khoirul M

Penulis

Kisah Belanda ingin bentuk negara Papua sebagai negara boneka.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Senja di ufuk barat Papua meranggas pilu. Semilir angin membawa bisik duka, menggoreskan luka yang tak kunjung sembuh di hati bumi cendrawasih.

Di tanah yang kaya akan emas hijau dan budaya yang memesona, tersimpan kisah pilu tentang ambisi kolonial yang merenggut hak menentukan nasib sendiri.

Belanda, sang penjajah yang licik, dengan tipu daya dan muslihatnya, berusaha menancapkan kukunya kembali di bumi Papua melalui pembentukan negara boneka.

Kisah ini bermula dari ambisi Belanda yang tak pernah padam untuk menguasai Nusantara.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda tak rela kehilangan "zamrud khatulistiwa" yang telah lama menjadi sumber kekayaan mereka.

Papua, dengan segala potensinya, menjadi incaran utama dalam upaya Belanda untuk kembali berkuasa.

Strategi licik pun dijalankan. Belanda menyadari bahwa kekuatan militer saja tidak cukup untuk menaklukkan semangat juang rakyat Papua yang membara.

Mereka merangkul tokoh-tokoh lokal yang mudah dipengaruhi, menjanjikan kekuasaan dan kemakmuran semu.

Janji-janji manis itu bagai candu yang membius, mengaburkan mata hati dari kenyataan pahit yang sesungguhnya.

Konferensi Malino tahun 1946 menjadi panggung sandiwara politik Belanda. Di balik agenda resmi yang membahas pembentukan negara federal Indonesia, Belanda diam-diam menyusun rencana jahat untuk memisahkan Papua dari pangkuan Ibu Pertiwi.

Para tokoh Papua yang hadir, sebagian besar terbuai oleh rayuan Belanda, menyetujui pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) yang mencakup wilayah Papua.

NIT lahir sebagai bayi prematur, rapuh dan tak berdaya. Ia hanyalah boneka dalam genggaman Belanda, tak memiliki kedaulatan yang sesungguhnya.

Pemerintahannya dikendalikan dari jauh oleh Belanda, kebijakannya disusun untuk melayani kepentingan kolonial. Rakyat Papua, yang seharusnya menjadi tuan di negerinya sendiri, justru terpinggirkan dan terjajah di tanah kelahirannya.

Namun, api perlawanan tak pernah padam. Di tengah himpitan penjajahan, semangat juang rakyat Papua terus berkobar.

Mereka menolak menjadi budak di negerinya sendiri, mereka mendambakan kemerdekaan sejati di bawah naungan Sang Saka Merah Putih.

Gerakan-gerakan perlawanan pun bermunculan, baik secara terang-terangan maupun melalui jalur diplomasi.

Indonesia, sang ibu pertiwi, tak tinggal diam.

Presiden Soekarno dengan lantang menyuarakan penolakan terhadap pembentukan negara boneka di Papua.

Tri Komando Rakyat (Trikora) yang digaungkan pada tahun 1961 menjadi bukti nyata tekad Indonesia untuk membebaskan Papua dari belenggu kolonialisme.

Perjuangan panjang dan berliku akhirnya membuahkan hasil. Melalui perundingan yang alot dan tekanan internasional, Belanda akhirnya menyerahkan Papua kepada Indonesia pada tahun 1963.

Bendera Merah Putih pun berkibar dengan gagah di bumi cendrawasih, menandai kembalinya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Namun, luka sejarah tak mudah dilupakan. Pembentukan negara boneka di Papua menjadi catatan kelam dalam perjalanan bangsa Indonesia.

Ia menjadi pengingat akan kekejaman kolonialisme dan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Kini, Papua telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Pembangunan terus digalakkan, kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama. Namun, tantangan masih menghadang.

Luka masa lalu, kesenjangan sosial, dan isu separatisme masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama.

Di tengah gemerlap pembangunan, mari sejenak merenung. Mengenang perjuangan para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan Papua.

Menghargai jasa-jasa mereka yang telah menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Biarkan kisah pilu pembentukan negara boneka di Papua menjadi pelajaran berharga bagi generasi penerus.

Agar kita senantiasa waspada terhadap segala bentuk penjajahan, baik fisik maupun mental.

Agar kita selalu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta membangun Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait