Peradaban Bubur Nirkendur

Mahandis Yoanata Thamrin

Penulis

Saya kerap bingung bila tiba waktu mengudap sore. Nasi padang terlalu arogan sebagai kudapan, tetapi mi instan pun terlalu picisan.

Biasanya, pilihan pemungkasnya adalah bubur.Tepatnya, semangkuk bubur kacang hijau dan ketan hitam dengan kuah santan. Kebetulan di dekat kantor saya ada kedai burjo—begitu akronim lazimnya.

Beras ketan hitam tampaknya sudah menjadi pangan bagi orang Jawa pada masa klasik. Ketan hitam dianggap lebih elite daripada nasi dari beras. Sementara itu kacang hijau tampaknya dibawa memasuki Nusantara oleh pedagang Cina dan Portugis pada abad ke-17.

Thomas Stamford Raffles menyebut "kachang-iju" dalam bukunya bertajuk History of Java. "Orang Cina memakan sejenis kedelai atau gedele, yang tidak sebaik kedelai Jepang. Kachang-iju merupakan sayuran sehat yang mengandung banyak gizi dan disantap di daratan Hindia."

Ia mengungkap tanaman kacang hijau sebagai salah satu jenis dari kedelai—padahal keduanya merupakan spesies kacang berbeda. Ah, dia memang sok tahu.

Kadang orang-orang berseloroh, apa kenyang makan bubur? Bukankah bubur itu makanan rakyat miskin?Bagaimana bisa membangun sebuah kejayaan bangsa bila rakyatnya makan bubur?

Lho, jangan keliru, bubur telah membentuk peradaban.

Orang Romawi membangun kerajaan mereka dari bubur jelai. Orang India membangun kerajaan mereka dari bubur kacang miju-miju. Orang Cina membangun kekaisaran dari bubur beras.

Di catatan orang Cina, bubur beras sudah dibikin sejak 3.000 tahun lalu. Tepatnya, sejak Dinasti Zhou, sebelum Cina bersatu dalam kuasa Dinasti Qin.

Bubur beras menyebar ke penjuru Asia, termasuk Nusantara, termasuk beras ketan. Di keraton-keraton di Jawa—mungkin juga di penjuru kepulauan ini–bubur beras ketan kerap disajikan saat upacara kelahiran, selamatan atau penolak bala, upacara kematian, sampai mengenang yang wafat. Bubur ketan yang lengket itu memiliki filosofi sebagai simbol perekat atau mempersatukan.

Saya hendak membalas orang yang kerap mengolok-olok dengan kelakar: Bagaimana bisa maju kalau hanya makan bubur?

Ya, barangkali saja orang itu kurang banyak makan buburnya. Teladanilah sanubari-sanubari tentara Kekaisaran Tiongkok, Kekaisaran Romawi, dan raja-raja Nusantara yang membangun peradaban mereka dari bubur, lalu berperang tanpa kendur.

Lalu kenapa kita memiliki tradisi mencampur bubur ketan hitam dan bubur kacang hijau? Saya pikir menu itu bagian dari peleburan budaya: Indonesia tercipta karena perjumpaan-perjumpaan.