Penulis
[ARSIP CUKILAN BUKU]
Maulwi Saelan berada di samping Presiden Soekarno di saat-saat akhir kekuasaannya, 1965/1966, menjadi saksi ketika Putra Sang Fajar mulai dibatasi geraknya, dipersulit hubungannya dengan dunia luar, dikurangi dosis obat-obatan dan fasilitas kesehatannya, bahkan pernah ditolak untuk sekadar meminta sarapan.
Pencukil: Mayong SYL, dari buku Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno (2014) tayang di Majalah Intisari pada Januari 2015
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Jumat, 18 Maret 1966, Presiden Soekarno berangkat dari Istana Merdeka menuju ke Istana Bogor. Karena tidak lagi diperbolehkan naik helikopter, rombongan Presiden naik mobil dengan empat jip pengawalan, dua di depan dan dua di belakang.
Sesampai di dekat air mancur Medan Merdeka Barat, rombongan terhenti oleh beberapa truk militer RPKAD (Resimen Para-Komando Angkatan Darat, sekarang Kopassus TNI-AD).
Bahkan ada sebuah kendaraan lapis baja yang moncong senjatanya diarahkan ke mobil Presiden. Pasukan pengawalan langsung turun dari jip dan mengambil posisi di sekeliling mobil presiden. Pasukan RPKAD yang mencegat juga mengokang senjatanya. Situasi tegang, kedua pihak siap tembak.
Maulwi Saelan, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, langsung loncat dari mobil dan bergerak ke arah pasukan RPKAD sambil berteriak, “Jangan tembak, jangan tembak, jangan tembak!” Maulwi bicara dengan komandan pasukan RPKAD itu, dan tak lama kemudian truk-truk pun menepi. Rombongan Presiden Soekarno meneruskan perjalanan dengan selamat.
Petikan kisah di atas dituliskan oleh Asvi Warman Adam dalam pengantar buku ini, untuk memperlihatkan keberadaan Maulwi Saelan sebagai penjaga fisik Presiden Soekarno.
Purnawirawan perwira tinggi TNI-AD dengan pangkat terakhir brigadir jenderal itu juga dibesarkan oleh suasana perjuangan, terutama oleh laskar pelajar yang dilibatinya, di Makassar, Sulawesi Selatan, kota kelahirannya.
Dia mengalami masa peralihan dari penjajahan Jepang ke pemerintahan Sekutu, Belanda yang ingin kembali berkuasa, lantas meneruskan perjuangan dengan menjadi tentara di Pulau Jawa, masuk ke pusat kekuasaan sebagai anggota pasukan pengawal presiden, hingga menjadi korban ketika terjadi peralihan kekuasaan, termasuk dipenjara tanpa sidang pengadilan.
Nama baru pemberian guru
Nama aslinya adalah Surachman. Lahir di Makassar, 8 Agustus 1926, dari ayah seorang pedagang sukses yang kemudian masuk ke pemerintahan, Amin Saelan, dan Sukamtin dari keluarga dokter. Surachman anak kedua dan satu-satunya laki-laki dari delapan bersaudara: Emmy, Saeni, Elly, Evi, Rahayu, Saidah, dan Sabina.
Gurunya yang orang Belanda, di sekolah dasar Katolik Frater School, sulit mengucapkan namanya. Maka dia pun mengganti Surachman dengan nama kearabaraban: Maulwi.
Ayahnya, Amin, asal Pamekasan, Madura, sedangkan ibunya berdarah Jawa dari keluarga dokter yang dia temui ketika sekolah di Jakarta. Amin adalah satu-satunya yang hidup dari empat bersaudara. Yang lain meninggal. Karena itulah orangtuanya memberi dia nama Amin yang artinya orang baik. Nama Saelan baru ditambahkan sepulang Amin dari naik haji pada 1971-1972.
Amin bisa bersekolah pendidikan kejuruan khusus untuk anak-anak Belanda dan pejabat pemerintah, Koningien Wilhelmina School (KWS), karena ayahnya pedagang sukses. Belakangan anak-anaknya, termasuk Maulwi, juga dapat bersekolah Belanda lantaran dia seorang ambtenaar (pegawai negeri).
Lulus sekolah Amin Saelan bekerja sebagai pegawai negeri sipil bidang irigasi di Makassar. “Tapi station-nya di luar, dekat Parepare,” kata Maulwi. Ketika sudah memiliki anak, Amin Saelan kerap mengajak anak-istrinya ke Parepare. Di sanalah keluarga Amin Saelan kenal dengan keluarga Habibie – yang di kemudian hari menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia.
Amin pernah berselisih dengan Walikota Makassar yang orang Belanda. Dia disingkirkan dari pemerintahan dan memilih berkebun. Tapi belakangan dia kembali lagi menjadi pegawai negeri demi pendidikan anak-anaknya.
Ya, karena pegawai negeri, anak-anak bisa masuk ke sekolah dengan mutu baik. Amin menyekolahkan Maulwi di Sekolah Frater, sementara saudara-saudara perempuannya masuk ke sekolah Susteran.
Lulus Frater School pada 1939, Maulwi lalu masuk ke HBS B (Hogere Burger School bagian B/eksakta) yang muridnya kebanyakan orang Belanda dan elite pribumi, serta sebagian anak Tionghoa.
Pendidikan di HBS B resminya ditempuh selama lima tahun, setara dengan tiga tahun pendidikan MULO dan tiga tahun AMS yang diperuntukkan bagi pribumi. Namun belum sempat Maulwi menyelesaikan, situasi perpolitikan berubah.
Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 8 Maret 1942, menyusul negeri induknya yang menyerah kepada Jerman pada 15 Mei 1940. Maulwi pun mengikuti sistem pendidikan Jepang.
Tapi selama di HBS B, Bachtiar, salah seorang teman sepermainannya, mengingatkan bakat Maulwi dalam bidang olahraga. Gurunya adalah Andi Mattalatta. “Pak Maulwi itu tenis ya, berenang juga, segala macam. Sepakbola? Jangan ditanya,” kata Brigjen (Purn.) Bachtiar.
Di tim sepakbola mereka bersama dengan Ramang dan Suwar yang belakangan masuk ke tim nasional PSSI. Dan ketika PSSI menahan imbang Uni Soviet pada Olimpiade Melbourne 1956, Ramang penyerang tengah dan Maulwi Saelan penjaga gawang.
Akibat gubernur yang peragu
Ketika Jepang masuk, pendidikan berantakan. Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500, sekolah lanjutan dari 850 menjadi 20, serta 4 perguruan tinggi/fakultas untuk beberapa lama tidak bisa melakukan kegiatan. Jumlah murid sekolah dasar merosot 30%, murid sekolah menengah merosot 90%. Guru sekolah dasar berkurang 35%, sedangkan guru sekolah menengah yang aktif tinggal 5%.
Angka buta huruf melambung, sementara pemerintah Jepang sibuk menyeragamkan sistem pendidikan enam tahun pendidikan dasar, tiga tahun menengah, dan tiga tahun menengah tinggi.
Kekuasaan Jepang yang tidak berlangsung lama ternyata tidak segera membawa kebaikan bagi Makassar dan kawasan lain di Indonesia Timur. Sebab ketika pemerintah pusat pasca-kemerdekaan menunjuk Sam Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi, dia tidak segera melakukan konsolidasi dan membangun kekuatan.
Gubernur yang peragu itu membiarkan terjadinya kevakuman kekuasaan – apalagi belakangan Belanda datang lagi melalui NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie) yang mendompleng tentara Australia pada 2 Oktober 1945.
Pada 2 Oktober juga terjadi peristiwa panas di Makassar. Gara-garanya adalah pasukan KNIL (Koninklijk Nederlandsche-Indische Leger, kebanyakan berdarah Ambon, berbaur dengan sisa-sisa pasukan Belanda yang selama masa pendudukan Jepang ditangkap atau dilucuti) menyerang pemuda dan rakyat yang memakai lencana merah-putih di Jalan Losari, Karebosi, Maros, Mardekaya, Lajangiru, Maricaya dan Macini.
Rakyat pun marah dan dua hari kemudian menyerang balik orang-orang Ambon. Terjadi pembalasan massal terhadap orang-orang Ambon. “Peristiwa itu dikenal sebagai Ambon moord, pembunuhan orang Ambon,” kata Maulwi.
Semangat para pemuda terus membubung. Mereka bahkan dipenuhi kegembiraan memenuhi seantero Kota Makassar dan sebagian besar Sulawesi Selatan dengan bendera Merah-Putih. Gedung-gedung, bangunan-bangunan kantor mereka tempeli Merah-Putih, bendera dikibarkan, dan sebagian ditulisi "Milik RI".
Puncaknya adalah ketika para pemuda, yang dimotori pelajar Sekolah Nasional – produk penolakan atas permintaan NICA agar mereka kembali masuk sekolah Belanda – itu menduduki markas NICA di Hotel Empress.
Mereka menyerbu pada subuh 29 Oktober 1945, melumpuhkan para penjaga, dan membebaskan Manai Sophiaan yang ditahan di sana setelah ditangkap sehari sebelumnya, juga membuat pasukan Sekutu lari tunggang langgang.
Aksi heroik itu baru bisa diakhiri setelah pasukan Australia datang dan memberondong mereka dengan tembakan dari atas kendaraan. Ternyata pasukan pelajar itu tidak memiliki senjata yang memadai kecuali satu pistol dan dua granat sebagai modal utama menggertak.
Tapi bagaimanapun aksi pendudukan sesaat Hotel Empress telah menaikkan moril para pemuda, apalagi pada saat yang berdekatan, di tempat-tempat lain juga berlangsung aksi serupa. Di Surabaya, misalnya, pendudukan Hotel Oranje pada 10 November 1945 telah memberi pesan kepada dunia bahwa Republik Indonesia tetap ada.
Hijrah ke pusat revolusi
Belanda hampir kehilangan akal menghadapi para gerilyawan di Sulawesi Selatan. Apalagi para pemuda mendapat tambahan tenaga dari rombongan ekspedisi Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) dari P. Jawa. Maka Belanda melancarkan operasi militer besar-besaran dan melepas pasukan khusus di bawah Kapten Raymond “Turk” Westerling, pada Desember 1946.
Westerling melakukan taktik pemutusan hubungan gerilyawan–rakyat dengan teror, pembunuhan, dan pembantaian, tanpa melalui sidang pengadilan. Di kota dan kampung rakyat diteror agar memutuskan hubungan dengan pejuang gerilya. Sementara rakyat di pegunungan dan hutan juga diteror agar tidak memberi akses pada para gerilyawan, memutuskan jalur komunikasi, bahan makanan dan perbekalan.
Pembantaian dimulai di Kota Makassar dan sekitarnya pada 11-16 Desember 1946, lalu bergeser ke Gowa, Takalar, Jeneponto, Polongbangkeng, dan Binamu (17-31 Desember), Bonthain, Gantaran, Bulukumba, Sinjai (2-16 Januari 1947), Maros, Pangkajene, Sigeri, Tanete, Barru, Parepare, Polewali, Mandar, Sidenreng, dan Rappang (17 Januari – 5 Maret ).
Tidak hanya oleh Westerling, tapi juga wakil-wakil dan komandan batalyon lain seperti Letnan Vermeulen, Mayor Stufkens, dan Kapten Ray Borg. Merekalah yang meneruskan kekejaman setelah Westerling ditarik pada 4 Maret 1947.
Pembantaian dan teror itu amat efektif sehingga sendi-sendi perlawanan gerilya berantakan. Karena itu, pada medio 1947, atas pertimbangan perjuangan jangka panjang, pemimpin teras Divisi Hasanuddin memutuskan sebagian tetap bergerilya di Sulawesi, sebagian lagi hijrah ke P. Jawa.
Pelayaran berawal dengan sampan berdayung, berganti ke perahu sandeq dengan cadik, lantas berganti ke pinisi besar lengkap dengan layar. Sampailah mereka ke Karimunjawa. Dari sana mereka berlayar lagi ke Tegal dan diterima Angkatan Laut RI, kemudian diantarkan ke Yogyakarta untuk bertemu dengan Kahar Muzakkar, Komandan Resimen Hasanuddin di Jawa yang dikenal sebagai TRI Persiapan.
Belum beberapa lama di Jawa, Maulwi dan kawan-kawan dari Tentara Pelajar Sulawesi terpaksa angkat senjata di Kebumen, Jawa Tengah. Gara-garanya Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati dengan melakukan aksi polisionil pertama pada 20 Juli 1947. “Belum sebulan di sana, kami sudah harus maju ke medan pertempuran lagi, di Sidobunder (Kebumen),” ujar Maulwi.
Yogyakarta menjadi basis Maulwi. Dia banyak melatih pasukan, termasuk para preman dan narapidana. Dia juga ikut dalam misi pertempuran di Malang Selatan (dia bertemu dengan Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik yang di kemudian hari menjabat Wakil Kepala Staf V SUAD), dan selebihnya mengisi kehidupan dengan ikut klub sepakbola Indonesia Muda (IM), dan bersekolah lagi di Magelang.
Baru mulai bisa menikmati rutinitas sebagai pelajar, Kapten Maulwi Saelan disibukkan oleh peristiwa Madiun 1948. Tiga bulan kemudian, menyusul aksi polisionil kedua Belanda. “Ya, sekolah enggak selesai-selesai,” katanya.
Tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia, tidak termasuk Papua, kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Dari Malang Selatan, Maulwi Saelan lantas kembali ke Yogyakarta. Dia masuk ke Corps Polisi Militer (CPM) yang dibentuk pada 22 Juni 1946, di bawah Komandan Komodor Suryadi Suryadarma. Kemudian dia ditugaskan oleh KSAD RIS Kolonel A.H. Nasution untuk membentuk CPM di Makassar.
Masuk ke Tjakrabirawa
Semula Presiden Soekarno mempercayakan pengawalan dirinya kepada Detasemen Kawal Pribadi yang semua anggotanya polisi. Tapi karena presiden beberapa kali menjadi sasaran pembunuhan (antara lain Cikini 30 November 1957, pengeboman oleh pilot Daniel Maukar pada 9 Maret 1960, peristiwa Jln. Cenderawasih Makassar 7 Januari 1962, Idul Adha di Istana Negara 14 Mei 1962), Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution berencana membentuk pasukan pengawal Istana Presiden yang lebih sempurna.
“Saya termasuk yang ikut dipanggil dari Makassar untuk mempersiapkan pembentukan pasukan tersebut, sekaligus ditunjuk menjadi Kepala Staf-nya,” kata Maulwi.
Pada hari ulang tahun ke-61, 6 Juni 1962, Soekarno mengeluarkan Surat Keputusan No. 211/Pit/1962 tentang pembentukan resimen khusus yang bertanggung jawab penuh menjaga keselamatan pribadi Presiden dan keluarganya. Pasukan tersebut kemudian diberi nama Tjakrabirawa, diambil dari nama senjata pamungkas yang sangat ampuh milik Batara Kresna dalam kisah pewayangan.
Surat seruan kepada semua anggota resimen ditandatangani pada 5 Oktober 1962, namun baru diresmikan Soekarno pada 6 Juli 1963 di Wina, Austria. Dengan upacara kecil, Presiden menyerahkan tongkat komando dan baret merah tua kepada Sabur.
Menurut Soekarno dalam autobiografinya yang ditulis Cindy Adams (edisi revisi 2007), pasukan Tjakrabirawa berkekuatan 3.000 personel yang berasal dari empat Angkatan Bersenjata, dan setiap anggotanya berasal dari pasukan yang andal.
Resimen Tjakrabirawa didukung pesawat angkut Lockheed C-140 Jetstar yang selalu siaga di Bandara Halim Perdanakusuma dan Kapal Kepresidenan KRI Varuna (eks Admiral Sloop) di Pangkalan Komando Daerah Maritim III Tanjungpriok berikut satuan helikopter VVIP Kepresidenan yang diterbangkan AURI.
Satuan helikopter itu terdiri atas sebuah Sikorsky S-61V pemberian Presiden AS John F. Kennedy, dilengkapi sebuah Sikorsky S-58, dua Bell Jet Ranger, berikut enam helikopter Agusta Bell-205 Iroquis. Home base Sikorsky S-61V di Istana Bogor, sementara sembilan helikopter lain di Bandara Kemayoran.
Mengenai pengawalan dirinya, Presiden Soekarno memiliki kesan, ”Aku sendiri tidak takut akan keselamatan diriku, tetapi rakyatku yang selalu diliputi kekhawatiran. Dulu aku bisa keluar Istana dengan diam-diam, kadang-kadang seorang diri. Sejak ada Tjakrabirawa, hal itu tidak mungkin lagi aku lakukan. Satu-satunya yang tidak bisa dijaga oleh Tjakrabirawa adalah kesehatanku. Aku memiliki satu ginjal yang membentuk batu, sementara yang satu lagi oleh dokterku dijaga dengan teliti.”
Di dalam tugas keseharian, Brigjen Sabur selaku Komandan Tjakrabirawa lebih berfungsi sebagai ajudan yang selalu berada di dekat Presiden. Sementara Maulwi sang Kepala Staf adalah pemegang otoritas tertinggi protokol pengamanan Presiden.
Dialah yang memimpin advanced team sebelum Presiden melakukan kunjungan. “Kadang seminggu sebelumnya kami sudah mempersiapkan diri kalau kunjungan ke luar negeri,” kata Maulwi.
Pelbagai kejadian gawat dialami Maulwi saat bertugas. Mulai dari pesawat kepresidenan yang dimasuki orang tak dikenal di Bandara Manila saat Konferensi Maphilindo (30 Juli – 5 Agustus 1963), ditolak mendarat di Alaska meski C-140 Jetstar hampir kehabisan bahan bakar sepulang dari lawatan keliling Eropa, membebaskan tim pendahulu yang ditawan penguasa baru Aljazair setelah rencana Konferensi Asia Afrika II batal dilaksanakan (Juni 1965), dsb.
Saat-saat terakhir Bung Karno
Di dalam negeri, situasi bergejolak kencang pada malam 30 September 1965. Ada kesaksian Kolonel Bambang Widjanarko, ajudan Presiden Soekarno, bahwa pada malam itu Presiden Soekarno menerima sepucuk surat dari salah satu Komandan Batalyon Tjakrabirawa Letkol Untung yang dititipkan pada anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Tjakrabirawa yang biasa melayani makanan atau minuman untuk Presiden, Sogol atau Nitri.
Surat itu berisi daftar nama perwira tinggi Angkatan Darat yang akan ditangkap pasukan Untung karena tidak setia kepada Presiden.
Kesaksian itu dibantah oleh Maulwi Saelan. Ia berada di dekat Presiden Soekarno sepanjang acara Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan, Jakarta, malam itu, tidak melihat seorang pun mendekat dan menyerahkan surat kepada Presiden, apalagi sampai menyebabkan Soekarno meninggalkan tempat duduknya untuk membaca surat itu di tempat terang.
Dengan kata lain, tuduhan bahwa Soekarno terlibat, atau sekurang-kurangnya mengetahui Gerakan 30 September, terbantahkan oleh keterangan Maulwi Saelan ini.
Malam itu juga Presiden tidak dimungkinkan kembali ke Istana karena di sekitar tempat itu terdapat pasukan bersenjata dan kendaraan tempur tak dikenal. Situasi makin tak menentu karena berita pembunuhan dan penculikan sejumlah jenderal Angkatan Darat juga santer terdengar, begitu pula penembakan di rumah Nasution dan Perdana Menteri Leimena.
Maulwi berkoordinasi dengan tim pengawal pribadi di bawah Komisaris Polisi Mangil, membawa Soekarno ke Bandara Halim Perdanakusuma karena C-140 Jetstar stand-by di sana.
Ketika Soekarno menunggu di gedung Komando Operasi AURI bersama Laksamana Omar Dhani dan Leo Wattimena, datang Brigjen Supardjo, Panglima Komando Tempur Mandala Siaga dengan dua orang mayor TNI-AD. Rupanya Supardjo mendesak agar Presiden Soekarno mendukung Gerakan 30 September, namun ditolak mentah-mentah.
Peristiwa lain yang ingin diluruskan Maulwi Saelan adalah tertembaknya mahasiswa bernama Arief Rahman Hakim saat demonstrasi tahun 1966. Selama ini, berita yang dianggap menjadi fakta sejarah adalah Arief Rahman Hakim meninggal karena ditembak oleh anggota Tjakrabirawa di depan Istana Negara.
Padahal sebenarnya, Arief Rahman Hakim ditembak oleh anggota POM DAM V Jaya yang bertugas sebagai patroli garnisun. Kejadiannya pun di Lapangan Banteng, bukan di depan Istana Negara. Sayang, kesaksian ini tidak ditindaklanjuti.
Laporan bahwa tidak ada satu pun senjata pasukan Tjakrabirawa yang ditembakkan saat mencegah demonstran mendekati Istana, tidak dikembangkan. Begitu pula permintaan Maulwi kepada Brigjen dr. Rubiono, perwira sandi AD, agar mengambil visum et repertum jenazah Arief Rahman Hakim untuk diserahkan kepada Presiden Soekarno, sampai Tjakrabirawa dibubarkan, 28 Maret 1966, tidak pernah terwujud.
“Itulah manipulasi atau kekeliruan, kebohongan, yang telah membuat Arief Rahman Hakim menjadi pahlawan,” cerita Maulwi Saelan.
Karena tidak mudah menggulingkan Presiden Soekarno dengan tekanan demonstrasi mahasiswa, elite di DPR GR, dan partai-partai politik yang bersekutu dengan tentara, ditempuhlah jalan yang lebih tidak manusiawi yaitu membiarkan Soekarno yang menderita penyakit ginjalnya yang sudah parah tanpa mendapatkan pengobatan yang memadai.
“Ketika obat persediaan Bung Karno mulai berkurang, saya sebagai ajudan mengajukan daftar permohonan obat-obatan yang sangat diperlukan,” kata Maulwi. Permohonan itu ditulis secara resmi, ditandatangani bersama Tan Sing Hien, dokter pribadi Bung Karno. “Tapi tidak diperhatikan.”
Sekalipun Tjakrabirawa dibubarkan, Detasemen Kawal Pribadi masih bisa melayani Soekarno meski gerakannya sangat dibatasi. Mereka sering harus mengalah pada anggota Satgas POMAD yang menggantikan tugas mereka.
Pernah terjadi, seorang anggota DKP ikut pengawal Soekarno ke Bogor dan akan membukakan pintu mobil, namun dibentak oleh anggota Satgas. “Biar dia buka sendiri, kamu kultus!” hardiknya.
Peristiwa lain, pada suatu pagi di Istana Merdeka, Soekarno minta sarapan roti bakar seperti biasanya. Langsung dijawab oleh pelayan, “Tidak ada roti.”
Soekarno menyahut, “Kalau tidak ada roti, saya minta pisang.”
Dijawab, “Itu pun tidak ada.”
Karena lapar, Soekarno meminta, “Nasi dengan kecap saja saya mau.”
Lagi-lagi pelayan menjawab, “Nasinya tidak ada.” Akhirnya, Soekarno berangkat ke Bogor untuk mendapatkan sarapan di sana.
Maulwi juga menceritakan penjelasan Soekarno bahwa dia tidak ingin melawan kesewenang-wenangan terhadap dirinya.
“Biarlah aku yang hancur asal bangsaku tetap bersatu,” kata Bung Karno. Di saat lain, setelah menjemput dan mengantar Mayjen Soeharto berbicara empat mata dengan Presiden Soekarno di Istana, Maulwi mendengar kalimat atasannya itu, ”Saelan, biarlah nanti sejarah yang mencatat, Soekarno apa Soeharto yang benar.” Maulwi Saelan tidak pernah paham maksud sebenarnya kalimat itu.
Ketika kekuasaan beralih, Maulwi Saelan ditangkap dan berkeliling dari penjara ke penjara. Dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke Penjara Salemba, pindah ke Lembaga Pemasyarakatan Nirbaya di Jakarta Timur. Sampai suatu siang di tahun 1972, alias lima tahun setelah ditangkap, dia diperintah untuk keluar dari sel.
Ternyata itu hari pembebasannya. Tanpa pengadilan, tanpa sidang, namun dia harus mencari surat keterangan dari Polisi Militer agar tidak dicap PKI. “Sudah, begitu saja,” kenangnya.